b a g i a n 19

4K 437 43
                                    

"Lili, tutup pintu dulu."

Flavia berteriak dari kamarnya, menyuruh adiknya untuk menutup pintu depan karna suara kendaraan yang lewat berhasil menganggu ketenangan Flavia yang sedang sibuk dengan sketsanya.

Flavia menghembuskan nafasnya kasar, menatap biola yang berada di sudut kamarnya ditemani oleh boneka besar pemberian Zion. Jujur, Flavia sangat amat rindu pada laki-laki itu. Flavia ingin memeluk Zion, menangis sepuasnya lalu meminta maaf.

Flavia mengernyit ketika Livia hanya diam di depan pintu kamarnya sembari menatap ke arah pintu depan dengan mata yang membulat.

"Ayah?"

• • •

Zion mendorong kopernya malas masuk ke kamarnya. Saking lelahnya, Zion langsung menutup matanya setelah tubuhnya menyentuh jok mobil. Zion menghempaskan tubuhnya pada ranjangnya, memejamkan matanya erat, berniat kembali tertidur.

Tapi sinar matahari seakan memaksanya terus membuka mata dan beranjak mandi. Dan Zion, benar-benar beranjak untuk mandi. Setelah memakai jaket bombernya, Zion menuruni tangga, memutar kunci motor di tangannya. Zion melajukan motor menuju rumah Flavia.

Detak jantungnya mulai tidak normal ketika motornya semakin dekat dengan rumah Flavia. Bukan, bukan karna Flavia sedang menunggunya di depan, melainkan karna rumah Flavia. Zion berjalan memasuki rumah itu, dan betapa terkejutnya Zion melihat semua barang-barang di sana sudah hancur.

Rumah ini seperti sudah terkena gempa bumi, tapi bedanya, hanya dalam rumah yang kena dampaknya. Zion memasuki kamar Flavia, menatap kamar itu dengan dada yang naik turun. Bahkan di sana tidak ada barang yang utuh.

Zion berjongkok, mengambil lembaran kertas yang tertutupi oleh lemari yang sudah hancur. Sketsa wajahnya berada di sana, di ujung kertasnya tertulis 'milik Flavia.'

Zion berdiri, menatap seisi rumah ini. Apa yang terjadi?

Zion berlari kecil menyebrangi jalanan, menuju warung kecil di sebrang sana. "Kenapa Ci?"

"Flavia—"

"Flavia kenapa?!" potong Zion tidak sabaran.

"Iya, kamu tenang dulu, Cici masih kaget ini."

Setelah menarik nafasnya dalam Cici mulai membuka mulutnya. "Ayahnya Flavia datang, dan itu yang terjadi. Setelah berhasil kabur selama 1 tahun lebih ini, Ayah Flavia menemukan tempat persembunyian Flavia, Lili dan Mamanya."

"Flavia pernah cerita tentang Ayahnya ke kamu?" tanya Cici yang dibalas anggukan oleh Zion, "Flavia nggak seceria itu sebelumnya. Dia selalu datang ke sini, cerita sama Cici dan nangis. Tapi saat kamu datang ke hidupnya, Flavia berubah."

"Ayah Flavia, dia gila. Ayahnya bahkan nggak akan biarin Flavia, Lili dan Mamanya hidup dengan tenang," lanjut Cici sembari menghembuskan nafasnya perlahan, "Flavia nggak pernah cerita tentang Ayahnya?"

Zion menggeleng pelan. Flavia tak pernah mengatakan apapun tentang Ayahnya.

"Ini hidupnya Flavia, dia selalu lari hingga laki-laki gila itu berhenti mengerjarnya," Cici mengusap air mata yang mengalir di pipinya, rasanya ia merasakan apa yang kini Flavia rasakan, "kamu tau? Ayah Flavia itu buronan yang sekarang menjadi bagian dari Mafia? Cici nggak tau jelasnya, Flavia nggak pernah jelasin lebih rinci."

Mendengar itu, Zion terdiam sebentar. Mafia? Apa masih ada di kota besar ini? Zion keluar dari sana berlari menuju motornya, melajukan motor itu kembali ke rumah. Zion buru-buru menuju ruangan kerja Rayyan, dimana Abangnya berada sekarang.

Rayyan menggeleng mendengar apa yang Zion ujarkan tadi. Adiknya sudah benar-benar gila.

"Gila lo Yon. Nggak bisa, kita nggak akan berurusan dengan Mafia dan hidup kita akan aman."

Zion menghela nafasnya kasar, ia mengusap wajahnya. Bang—"

"Yon, Mafia nggak sekecil yang lo bayangin. Dan duit gue nggak cukup untuk bayar banyak orang cuma buat jagain rumah kita setelah kita berurusan sama Mafia," potong Rayyan dengan nada tegasnya.

Ya, apa yang dikatakan oleh Rayyan ada benarnya juga. Mereka tidak akan tinggal diam saja jika kita mencampuri urusan mereka.

"Trus gue harus apa Bang?!" Zion menjambak rambutnya keras, "cewek gue diluar sana dikejar-kejar sama orang gila sedangkan gue di sini cuma diem aja!"

Rayyan menepuk pelan bahu Zion. "Gue nggak bisa bantu lo lagi, kita nggak akan aman setelah berurusan dengan Mafia."

"Gue cuma ngejaga keluarga kita. Kalo ada yang bisa gue bantu, gue akan bantuin lo, tapi soal ini, gue nggak bisa," lanjut Rayyan.

Zion menghembuskan nafasnya kasar, ia keluar dari ruangan itu dengan langkah yang terburu-buru. Zion melajukan motornya menuju tempat yang sudah lama ini ia tak kunjungi.

Zion tidak akan diam saja jika ada yang menyakiti Flavia. Zion akan selalu melindungi perempuannya sebisanya, walaupun nantinya akan membahayakan dirinya sendiri. Dan Zion, tidak ingin kehilangan perempuannya lagi, tidak untuk kedua kalinya.

Zion membuka pintu yang terbuat dari seng itu dengan santai, mendekati laki-laki yang kini sedang menatapnya dengan senyum yang mengembang. Laki-laki itu bangkit dari duduknya, berdiri menghampiri Zion memeluk Zion ala laki-laki.

"Ayah lo Mafia, kan?"

Laki-laki itu membulatkan matanya, menarik lengan Zion keras keluar dari ruangan itu. Ia menatap Zion setelah melihat sekelilingnya. Aman, tidak ada satu orang pun yang bisa mendengar percakapan mereka.

"Tau dari mana lo?"

Zion tersenyum miring. Benar kan, Zion tidak akan pernah membiarkan seorang pun menyakiti Flavia-nya.

"Beling Adinegara, gue punya bisnis sama Ayah lo."

Awalnya Beling menggeleng, menolak permintaan laki-laki itu. Tapi ia sadar, baru kali ini seorang Zion meminta tolong padanya dengan memohon-mohon. Selama Beling mengenal Zion, Zion tidak pernah sama sekali menunjukan raut wajah itu. Raut wajah yang membuat semua orang tau bahwa Zion sedang frustasi memikirkan hal ini walau hanya melirik raut wajahnya saja.

Beling menghela nafasnya kasar, ia mengendarai motornya ke gedung lama yang jauh dari keramaian. Bahkan mereka harus melewati beberapa pos yang dijaga oleh beberapa orang. Beling menghentikan laju motornya di tanah yang lapang. Begitu juga Zion, ia melepas helmnya dan langsung menatap bangunan tak berpenghuni di depannya ini. Beberapa orang dengan pakaian serba hitam menjaga di pintu utama, menundukan tubuhnya sopan saat Beling melintas.

"My boy!" teriakan itu menyambut mereka berdua.

Beling tersenyum kecil sembari membalas pelukan Ayahnya. Beling melirik Zion sekilas membuat Ayahnya langsung menatap Zion. "Zion? Ini yang namanya Zion?"

Zion mengernyit bingung, darimana Ayah Beling mengetahuinya? Tapi ia tetap menunduk sopan, membuat Javid, Ayah Beling tersenyum lebar. "Beling sering cerita tentang kamu. Katanya kamu yang ajarin Beling banyak hal, Beling yang sekarang ini, berkat kamu."

Javid melihat banyak perubahan pada Beling semenjak Beling mulai bercerita tentang kehadiran Zion. Sejak saat itu, Beling yang dulunya sangat keras semenjak kepergian Ibunya menjadi Beling yang ia kenal. Beling menjadi lebih halus walaupun sesekali setannya muncul begitu emosi sudah menutup kedua matanya. Tapi Javid sangat bersyukur atas kehadiran Zion dan merubah Beling menjadi seperti sekarang ini.

Zion tersenyum tipis setelah melirik Beling. Benar kata Laura, berbuat baik tidak akan sia-sia.

"Jadi apa yang membuat kamu datang ke sini?"

Zion mengusap lehernya tidak enak membuat Ayah Beling tertawa keras. "Santai saja, semua bisa saya turuti."

Senyum Zion mengembang. Dengan percaya dirinya, Zion mengatakan satu hal yang membuat senyum Ayah Beling luntur dan kembali lagi tapi kali ini senyum miringnya.

"Saya mau salah satu anggota anda, terkurung di dalam sel."

❄️

-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang