b a g i a n 16

4.6K 496 76
                                    

Hari ini, Selasa tepat jam 10 pagi, Zion sudah berada di gedung olahraga dekat sekolahnya. Hari ini adalah hari pertandingannya. Setelah latihan keras selama 2 minggu terakhir, Zion akhirnya bisa membawa timnya menuju pertandingan yang cukup besar ini.

Zion mendekati Beling dan teman-temannya, ia menanyakan keberadaan Flavia, Beling bilang, masih di jalan. Zion semakin tidak tenang karna ia sudah ingin bertanding tapi Flavia belum juga datang. Hingga mata Zion menangkap bayangan motor Vicky berhenti di parkiran dan perempuan dengan poni berantaran berlari ke arahnya.

Vicky mendekati mereka semua dan mengusap tengkuknya. "Maaf telat, soalnya Ratu bingung mau pake baju apa," ucapnya sembari melirik Flavia yang tersenyum lebar menatap Zion.

Flavia langsung membulatkan matanya. "Kak Vicky jangan buka kartu!" semua tertawa, sementara Flavia menunduk malu.

Mereka berbincang kecil, Zion bilang, di dalam sudah ada tempat khusus untuk mereka semua, jadi mereka tidak perlu khawatir lagi. Lima belas menit sebelum pertandingan, Zion sudah dipanggil untuk masuk ke dalam lapangan untuk melakukan pemanasan.

Flavia mengulurkan tangannya ke depan wajah Zion, yang ditatap bingung oleh Zion. "Tos dulu, biar menang!"

Zion terkekeh, bukannya membalas uluran tangan Flavia, Zion malah menarik kepala Flavia lebih dekat dengannya, hingga Flavia bisa merasakan benda kenyal menempel di dahinya beberapa detik. Flavia terdiam melihat punggung Zion yang berlari memasuki lapangan, sementara ia masih berusaha menetralkan debaran jantungnya.

Flavia berteriak heboh, begitu juga Beling dan teman-temannya. Sekolah lain juga tak kalah hebohnya. Suara peluit berbunyi, menandakan pertandingan di mulai.

Flavia tak henti-hentinya berteriak sembari menatap Zion. Di sana, cuma Flavia yang berteriak seheboh ini, apalagi Flavia dikelilingi oleh laki-laki yang menjaganya, hal itu membuat Flavia menjadi pusat perhatian.

Di kanan Flavia, ada Beling dan 2 teman lainnya, di kiri ada Vicky, dan di atas ada El dan 3 teman lainnya, membuat Flavia berada di tengah-tengah dengan tingkat keamanan yang tinggi.

Flavia melirik Beling. "Gue kayak presiden, dijagain sama kalian," ujarnya membuat Beling tertawa kecil.

Dari lapangan, Zion tersenyum kecil melihat Flavia sedang melambaikan tangan ke arahnya lalu menaruh kedua tangannya di kepala, membentuk simbol hati. "Kak Zion semangat!"

Dua menit terakhir, poin beda tipis, membuat kedua sekolah sama-sama berjuang untuk sekolahnya. Tapi ada yang membuat Zion tidak fokus, perempuan berkaus merah darah yang berada di tribun tengah menatapnya. Dan sesekali melirik ke arah Flavia, menandakan bahwa perempuan itu dekat dengan Flavia.

"Kak Zion kenapa?" Flavia bertanya pada Beling ketika melihat Zion berhenti berlari sembari menatap ke arah lain, bola yang tadi Zion giring juga sudah diambil alih oleh lawan.

Vicky menggeleng ikut bingung melihat gelagat Zion yang sedikit aneh di bawah sana. "Nggak tau, baru kali ini Zion nggak fokus sama pertandingannya."

Hal itu membuat Flavia juga menatap ke arah sana. Gladys. Pantas saja. Walaupun jantungnya juga berdebar sangat kencang, Flavia tidak menghiraukannya.

"Kak Zion! Kalo nggak menang kita gagal jadian!"

Zion yang mendengar itu langsung tersenyum kecil, mencoba kembali fokus pada pertandingannya. Dan Zion berhasil mencetak poin sebelum peluit berbunyi. Flavia bersorak, melompat-lompat kecil yang diikuti oleh Beling dan teman-temannya.

Zion berlari ke tepi lapangan, menjauhi teman-temannya yang hendak memeluknya erat. Zion tidak suka itu, tapi teman-temannya tetap saja melakukan hal itu dan membuat Zion kesal, itu adalah keahlian mereka. Mereka semua tertawa keras melihat Zion dengan wajah marahnya.

Pelatih mendekati Zion, menepuk bahu laki-laki itu dua kali. "Kerja bagus, Yon."

"Makasih coach."

Setelah memberikan pengarahan, pelatih membubarkan tim dan mengundang tim datang ke rumahnya untuk merayakan kemenangan. Zion berlari kecil menaiki tangga menuju tribun dimana Flavia dan Beling berada. Ia menerima botol air dari Flavia, meneguknya hingga setengah.

Zion menyapu pandangannya, Gladys hilang setelah peluit tadi berbunyi. Kehadiran Gladys di sini berhasil membuat fokus Zion hilang sebentar, perempuan itu selalu tau cara mengacaukannya. Flavia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Zion.

"Nggak pa-pa, dia udah pergi. Lagian aku aman dijaga sama body guard kayak mereka," ucap Flavia menenangkan Zion.

Zion mengangguk samar, mereka keluar dari sana dengan desak-desakan. Tapi desak-desakan itu tidak berarti bagi Flavia yang selalu dijaga oleh Beling dan teman-temannya, apalagi Zion berada di depannya, menuntun jalannya keluar dari gedung olahraga itu.

Flavia tertawa kecil dan melirik Zion yang sedang berusaha menjauhkan orang-orang dari posisi Flavia. "Aku berasa presiden yang dikawal terus.

Beling tertawa menanggapi dan Zion sendiri hanya tersenyum kecil. Di luar, mereka semua langsung menghela nafas lega. Setelah berjuang desak-desakan keluar dari sana, akhirnya mereka bisa menghirup udara segar lagi.

El menepuk bahu Zion dengan kekuatan yang membuat Zion meringis kecil dan menyingkirkan tangan itu dari bahunya. "Selamat Yon! Ditunggu makan-makannya!"

Zion tersenyum kecil, sementara Beling menoyor kepala El. "Makanan mulu lo! Yon, gue cabut, tugas gue udah selesai kan?"

"Makasih banyak," ucap Zion sembari membalas pelukan Beling.

"Yoi, santai," Beling beralih pada Flavia, "gue pulang dulu ya, Ratu-nya Zion."

Flavia tertawa. "Hati-hati Kak!"

Zion melempar tas basketnya ke kursi belakang, lalu melajukan mobilnya menuju rumah Flavia. Sepanjang perjalanan, seperti biasa, Flavia berceloteh panjang yang dibalas anggukan oleh Zion dan sesekali Zion tersenyum kecil.

Tiba-tiba pikiran Zion melayang pada kejadian waktu itu. Di perpustakaan SMPnya, Zion melihat tubuh Vina tidak benyawa lagi di sudut ruangan dengan genangan darah di sana.Pergelangan tangan kiri robek dan tangan kanan memegang pisau. Dari CCTV perpustakaan, tak ada tanda-tanda Vina akan mengakhiri hidupnya.

Hingga perempuan itu mengeluarkan pisau dari tasnya, mengiris urat nadinya dan meninggal karna kehabisan darah. Zion tidak pernah melupakan kejadian itu.

"Kak Zion!"

Zion mengerjapkan matanya dengan cepat, berbalik pada Flavia yang sedang memajukan bibir bawahnya. "Berarti daritadi aku ngomong nggak didengerin ya? Ngelamunin apa sih?"

Zion menggeleng samar lalu kembali menatap ke depan. "Nggak ada."

Flavia membuang nafasnya kesal. Tapi sedetik kemudian, ia berbalik pada Zion. "Kakak masih nggak mau cerita? Padahal ini udah hampir 4 bulan. Nggak mau cerita tentang Gladys? Atau Kak Vina?"

Mendengar nama Vina, Zion langsung berbalik, menatap Flavia. "Lo tau Vina?"

Flavia terdiam, raut wajah Zion kali ini sangat berbeda.

"Nggak tau, tapi di buku Kakak nggak ada buku tanpa tulisan nama 'Vina' di sana," Flavia menatap keluar jendela, "maaf kalo aku lancang, tapi waktu itu aku nggak sengaja masuk ke kelas Kakak, dan kepo nyari meja Kakak."

"Dia pasti penting ya di hidup Kakak?" Flavia bertanya ragu.

"Iya," jawab Zion singkat.

Tapi jawaban Zion kali ini benar-benar membuat dada Flavia sesak. Jadi setelah semuanya, mereka ini apa?

Lalu sisa perjalanan hanya dihiasi dengan suara kendaraan di luar, di dalam mobil itu suasananya terasa berbeda dari 5 menit yang lalu. Berkali-kali Zion bisa menyadari Flavia menghapus air matanya dengan punggung tangannya.

Ketika mobil Zion berhenti tepat di rumah Flavia, Zion mengurungkan niatnya untuk membuka mulut ketika Flavia terlihat buru-buru keluar dari sana.

"Makasih Kak," ucapnya pelan, "makasih untuk semuanya. Aku nggak nyesel kenal sama Kak Zion."

"Dan mungkin sekarang aku tau kenapa Kak Zion nggak bisa ngebuka hati Kakak buat aku," lanjut Flavia sebelum pintu mobil tertutup.

❄️

-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang