b a g i a n 9

5.4K 553 32
                                    

"Kak Zion!"

Flavia merentangkan kedua tangannya di depan tubuh Zion. Ia memajukan bibir dalamnya. Sudah 2 minggu ini Zion benar-benar menghindar darinya, bahkan untuk berkumpul bersama Beling di gudang belakang pun, Zion sama sekali tidak mau. Karna Zion tau, di sana pasti ada Flavia.

"Kenapa sih? Cerita dong sama aku!"

Zion menatap Flavia malas, lalu melanjutkan jalannya, meninggalkan Flavia di belakangnya. Hanya cara ini yang bisa membuat Flavia perlahan menjauh darinya. Zion tak mau Flavia menjadi Vina yang selanjutnya.

Zion juga sudah menyuruh Vicky untuk menjemput dan mengantar Flavia setiap hari selama 2 minggu ini. Walaupun sedikit tidak terima karna Flavia diantar oleh laki-laki lain, tapi ini satu-satunya cara agar Flavia aman. Flavia juga sering menolak ajakan pulang bersama dari Vicky.

Karna perempuan itu tau, Zion yang menyuruh Vicky. Hal itu membuat Zion harus mengikuti angkutan umum yang Flavia naiki, dan pulang setelah Flavia masuk ke dalam rumah, seperti biasanya.

Di sisi lain, Flavia yang melihat punggung Zion menjauh hanya biasa berdecak kesal. Sudah 2 hari Flavia melakukan percobaan untuk sama sekali tidak melihat wajah Zion. Tapi percobaan itu selalu gagal karna tubuhnya merespon lain, tubuhnya buru-buru menghampiri Zion ketika melihat laki-laki itu melintasi koridor.

Saat melintasi perpustakaan, lengannya ditarik dari dalam, membuat tubuh Flavia hampir terjungkal bila tidak ada tembok di belakangnya.

"Lo lagi, lo lagi! Bosen tau!" Flavia mendengus melihat wajah Gladys yang terlihat mengerikan.

Jujur, Flavia sangat takut bila berurusan dengan Gladys, ibarat film IT, Gladys bisa diibaratkan sebagai Penywise, tanpa balon pastinya. Kali ini, perempuan itu mengeluarkan silet dari saku bajunya, yang membuat Flavia membulatkan matanya lebar.

"Mau apa lo?!" pekik Flavia panik.

Gladys menarik paksa tangan kanan Flavia, menaruh silet itu di sana. "Pake ini, potong urat nadi lo sendiri."

"Lo kira gue gila kayak lo? Nggak mau!"

Gladys menggeram, dibilangi gila oleh adik kelasnya sendiri, membuat harga dirinya seperti terinjak-injak. Gladys mengepalkan tangan kanan Flavia menggunakan tangan kanannya, setelah menaruh silet itu di sana. Flavia langsung berteriak histeris ketika darah keluar dari sana, rasa perih menjalar dari telapak tangannya ke seluruh tubuhnya.

Tangan kiri Gladys, ia gunakan untuk menutup mulut Flavia. Flavia memejamkan matanya erat ketika silet itu semakin menusuk ke telapak tangannya. Air mata Flavia mengalir di pipinya, matanya masih menatap telapak tangannya dengan darah yang menetes ke lantai perpustakaan.

Dari luar perpustakaan, ada Aurel yang melintas, mencari keberadaan Flavia yang setaunya melintas ke arah sini. Mendengar teriakan yang tertahan di dalam perpustakaan, Aurel langsung menoleh, dan mendapati Gladys sedang mengenggam tangan Flavia, dengan darah yang tak henti-hentinya menetes.

Aurel menutup mulutnya, dengan kaki yang lemas, ia berlari dari sana sebisanya. Hingga tubuhnya menabrak seseorang dan terjatuh.

"Kenapa lo?" Beling mengernyit ketika Aurel jatuh di hadapannya dengan keringat yang mengalir di pelipisnya.

"Flavia, di perpus—"

"Sial," umpat Zion sebelum berlari menuju perpustakaan.

Zion mendorong pintu perpustakaan keras, membuat Gladys terkejut dan melepaskan genggaman tangannya. Kedua bola mata Zion membulat ketika melihat Flavia membuka kepalan tangan kanannya, dan menjatuhkan silet yang sudah berlumuran dengan darahnya.

-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang