b a g i a n 10

5.5K 568 25
                                    

Hari ini hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Setengah jam yang lalu, bel pulang sudah berbunyi, tapi Flavia tidak juga melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Ia membuka jendela kelasnya, merasakan angin menerpa kulit wajahnya.

Hidungnya sibuk menghirup wangi petrichor dan telinganya sibuk mendengar rintik hujan yang jatuh tepat di jalanan, menimbulkan bunyi khasnya. Pukul 5 sore, langit sudah menggelap, Flavia bangkit dari duduknya, keluar dari kelasnya. Ia berjalan dengan lambat keluar dari sekolahnya, hingga di pinggir jalanan, tepat dimana waktu itu Zion menghentikan angkutan umum untuknya.

Flavia mengabaikan angkutan umum dengan angka 06 didepannya, matanya terpaku pada sepatu yang sudah mulai basah karna rintik hujan. Flavia melangkahkan kakinya, menyusuri jalanan yang mulai sepi.

Setelah ucapan Zion malam itu, Zion benar-benar menjauh darinya. Perilakunya masih sama, masih menghindari Flavia bahkan meninggalkan Flavia sendirian. Tapi entah kenapa, hati Flavia kali ini benar-benar sakit. Kalimat terakhir yang Zion ucapkan malam itu, untuk mengganti perbannya, seakan-akan kalimat perpisahan.

Di depan Zion, Flavia selalu menampilkan senyuman lebarnya, tapi dalam hatinya, ia selalu sakit, karna Zion sama sekali tidak ingin menatapnya. Bagaikan hantu, Zion bahkan lebih memilih melewati jalan lain daripada melewati koridor yang sama. Bahkan teman-teman Zion sama jahatnya, mereka tidak pernah membahas Zion saat ia berada di antara mereka.

Flavia mendonggakkan kepalanya, merasakan air hujan menetes tepat di kulit wajahnya. Bibir Flavia bergetar karna tubuhnya sudah lama berada di bawah rintik hujan, jari-jari tangannya sudah memutih. Tapi ia sama sekali tidak ada niatan untuk berteduh sekalipun.

Hingga air hujan tidak terasa lagi di kulit wajahnya, Flavia membuka mata, menemukan payung hijau tua yang melindungi dirinya. Bahkan parfum orang itu lebih menyengat daripada wangi petrichor.

"Kak Zion."

Zion menghembuskan nafasnya kasar, ia menaruh parka hitamnya pada tubuh Flavia, mengambil tangan kiri perempuan itu, menaruh gagang payung di sana, lalu pergi. Flavia yang melihat punggung Zion berjalan menjauh hanya bisa diam, bajunya perlahan basah kuyup karna rintik hujan. Yang lagi-lagi semua yang ia punya, ia berikan untuk Flavia, agar perempuan itu tidak kenapa-napa.

Saat punggung itu hilang ditikungan, Flavia berjongkok, menangis sekeras-kerasnya, hingga membasahi ujung parka yang menyentuh genangan air di jalanan. Flavia tidak perduli jika ada orang yang melihatnya seperti ini, melihat Zion seperti ini lebih sakit daripada ditatap aneh oleh orang-orang. Bahkan di saat seperti ini Zion masih memikirkannya. Bagaimana bisa Zion melakukan semua ini?

Flavia membuka kedua matanya saat ada mobil yang melintas dan berhenti tepat di sebelahnya. Laki-laki yang Flavia tau bernama El, salah satu wajah familiar yang biasa ia temui di gudang belakang, menuntunnya masuk ke dalam mobil. Di mobil, El mematikan pendingin mobil lalu melajukan mobilnya menuju rumah Flavia.

Flavia menatap keluar jendela, mengeratkan parka yang menutupi tubuhnya, menghirup dalam-dalam aroma yang dikeluarkan oleh parka itu.

"Lo perlu coklat panas? Atau es krim?"

"Butuhnya Kak Zion."

El terkekeh. "Gue serius, jangan sampe lo sakit. Kalo lo sakit, siapa yang bakalan bikin gudang belakang rame?"

Flavia tersenyum tipis mendengarnya.

"Dari dulu sampe sekarang, baru lo doang cewek yang berani ke sana, sendirian lagi. Yang lo denger dari orang-orang tentang gudang belakang itu, bener."

Darah Flavia berdesir, mengingat apa yang Aurel ceritakan tentang gudang belakang. Pelecehan, pembunuhan, perkelahian.

"Dan Beling, dia sebejat yang orang-orang bilang. Tapi semenjak Zion dateng jadi murid baru di sekolah ini, semuanya berubah," El melirik Flavia yang masih tidak tertarik dengan pembahasan mereka, "Zion ngebuka mata Beling bahwa Beling bukan Tuhan, jadi semua orang nggak bisa nurutin apa yang ia mau."

"Itu kenapa Beling sayang Zion, dia udah nganggap Zion adiknya sendiri. Zion nggak terkalahkan," lanjut El.

Flavia hanya diam, mendengar semua cerita El. Lampu merah, El menghentikan mobilnya, melirik Flavia sekilas.

"Di sekolah, Zion nggak takut sama siapa pun. Bahkan kepala sekolah, dia lawan kalau kepala sekolah yang salah. Lo percaya? Zion pernah nurunin kepala sekolah yang dulu."

"Karna itu sekolah jadi heboh. Semua orang tau Zion. Cuma ada satu orang yang bisa bikin Zion tunduk," El mulai melajukan kembali mobilnya.

Kali ini, Flavia berbalik, menunggu El melanjutkan ucapannya. "Siapa?"

"Gladys," ucap El, "cewek gila yang pernah gangguin lo."

Flavia mengernyit. Siapa sebenarnya Gladys? Mengapa Zion hanya takut padanya? "Gladys? Kenapa?"

El hanya diam, mobilnya berhenti tepat di depan rumah Flavia. "Udah nyampe."

"Kasih tau gue dulu," desak Flavia pada El.

"Nggak bisa Vi, gue nggak berhak," El turun dari mobil, memutar mobil dan membukakan pintu untuk Flavia, "biar Zion yang cerita sendiri."

Setelah mengucapkan terima kasih, Flavia masuk ke dalam rumahnya, membersihkan diri agar ia tidak sakit besok, memakai baju tidurnya lalu memeluk gulingnya sembari menatap tembok polos yang berada di hadapannya. Gladys, apa yang terjadi pada Gladys dan Zion di masa lalu?

"Vi, tolongin beliin merica bubuk di Cici. Mamah bikin sup buat kamu."

Sari datang dan menaruh selembar uang di atas meja belajar Flavia. Perempuan itu menghembuskan nafasnya kasar, ia mengambil jaket Zion dari belakang pintunya. Bila dihitung, 2 jaket Zion berada di rumahnya, dan hari ini bertambah 1 parka.

Flavia jadi tidak enak. Tapi ia juga ragu untuk mengembalikan barang-barang milik Zion. Pertama, barang-barang ini milik Zion. Kedua, jaket itu memiliki aroma yang menandakan parfum khas Zion. Ketiga, barang-barang ini milik Zion. Intinya ini milik Zion!

Jadi, alasan terkuat karna, barang-barang ini milik Zion. Dan Flavia merasa tak rela bila jaket-jaket itu dikembalikan.

Flavia mengeratkan jaket yang ia pakai ketika angin berhembus dengan kencang. Hujan memang sudah berhenti sedari tadi, tapi tidak dengan angin. Flavia berlari kecil menyebrangi jalan.

"Ci, Via beli-" Flavia tersenyum melihat boneka besar yang terpajang di etalase samping kasir, "boneka siapa nih? Lucu banget! Dikasih siapa?"

Flavia memeluk erat boneka besar itu, mengusap bulu-bulunya lembut.

Cici tersenyum melihat Flavia. "Pacar kamu Vi, atau udah mantan? Soalnya Cici liat kamu dianter jemput sama orang yang beda."

"Pacar aku?"

Cici mengangguk. "Iya pacar kamu. Cowok yang pernah ke sini itu waktu kamu beli es batu."

Flavia terdiam sembari mengusap bulu boneka itu. Zion?

"Minggu lalu, datang ke sini malem-malem, bawa boneka ini. Katanya buat kamu. Cici mau bawain boneka ini ke rumah, tapi takut kamu nggak di rumah, nggak enak kalo Tante Sari yang nerima."

"Bawa pulang sana, bikin iri aja," ucap Cici yang membuat Flavia tertawa, "jadi mau beli apa?"

"Garam Ci, Mamah mau buat sup."

Flavia menatap boneka besar itu, hingga sampai di rumah dan menaruh apa yang ia beli di dapur, Flavia langsung memasuki kamarnya, menaruh boneka besar itu di hadapannya. Flavia menatap boneka besar itu, tak terasa air mata jatuh dari sana, entah mengapa.

Flavia memeluk boneka itu, samar-samar Flavia bisa menghirup aroma parfum Zion di sana.

"Via, Mamah kan nyuruh beli merica, bukan garam!"

❄️

-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang