"Come on, Flavia, let's do this."
Flavia membuang tisu yang sudah berubah warna menjadi merah dan menggantikannya dengan yang baru, menaruhnya di bawah hidungnya. Matanya masih terbuka lebar menatap buku-buku yang berada di depannya, tangan kanannya memegang bolpen dan tangan kirinya menahan tisu yang berfungsi untuk menahan keluarnya cairan kental dari hidungnya, dan sesekali menatap ke arah buku tebal di hadapannya.
Setelah kejadian waktu itu, yang Flavia lakukan hanyalah belajar, belajar dan belajar. Tak kenal waktu, tak memikirkan kesehatannya, Flavia tetap belajar, mengasah otaknya walaupun otaknya terkadang lelah menghadapi Flavia yang sangat keras kepala. Semua ia lakukan hanya untuk menjadi junior dari Zion, untuk yang kedua kalinya.
Foto gedung UI dan foto Zion selalu diliriknya, itu yang menjadi motivasi Flavia untuk tidak berhenti belajar. Hanya ini yang bisa ia lakukan demi Zion, demi mereka. Flavia harus lulus, dan harus bisa mendapatkan kembali hati Zion. Berjuang dari awal lagi seakan semuanya sudah direset.
Flavia menyandarkan punggungnya di kursi, menghela nafasnya. Ia menatap tempat sampahnya, tisu dengan warna merah memenuhi tempat sampahnya. Pukul 3 dinihari, baru 30 soal yang bisa Flavia tuntaskan. Tak apa, ini belum apa-apa, ini baru permulaan. Flavia bisa, Flavia kuat.
Mata Flavia menatap bingkai foto yang selalu mengingatkannya bahwa ia harus belajar. Tangannya terulur mengambil bingkai foto itu, mengusapnya perlahan. Lalu sedetik kemudian, air mata kembali mengalir di pipinya. Selalu begitu, melihat wajah Zion saja, sudah berhasil membuat emosinya tidak terkendali.
Kadang Flavia tersenyum lebar mengingat hal-hal yang ia lakukan dulu bersama Zion lalu tertawa kecil dan menangis.
Setelah mengusap air matanya, Flavia menghela nafas, menaruh kembali bingkai foto itu dan mengambil bolpen, mengerjakan sisa soal yang belum tuntas.
Tak terasa, waktu begitu cepat berlalu. Hari ini, Flavia sudah menyelesaikan Ujian Nasional terakhirnya. Setiap hari, bahkan setiap detik, Flavia memohon agar nilainya mencukup untuk menembus UI. Flavia tau, kemungkinannya kecil, tapi Flavia lebih percaya dengan keajaiban. Pasti.
Flavia sudah mendaftar lewat jalur undangan, tapi keberuntungan belum berada di tangannya.
Dua minggu terlewati, nilai rapor keluar dan itu sangat mengejutkan Flavia. Nilainya melonjak drastis, membuat Flavia tak henti-hentinya berterima kasih pada yang di atas.
"Nilai kamu bagus, semakin meningkat setiap tahunnya. Tapi untuk menembus UI dengan jurusan yang kamu sebut, Ibu rasa, kamu nggak cocok sama jurusan itu Vi."
Flavia menghela nafasnya sembari menyandarkan punggungnya di kursi. Ia harus tembus ke jurusan itu, ia harus menjadi junior Zion lagi. "9/10 kan Bu?"
Wali kelas Flavia mengernyit tipis sembari menatap rapor Flavia. "4/10 mungkin?"
"Nggak mungkin! 4/10 kok bisa?" Flavia memekik terkejut, segitu tidak cocoknya kah dirinya di jurusan itu?
"Iya, itu kemampuan kamu. Nilai kamu tidak terlalu memungkinkan untuk tembus jurusan itu."
Flavia terdiam sebentar, yang harus ia lakukan hanya belajar dan belajar saja sebelum pendaftaran lewat jalur tes itu berlangsung. "Flavia bisa Bu! Flavia bakalan buktiin ke Ibu."
Wali kelas Flavia tersenyum hangat, Flavia memang keras kepala. "Ibu akan tunggu Flavia."
Flavia menutup pintu ruangan konseling dengan lembut. Ia menghela nafasnya, berjalan ke tengah-tengah lapangan, berbaring di sana sembari menatap langit yang cerah. Matanya terpejam, merasakan angin menerpa kulit wajahnya dan membiarkan sinar matahari menusuk kulit tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
-Z
Teen FictionFlavia suka semua hal yang dingin. Es krim, es batu, kutub utara, hujan, dan juga Zion. ABP series III ; -𝗭 ©2020 by hip-po.