Seperti pagi sebelumnya, Flavia selalu bangun pagi untuk memasak sarapan. Bukan untuk Sari, juga bukan untuknya, Flavia memasak sarapan untuk Zion. Walaupun sudah ditolak banyak kali, tapi Flavia tidak pernah menyerah. Setelah memasukkan kotak bekal ke dalam tasnya, ia buru-buru berlari keluar dari rumah, menghalangi jalan motor Zion.
"Nebeng ya?"
Di balik helm full facenya, Zion menghembuskan nafasnya kasar. Flavia yang tau apa maksud dari itu, langsung menyingkir. Tidak seperti sebelumnya, kali ini Flavia sedikit kebal dengan sikap Zion yang seperti ini.
Di sisi lain, Zion melajukan motornya dengan kecepatan tinggi ketika rintik hujan mulai terjatuh. Setelah memakirkan motornya, Zion malah berlari menuju pos satpam dengan jaket di pelukannya. Ia mengusap bahunya yang terkena rintik hujan tadi.
Tak lama, angkutan umum berhenti di depan gerbangnya, Flavia keluar dari sana sembari melindungi kepalanya dengan kedua tangannya. Flavia berlari kecil masuk ke dalam sekolah. Sementara Zion juga berlari di belakang tubuh Flavia, melempar jaketnya tepat di kepala perempuan itu, lalu berlari masuk ke dalam sekolah.
Dari parfum jaket ini saja, Flavia sudah bisa mengetahui punggung siapa yang berlari melewatinya. Jujur, Flavia tidak bisa menahan senyumnya, Zion masih perduli padanya.
Bel istirahat pertama berbunyi, membuat murid berhamburan berlari menuju kantin, memuaskan cacing-cacing di perut mereka yang berteriak meminta jatah. Begitu pula Zion, tapi ia ke sini bukan untuk memuaskan cacingnya, tapi karna ia ingin melihat perempuan itu.
Walau matanya sepenuhnya menatap ponsel, tapi dari ekor matanya, Zion dapat melihat Flavia sedang berlari ke arahnya dengan kotak bekal dipelukannya. Flavia mendorong kotak bekal itu hingga berada tepat di depan Zion.
"Hari ini nggak ada goreng-gorengan karna aku trauma minyaknya kena tangan aku," jelas Flavia panjang lebar.
Zion juga bisa melihat luka berwarna coklat itu berada di punggung tangan Flavia. Buru-buru Flavia menutupi punggung tangannya.
"Nggak pa-pa, udah nggak sakit. Tapi hari ini cuma sandwich nggak pa-pa kan?"
Zion tidak bergeming. Sementara Flavia mengetuk jarinya pada meja kantin. "Kak Zion, pulang sekolah temenin aku makan puding regal mau nggak?"
"Eh," Flavia kembali membuka mulutnya, "pulang latihan."
"Nggak."
Itu yang dikatakan Zion sebelum meninggalkan Flavia sendirian di meja kantin. Bukannya sakit hati, Flavia malah tersenyum geli sembari mengikuti langkah Zion, tak lupa kotak bekal di pelukannya. Setelah keluar dari kantin, tiba-tiba langkah Zion terhenti, berbalik, dan menaruh kedua tangannya di bahu Flavia.
Mendorong perempuan itu hingga mereka berdua masuk ke ruangan, entah ruangan apa ini. Tapi ruangan ini sangat sempit karna dipenuhi oleh sapu, pel, ember dan banyak lagi. Flavia terpaku pada wajah Zion yang sangat dekat dengannya.
Sementara Zion menatap ke luar pintu, berharap orang itu segera pergi. Keringat mengalir di pelipis Zion, saat orang itu melewati pintu yang Zion tatap, Zion sedikit memundurkan kepalanya lalu menghembuskan nafasnya lega saat orang itu hilang di pembelokan.
Zion menunduk, jantungnya seperti berhenti berdetak ketika mata mereka bertemu. Flavia tersenyum lebar, ia mengusap keringat yang mengalir di pelipis Zion.
"Aku harap pintunya ke kunci."
Matanya terpaku pada Flavia, tapi tangannya terjulur membuka gagang pintu. Flavia menghembuskan nafasnya kasar saat melihat pintu itu terbuka lebar.
"Yah, kok ke buka sih?"
"Padahal aku maunya pintunya ke kunci, jadi kita bisa berduaan di dalem," Flavia keluar dari ruangan itu setelah Zion.
KAMU SEDANG MEMBACA
-Z
Teen FictionFlavia suka semua hal yang dingin. Es krim, es batu, kutub utara, hujan, dan juga Zion. ABP series III ; -𝗭 ©2020 by hip-po.