B A B 1 7

2.5K 260 36
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

Digondol Tuyul

•••

"Tawa renyah selalu hadir dari hal sederhana. Karena tak perlu mewah sebagai patokan untuk bahagia."

-Cemburunya Bidadari-

•••

Malam telah menjelang, menampilkan sang rembulan yang bertugas menggantikan sinar sang mentari. Mesin waktu telah menunjukkan angka sebelas malam, dan saat itu pula bertepatan dengan papan bertuliskan 'Open' di kafe dan resto tempat Gwena bekerja, berganti menjadi 'Close'.

Di sisi lain dalam kafe itu, masih terdapat Gwena yang berjalan mondar-mandir sendirian sembari berkacak pinggang. Sedang kawan-kawannya yang lain sudah pulang.

Alisnya sedari tadi terus menukik, sangat kentara sekali bahwa gadis bermulut tipis itu tengah berpikir dengan sangat keras.

Sesekali dia menghentakan kakinya kesal. Sebelah tangannya memegang kepala yang seakan mau pecah karena sejak awal tidak menemukan titik terang dalam masalahnya.

"Ish, di mana, sih?" Gerutunya. Sedangkan di sisinya, sudah teronggok tas gendongnya yang sudah tidak lagi rapi. Semua isinya telah tercecer. Gumaman tak jelas masih terus terlontar dari bibir gadis itu yang baru saja menyadari bahwa dompetnya sudah tidak ada di dalam tas. Seingatnya, dia sudah membawanya. Bahkan dia sudah mengambil uang dari dompet itu saat membayar abang ojek online tadi.

Sekarang, dalam pikiran pendeknya, Gwena menduga kalau barang yang sangat berarti demi kelangsungan hidupnya itu dicuri oleh tuyul, seperti cerita kebanyakan orang yang mengatakan bahwa tuyul suka mencuri uang. Tapi, masa iya digondol sepaket sama dompetnya? Memangnya si tuyul doyan,  gitu?

"Astagfirullah. Lila-lila gelo ieu, mah."

Di ambang batas kesabarannya, dengan serabutan Gwena memasukkan barang-barangnya secara acak. Tidak peduli lagi dengan kekacauan di dalamnya.

Setelah menggendong tasnya, Gwena segera melangkah menuju pintu utama kafe.

"Loh Gwen, belom pulang?"

Gwena memutarkan badannya, dan saat itu juga matanya bersiborok dengan seorang pria berkumis tipis yang barus saja menyerukan namanya.

"Mas Rizal, tumben di sini?"

Bukannya mendapatkan sebuah jawaban, Afrizal malah mendapatkan pertanyaan balik dari Gwena. Pertanyaan Gwena barusan memang sudah menjadi hal lumrah bagi Afrizal, karena memang dia yang berstatus sebagai pemilik kafe, jarang sekali terjun langsung terlibat dalam perkembangan kafe ini.

Bibirnya tertarik, melengkungkan sebuah senyum bulan sabit yang serupa dengan sang rembulan. Disuguhi senyum yang menawan seperti itu, seketika Gwena salah tingkah. Dengan perasaan gerogi, Gwena menggigit bibir bagian bawahnya.

"Tadi jam delapan saya ke sini buat evaluasi bulanan sama Hana. Eh, malah ketiduran dan baru bangun barusan." Jelas Afrizal dengan santai. "Kamu sendiri,  kenapa belum pulang?"

"Emm ... anu ..."

Afrizal mengangkat sebelah alisnya, menanti kelanjutan dari kalimat Gwena.

"Anu ...."

"Ya?"

"Anu ... itu ..."

"Itu apa?"

"Anu ...."

Cemburunya BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang