Vicky membaca daftar nama yang lulus ekskul basket. Semua lulus, kecuali Flavia. Vicky menaruh kertas itu di depan Zion. Mengernyit tipis sembari melihat Zion yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Flavia nggak lulus Yon?"
Zion melirik sekilas Vicky lalu kembali sibuk dengan ponselnya. Bukannya tidak mau, Zion hanya mencoba melindungi Flavia dari orang-orang jahat. Setelah perkenalan ekskul basket kemarin, Zion jadi ragu meluluskan Flavia. Flavia tidak bisa bermain basket, itu alasannya. Tapi alasan yang paling kuat adalah, banyak yang melirik Flavia bahkan mengajak perempuan itu berkenalan, Zion tidak suka.
Zion menyampirkan tasnya, keluar dari ruangan khusus ekskul basket tanpa menjawab pertanyaan Vicky. Zion membuka kaca yang melindungi papan pengumunan, ia menempel kertas pengumunan ekskul basket di sana.
Sementara Flavia yang sedang mengikat tali sepatunya dikejutkan oleh suara teriakan Aurel menyebut namanya. Buru-buru Flavia menghampiri Aurel tanpa mengikat tali sepatunya terlebih dahulu.
"Gue lulus Vi!"
Flavia membulatkan matanya, ternyata pengumuman ekskul basket sudah keluar. Flavia menunjuk deretan nama yang terpampang di kertas itu, ia mengulanginya sampai 2 kali saat namanya tidak berada dalam daftar itu. Flavia menghembuskan nafasnya kasar, ia menunduk.
"Lo nggak lulus?" Aurel ikut mencari nama Flavia di kertas tersebut.
"Nggak, Rel."
"Yah, gagal modusin Kak Zion dong?" Aurel menatap layar ponselnya, "gue duluan ya Vi? Udah dijemput."
"Hati-hati!"
Di dalam hati Flavia, perempuan itu dongkol. Apa karna alasan ia masuk basket, ia jadi tidak lulus? Padahal kan, alasan itu sangat amat jujur dari hatinya yang paling dalam. Ia mau ikut basket karna Zion sendiri yang menjadi ketua basket, walaupun tahun ini sudah lepas jabatan. Flavia hanya ingin melihat Zion sedang berlari sembari membawa bola dibawah terik matahari, keringat membasahi baju basketnya. Lalu Flavia menunggu di pinggir lapangan dengan sebotol air minum.
Tak sadar, Flavia menyatukan kedua tangannya, lalu menaruhnya di pipi kirinya. Itu adalah impian semua orang yang menaksir anak basket. Apalagi ini adalah Zion.
Langkah kaki Flavia berhenti ketika dahinya membentur tubuh seseorang. Flavia langsung menunduk ketika firasatnya berkata yang ia tabrak adalah Kakak kelasnya. "Maaf, nggak sengaja."
"Sengaja juga nggak pa-pa kok, gue seneng."
Mendengar suara itu, Flavia mengangkat kepalanya. "Kak Vicky?"
"Kok lo tau nama gue?"
Flavia mengenggam kedua tali tasnya, menunjuk name tag Vicky dengan dagunya, membuat Vicky tertawa kecil.
"Nggak lulus ya lo? Mukanya kusut banget kayak nggak disetrika."
Flavia menghela nafasnya berat. "Iya, nggak lulus. Bujukin Kak Zion dong biar aku lulus."
"Udah tadi."
"Trus, apa katanya?"
"Nggak ada. Dia cuma diem-diem, trus pergi. Biasa, Zion."
"Yah," Flavia memajukan bibir bawahnya.
"Pake gue-lo aja Vi, santai."
Flavia hanya mengangguk. "Mau gue anterin pulang?" tawar Vicky dengan senang hati.
"Nggak usah Kak, gue naik angkot aja. Duluan Kak!"
Flavia berlari kecil meninggalkan Vicky. Sebenarnya ia mau diantar pulang, lumayan, menghemat uang jajan. Tapi ia sudah membulatkan tekad, sebelum bokongnya mendarat di motor Zion, ia tidak boleh menaiki motor orang lain. Flavia menaiki angkutan umum dengan angka 06 di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
-Z
Teen FictionFlavia suka semua hal yang dingin. Es krim, es batu, kutub utara, hujan, dan juga Zion. ABP series III ; -𝗭 ©2020 by hip-po.