B A B 3 1

2.4K 294 98
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

Mengungkap Sebuah Fakta

•••

"Kenyataan itu selalu menamparku dengan sebuah kesadaran. Namun hati terlalu egois, tidak mau berpaling meski semesta tidak pernah memihak."

-Cemburunya Bidadari-

•••

Sabit yang merona sudah tergantung di langit malam. Waktunya semua orang untuk mengistirahatkan diri dari berbagai macam rutinitas.

Namun Fikri, masih enggan untuk beranjak. Kakinya seolah telah mengakar pada pijakan. Tangan yang sedari tadi dimasukkan ke dalam celana, kini dia tarik untuk mengambil sekaleng minuman soda yang berada di atas meja.

Perlahan, dia melangkah. Menggeret telapak untuk berketipak. Hingga sampai pada tepi tralis, langkahnya terhenti.

Hari ini, bertepatan dengan hari yudisiumnya. Siang tadi, dia sudah resmi menambahkan gelar pada nama panjangnya. Dan itu berarti, esok adalah hari dimana dia akan mengkhitbah Shilla.

Iya, seperti apa yang sudah menjadi kesepakatan antara dia dan bundanya. Sebagai seorang lelaki, pantang untuk melanggar janji. Apalagi di sisi lain, Allah sangat tidak suka dengan orang yang mengingkari janji.

Namun, disaat hatinya memiliki sebuah kemantapan, justru kini dia dilanda kehampaan. Tidak ada secuilpun euforia yang hinggap di hati. Karena seluruh objektivitasnya hanyalah terarah pada Gwena, gadis yang sebulan ini sudah menghilang dari lembaran hidup seorang Fikri.

Entah suatu kebetulan atau apa, kepergian Gwena yang bertepatan dengan hari dimana bundanya mengungkap suatu fakta, membuat Fikri merasa aneh. Tapi, dia bisa apa, saat dia sendiri terbelenggu janji yang entah bisa atau tidak dia tepati?

Shalat istikharah sudah giat Fikri lakukan, memohon kepada Allah agar diberi kemantapan dalam hatinya dalam mengkhitbah Shilla. Namun nihil, sekeras apapun dia meminta, Allah masih mencondongkan hatinya kepada Gwena.

Mengingat Gwena, Fikri selalu terngiang apa yang sudah bundanya ceritakan. Tidak menyangka, bahkan tidak percaya jika Gwena memang sepeti apa yang bundanya ceritakan.

Pagi itu juga, sesaat setelah Fikri mengiyakan syarat yang Rumi ajukan, Fikri mendengarkan alasan dari Rumi. Suatu fakta yang pada mulanya Fikri bantah dengan mentah. Kala itu, Rumi bercerita.

"Apa yang membuat Bunda membenci Gwena?" Tanya Fikri. Tanpa prolog terlebih dahulu, lelaki yang sedang duduk dengan menunduk itu langsung melesat pada titik klimaks.

"Bunda tidak membenci gadis itu."

"Lantas, apa namanya jika bukan benci padahal degan jelas Bunda menolak kehadiran Gwena?"

Rumi terdiam sesaat, sebelum akhirnya dia mulai menyerah dengan kekukuhannya. Dan mulai mengalirlah cerita yang dia simpan sendiri.

"Bunda sudah pernah bertemu Gwena sebelumnya."

"Di mana?" Sela Fikri.

"Di depan minimarket, sewaktu bunda pulang praktek dulu. Penampilannya jelas sangat jauh berbeda dengan yang bunda temui saat dia bertamu di sini."

Fikri masih diam, menyimak dengan baik. Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut bundanya yang tidak dia perhatikan.

"Mungkin kamu tidak akan percaya, namun inilah kenyataan yang bunda lihat. Gwena yang kamu bilang gadis yang baik, namun tidak bagi bunda. Karena mana ada gadis baik yang tengah malam menggunakan baju seksi, dan mabuk."

Fikri tercengang mendengar fakta yang baru saja bundanya ucapkan.

Gwena mabuk?

"Bahkan yang membuat bunda tambah tidak suka, dia yang saat itu berada di dalam sebuah mobil yang kacanya terbuka, dengan tanpa sopan santunnya mengucapkan kata kasar kepada bunda. Memang, saat itu dia sedang tidak sadar karena di bawah pengaruh alkohol. Namun tetap saja, seorang gadis mabuk itu tidaklah pantas dikatakan baik."

Rumi menghela napas sejenak, kesal rasanya jika memutar kembali ingatan itu.

"Bang, bunda cuma tidak mau kalo sampe kamu salah memilih. Lupakan dia, ada yang lebih baik di depanmu dan lebih pantas untuk diraih. Ya, Bang?"

Fikri menggelengkan kepalanya, masih merasa tidak percaya.

"Gwena tidak seperti itu, Bun. Bunda mungkin hanya salah mengenali. Mungkin yang Bunda lihat dulu bukan Gwena. Bias saja, kan?"

"Abang masih gak percaya sama bunda? Apa selama ini bunda cukup meragukan untuk dipercaya?" Kesal Rumi karena Fikri yang masih sulit untuk menerima kebenaran. "Bang, ingat janji Abang. Setelah yudisium nanti, secepatnya lamar Shilla dan lupakan gadis tidak baik itu."

"Namanya Gwena, Bun. Bukan gadis tidak baik."

"Terserah Abang. Intinya bunda mau, mulai sekarang, jauhi gadis itu."

Dan setelah itu, Rumi pergi meninggalkan Fikri yang masih terduduk dengan ketidak percayaan yang memusat pada otaknya.

Mengingat hal itu, Fikri memejamkan matanya dengan kuat. Berusaha menghalau rasa yang sulit dia sendiri untuk mengerti. Jalan ini sangat sulit untuk dia pilih. Di persimpangan ini, dia terjebak antara memilih jalan mana yang harus dia tempuh. Di satu sisi terlihat jalan yang nampak cerah untuk dipijak, namun tidak dia lihat kebahagiaan di sana. Dan di sisi lain, dia lihat jalan yang sangat terjal namun dia merasa ada sesuatu yang menantinya di ujung jalan itu. Terlihat mengkilau dan lembut. Nampak seperti sepasang sayap, akankah sayap itu yang akan mampu membawanya terbang ke surga?

Ingin rasanya dia menemui Gwena, bertanya kepada gadis itu tentang kejadian berdasarkan sudut pandang Gwena. Namun Gwena yang seolah memutus akses komunikasi telah menjadi bumerang sendiri untuk Fikri. Karena mencari kebenaran pun sulit jika narasumbernya sendiri tidak mau angkat bicara.

"Kamu di mana, Gwen?" Gumamnya.

Di tengah keputus asaannya, gawai yang sejak tadi teronggok di atas meja bergetar. Menampilkan sebuah notifikasi. Bukan dari pesan WhatsApp ataupun media social lainnya, karena Fikri mematikan data selular. Namun, pesan itu berasal dari sms biasa sehingga menarik perhatian Fikri. Karena sudah lama dia tidak menerima sms biasa, kebanyakan selalu dia dapat dari WhatsApp semenjak aplikasi itu marak digunakan.

Dan saat itu juga, Fikri bersyukur telah membuka handphonnya. Karena satu pesan yang muncul itu berasa dari seseorang yang sudah lama dia nanti kabarnya. Ya, Gwen Cantik. Itulah nama yang sekarang memenuhi layar ponselnya dengan sebuah pesan.

Amora jalan Kemuning.

Tanpa basa-basi lagi, Fikri langsung melempar kaleng soda yang sudah kosong ke dalam tempat sampah yang tersedia di pojok balkon hingga menimbulkan suara dentingan yang cukup keras.

Dengan serabutan, Fikri melangkah cepat dan menyambar jaket serta kunci si Jaguar. Dalam hati dia terus menggumam, "Tolong jangan pergi. Tunggu aku."

•••

Maaf kalo feelnya kurang, ini ngetiknya ngebutsss oemjii.... untung gak sampe nabrak trotoar. wkwkwk

update selanjutnya mau double up?

Syaratnya 50 komen dan 80 vote dulu dong, syukur-syukur bisa lebih. Hehe...

Ketjup jauh....

21-09-2019

Cemburunya BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang