b a g i a n 22

4.1K 443 36
                                    

"Mblo! Kapan lo mau pulang?"

Zion berdecak, menyingkirkan tangan Rayyan dari bahunya. Ia kembali sibuk menatap layar televisi di depannya, jarinya memainkan stik playstationnya. Semenjak kejadian di café itu, Zion jadi sering menyibukan dirinya dengan bermain ponsel, menonton film, dan bermain playstation hingga lupa waktu.

Itu semua Zion lakukan hanya karna ia tidak mau memikirkan tentang Flavia, lagi. Melihat dengan jelas air mata keluar dari mata perempuan itu berhasil membuat dada Zion sesak, dan selalu sesak setiap Zion mengingatnya kembali.

"Bulan depan," jawab Zion akhirnya karna ia ingin Rayyan cepat-cepat keluar dari kamarnya.

Rayyan mengernyit. "Cepet banget? Bukannya masih ada sebulan lagi?"

"Ngapain gue lama-lama di sini?" Zion bertanya balik dengan nada yang tidak bersahabat.

Rayyan menghembuskan nafasnya kasar, duduk di samping Zion. "Jahat banget lo sama dia."

Zion melirik Rayyan sekilas lalu kembali menatap televisi di hadapannya. "Dia yang lebih jahat," gumam Zion datar.

"Tapi nggak gini juga Yon. Dia cewek, lo harus mikirin perasaannya."

Zion mengernyit tidak suka saat semua orang yang berbincang dengannya hanya menanyakan seputar Flavia saja. "Emang dia mikirin perasaan gue?"

Rayyan menghela nafasnya. Zion selalu sensitif bila ada yang membahas tentang Flavia semenjak malam itu. Tak ada yang berani bertanya, bahkan Laura. Laura lebih memilih menutup mulutnya ketika melihat Zion memasuki mobil dengan raut wajah yang berbeda.

Setelah pintu kamarnya tertutup, Zion melempar stik playstationnya ke karpet dengan kesal. Zion menyandarkan punggungnya di sofa, menatap langit-langit kamarnya lalu menghembuskan nafas kasar. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar, bergabung dengan keluarganya yang sedang berkumpul di teras belakang.

Tapi baru semenit Zion duduk di sana, laki-laki itu sudah risih karna hanya ia sendiri yang tidak memiliki pasangan. Akhirnya Zion memutuskan untuk beranjak dari sana, menonton televisi di ruang tengah dengan volume yang cukup tinggi. Menonton televisi di ruangan tengah, bagi Zion seperti menonton bioskop karna layarnya sangat amat besar.

Layar besar memenuhi tembok membuat Zion harus mendorong sofa menjauh dari sana agar matanya tidak terlalu sakit. Bel rumah berbunyi, tapi Zion sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, padahal ia yang paling dekat dengan pintu utama.

"Yon, buka pintu!" teriak Rayyan dari belakang.

Zion tidak menjawab, membuat Rayyan menghampiri Zion lalu mendorong tubuh itu dengan keras. "Buka sana."

Karna kekuatan Rayyan lebih besar darinya, Zion berdecak dan bangkit dari duduknya, membuka pintu. Namun saat melihat siapa yang datang, Zion kembali menutup pintu itu keras, hingga membuat semua yang mendengar pintu itu tertutup terlonjak kaget.

Laura tidak bertanya sama sekali karna Zion langsung menaiki tangga, memasuki kamarnya. Laura berlari kecil menuju pintu utama, membukanya lebar-lebar. Laura tersenyum kecil, pantas saja, Zion membanting pintu keras-keras.

"Masuk Vi."

Flavia tersenyum lebar, walaupun matanya berkaca-kaca. Ia mengulurkan sekotak kue yang sempat ia beli sepulang sekolah tadi pada Laura. Ya, Flavia yang baru saja pulang sekolah dan langsung mendatangi alamat yang Laura kirimkan padanya kemarin.

"Tadinya mau masuk Kak, tapi Kak Zion kayaknya nggak nerima aku di rumah ini, jadi aku langsung pulang aja," jelas Flavia dengan raut wajah sedihnya sembari berjalan menjauh dari rumah besar itu.

-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang