b a g i a n 20

4.3K 487 69
                                    

2 tahun kemudian.

"Happy birthday Zion!"

Zion menatap kebun teh yang berada di depannya dengan senyuman kecil. Ia lupa bahwa ini adalah hari ulang tahunnya karna saking banyaknya tugas yang diberikan pada semester awal ini. Zion duduk di kursi, memejamkan matanya sebentar lalu meniup lilin yang berada di depannya.

Setelah Zion 'berbisnis' dengan Ayah Beling sore itu, seminggu setelahnya muncul di televisi seorang pria paruh baya dengan badan tegap ditangkap polisi setelah menjadi buronan selama bertahun-tahun.

Zion tidak ingin membagi ceritanya tentang bagaimana ia meyakinkan Ayah Beling bahwa Ayah Flavia bukan orang baik-baik. Setelah bertemu beberapa kali dengan Ayah Beling, Zion jadi bisa tau bagaimana sikap Ayah dari Beling dan mengetahui kelemahannya.

Dan Beling yang merupakan anak kesayangan dari seorang Ayah Mafia juga sedikit membantu Zion dalam proses bisnis itu. Bahkan Zion hampir dihajar oleh Rayyan jika Laura tidak menahan Rayyan waktu itu. Rayyan bilang, Zion mengambil langkah yang salah dan membahayakan seluruh anggota keluarga demi menyelamatkan satu orang saja.

Tapi, bukan Zion namanya yang menyelesaikan masalah tanpa memikirkan konsekuensi yang akan ia terima nantinya. Zion sama sekali tidak menceritakan bagaimana bisnisnya bisa berhasil dengan Ayah Beling, Zion menyimpan semuanya sendiri, lagi.

Yang terpenting adalah, Flavia aman, walaupun sampai sekarang Zion belum tau bagaimana kabar perempuan itu. Apakah Flavia baik-baik saja? Dan, apakah perempuan itu masih mencintainya?

Setelah memakan kue, mereka berbincang tentang banyak hal, seperti biasa. Keponakannya juga sudah bisa berjalan, membuat anak kecil itu bertambah imut setiap harinya.

"Kado lo," Rayyan menyodorkan kotak kecil berwarna hitam pada Zion.

Zion tersenyum kecil sembari menerima kotak kecil berwarna hitam itu. "Tumben?" ejek Zion seperti biasanya, membuat Rayyan memutar bola matanya malas.

Saat membuka kotak hitam itu, Zion terdiam sebentar, ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Zion kira ia salah lihat, tapi benda itu benar-benar nyata dan kini Zion bisa menyentuhnya.

"Mobil? Gila lo Bang, duit darimana? Judi ya lo?"

Rayyan tertawa keras. Kalimat Zion tadi sama persisnya dengan apa yang Laura katakan saat Rayyan membawa perempuan itu ke rumah baru mereka.

"Gue masih sakit hati tentang kasus kehujanan 2 tahun yang lalu. Laura ngomong sampe nusuk ke hati, makanya gue beliin lo mobil."

"Perlu perjuangan dapetin mobil ini," lanjut Rayyan.

Laura tertawa kecil, begitu juga Zion. Sementara Laura mengeluarkan kotak dengan warna yang sama dengan bentuk yang berbeda, menyodorkannya pada Zion. Respon Zion saat menerima kado itu benar-benar berbeda, Zion tersenyum kecil, berterima kasih pada Laura.

Zion mengambil barang yang berada di dalam kotak itu. Tiket orkestra dan tampil solo? Zion kira awalnya ini adalah tiket pesawat. Barang kali Laura membelikannya tiket pesawat untuk menonton idolanya memainkan basket secara langsung.

Zion mengernyit sembari menatap selembar kertas itu. "Zion kira tiket buat nonton Jordan."

Laura terkekeh. "Ini lebih spesial. Kamu pasti nggak akan nyesel dateng ke sana."

Laura menunjuk waktu kapan penampilan itu dimulai, pada tiket itu. "Setengah jam lagi, jangan sampe ketinggalan. Dan jangan sampe lupa pake mobil barunya."

Walaupun masih sedikit bingung, Zion memeluk Rayyan dan Laura sebelum pergi dari sana. Menurut tempat yang tertera pada tiket ini sih, pertunjukkannya dilaksanakan di gedung yang berada di tengah-tengah kota.

Zion menatap mobil yang terparkir tepat di samping mobil Rayyan. Bagaimana Rayyan bisa tau bahwa mobil ini adalah mobil impiannya sejak dulu?

Zion menatap Rayyan yang sedang mengacungkan jempolnya dan mengedipkan salah satu matanya. "Jangan lupa dikasih nama!" teriak Rayyan membuat Zion terkekeh.

Zion melajukan mobil itu dengan kecepatan penuh saat menyusuri jalanan yang lumayan sepi. Senyum tak lepas dari bibirnya, walaupun senyuman itu sangat tipis. Mobil yang sedari dulu ia incar, kini menjadi miliknya. Dan Zion tidak pernah menyesal mengincar mobil ini.

Zion tersenyum kecil sembari menatap keluar jendela lalu beralih menatap jalanan di hadapannya. Ia bergumam kecil mengikuti nada yang selalu berputar di ingatannya. Entah nada apa tepatnya, Zion juga sedikit lupa.

Mobil Zion berhenti di parkiran gedung yang berada di depannya. Menurut ponselnya sih, benar ini gedungnya. Dan logo yang tertera pada tiketnya juga sangat mirip dengan spanduk yang terpasang di sana. Zion yang tidak mau menyiksa dirinya untuk bertanya pada dirinya sendiri, langsung masuk ke dalam gedung itu.

Duduk di barisan tengah yang langsung mengarahkan matanya ke tengah-tengah panggung. Masih ada 10 menit sebelum pertunjukkan dimulai, membuat Zion sempat memainkan ponselnya, melihat apa yang sedang teman-temannya bahas kali ini.

Semua ucapan selamat ulang tahun yang terbilang sangat banyak Zion abaikan. Bisa patah jarinya jika membalasnya satu per satu. Orang lain pasti juga sudah tau, bahwa Zion tidak terlalu perduli dengan hal-hal seperti itu. Kecuali, menyangkut tentang Flavia, itu baru penting.

2 tahun berlalu, sikap Zion sama sekali tidak berubah sedikit pun. Cuek, dingin, datar, selalu dan akan terus menjadi ciri khas seorang Zion. Suara bising mulai terdengar saat microphone diketuk, tapi Zion masih sibuk dengan ponselnya. Hingga tepuk tangan riuh pun terdengar, Zion masih fokus membaca artikel pada ponselnya.

Suara gesekan biola memenuhi ruangan ini, membuat Zion perlahan mengalihkan pandangannya. Zion mematung, menatap orang yang berada di tengah-tengah panggung. Dengan gaun panjang berwarna pink pucat, rambut yang digulung dan poni yang menutupi, berhasil membuat jantung Zion seakan berhenti berdetak. Zion mengerjapkan matanya berkali-kali, meyakinkan dirinya bahwa yang ia lihat di depannya ini benar-benar nyata.

Suara biola itu semakin lama, nadanya semakin menyayat hati, bahkan Zion dapat melihat dengan jelas air mata mengalir lembut di pipinya. Biola itu masih ada, dan orang itu benar-benar tampil diatas panggung dengan biola yang Zion berikan 2 tahun yang lalu. Ia benar-benar menepati janjinya.

Hingga gesekan terakhir dengan nada tinggi terdengar, perempuan itu mengalihkan pandangannya. Dan mata mereka bertemu, hanya beberapa detik hingga pandangannya ditutupi oleh orang yang berdiri sembari bertepuk tangan keras di depannya. Zion buru-buru keluar dari sana, mengatur nafasnya yang entah mengapa tiba-tiba terengah.

Sementara pemain biola itu sendiri membulatkan matanya sempurna, melihat bayangan seseorang yang selama ini ia sebut di dalam doanya. Tepuk tangan meriah itu perlahan menghilang dan semua orang kembali duduk, tapi kursi yang berada di tengah-tengah itu kosong. Setelah menunduk berterima kasih, ia berlari kecil menuju belakang panggung, menaruh asal biolanya dan berlari keluar dari gedung.

Ia mengelilingi luar gedung hingga 2 kali, tapi ia sama sekali tidak menemukan orang itu. Kedua kakinya sangat lemas hingga tubuhnya ambruk, kedua tangannya ia taruh di kepalanya, menekan kepalanya sekeras mungkin.

"Flavia tenang, itu bukan dia. Dia nggak mungkin ada di sini. Lo cuma berharap dia dateng ke sini sampai lo bisa liat bayangannya di kursi penonton tadi. Iya, itu cuma bayangan."

Tak jauh dari keberadaan Flavia, Zion sedang berdiri di belakang mobilnya, menatap tubuh mungil itu dengan debaran jantung yang sedari tadi masih berdetak kencang. Dadanya sakit melihat Flavia kembali menangisinya. Tanpa melakukan gerakan mencurigakan sedikitpun, Zion masuk ke dalam mobil, melajukan mobilnya pergi dari sana.

Ini bukan saat yang tepat untuk bertemu lagi.

❄️

-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang