b a g i a n 12

5.1K 547 44
                                    

Aurel berlari menuju UKS, tempat Flavia berada sekarang. Saat merasa Flavia sudah tenang tadi, Aurel sangat yakin Zion tidak akan diam saja. Dan benar saja, di depan kelas yang pintunya terbuka lebar, di dalam sudah ada Zion dan teman-temannya.

Aurel duduk di kursi depan Flavia. Sementara Flavia yang melihat raut wajah Aurel berubah langsung mengernyit. "Kenapa Rel? Kak Beling dikeluarin dari sekolah?"

"Ini lebih parah."

Sedangkan Zion duduk di depan kepala sekolah, di sampingnya sudah ada Laura yang berkali-kali menenangkan Zion. Bahkan Zion menelfon Laura untuk menjadi walinya karna ia takut Abangnya akan ikut-ikutan menghajarnya. Zion menjelaskan semuanya dengan nada yang tenang, bahkan makian dari orang tua William tidak berhasil membuatnya kembali emosi.

Hingga setengah jam lamanya, keputusan telah diambil. Dari masalah William dan Beling, dinyatakan William yang sepenuhnya salah. Dan dari masalah Willian dan Zion, William juga dinyatakan bersalah. Tapi bukan berarti Zion dan Beling aman-aman saja, mereka berdua juga tetap dihukum.

Zion diskors selama 2 hari dan Beling sendiri 5 hari. Setelah itu, mereka berdua keluar dari ruangan kepala sekolah. Zion memeluk Laura erat, mengucapkan terima kasih lalu menyuruh perempuan itu pulang dan berhati-hati.

Langkah Zion terhenti di depan pintu UKS, ia menghembuskan nafasnya lalu membuka pintu itu. Matanya langsung bertemu dengan Flavia yang sedang duduk di ranjang dengan air mata yang mengalir di pipinya. Flavia turun dari ranjang, berlari menghampiri Zion, memeluk laki-laki itu erat.

Aurel sendiri yang sedari tadi menahan Flavia agar tidak menyusul ke ruangan kepala sekolah, keluar dari UKS, menutup pintu dengan lembut.

Flavia mengeluarkan semua air matanya di pelukan Zion. Zion sendiri hanya bisa membalas pelukan itu, mengusap kepala Flavia lembut, menenangkan perempuannya.

Seperti disambar petir di siang hari, tubuh Zion langsung menegang saat Beling mengatakan ada yang menyakiti perempuannya. Siapapun itu, Zion tidak terima apapun alasannya.

"Kenapa sih harus berantem? Padahal aku nggak pa-pa. Tamparan Kak William nggak keras, dia juga nggak sengaja."

Zion melepas pelukannya, menatap wajah Flavia. Pipi Flavia terlihat sangat merah, ini yang Flavia bilang tidak apa-apa?

"Mau pulang?"

Flavia mengangguk. "Kak Zion yang nganterin?" tanyanya dengan suara serak.

"Iya."

Di rumah Flavia, Flavia mati-matian menahan tubuh Zion untuk memasuki rumahnya. Tapi, sekali lagi, Zion laki-laki dan pasti tenaganya lebih besar daripada Flavia.

"Tan-"

Belum sempat Zion menyelesaikan kalimatnya, Sari sudah membentak Zion saat melihat kondisi Putrinya. "Kamu lagi! Ada apa lagi sekarang? Setiap Flavia diantar sama kamu, pasti selalu ada apa-apa!"

Pundah Zion langsung turun, ia menundukkan sedikit kepalanya, merasa sangat bersalah. "Maaf Tante. Ini yang terakhir, saya janji."

"Saya pegang omongan kamu."

"Kak," Flavia menahan lengan Zion yang ingin pergi, Flavia menggeleng keras hingga air mata kembali mengalir di pipinya.

Zion melirik sekilas Sari yang sedang menatapnya dari ambang pintu. Zion melepaskan genggaman tangan Flavia dari lengannya, tangan kirinya menangkup wajah Flavia, mengusap air mata yang mengalir di pipi perempuan itu.

"Kita nggak bisa sama-sama," ucap Zion yang membuat dada Flavia sesak, "lo bahaya ada di dekat gue," ucapnya sebelum pergi dari hadapan Flavia dan Sari.

-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang