b a g i a n 8

5.6K 624 49
                                    

"Aku mau 3 cup!"

"2 cup aja Mba," ucap Zion sembari mengeluarkan uang dari dompetnya.

Flavia berdecak, Zion tidak pernah mendengarnya. Setelah pesanan siap, Flavia duduk di salah satu meja, berhadapan dengan Zion. Laki-laki ini sudah mengganti baju basketnya dengan kaos hitam polos tapi tidak dengan celana basketnya. Flavia tak berhenti tersenyum sembari menghabiskan es krimnya.

Selesai makan Es krim, mereka berdua langsung pulang. Zion benar-benar menemani Flavia untuk makan es krim saja. Flavia turun dari motor lalu melambaikan tangannya.

"Hati-hati!"

Saat Flavia sudah berada di dalam rumah, barulah Zion pergi dari sana. Flavia tersenyum sembari menatap tembok kamarnya, ia memikirkan semua hal manis yang Zion lakukan hari ini. Bahkan jaket Zion dua-duanya tergantung di kamarnya.

Pukul 2 malam, Flavia masih terjaga. Ia membuka buku sketsanya, di sana sudah banyak gambar yang Flavia buat. Tapi yang paling banyak adalah gambar Zion dengan satu raut wajah, datar. Saat menggambar pun, Flavia tidak bisa membayangkan raut wajah Zion saat tersenyum.

Flavia memainkan ponselnya, mengetikkan sesuatu yang mewakili perasaannya malam ini. Walaupun sedikit ragu, Flavia tetap mengirimkan apa yang ia tulis tadi pada kontak yang bernama Calon Pacar❤️❤️❤️.

Flavia: miss you.

Flavia: :(

Tak ada balasan, membuat Flavia menghembuskan nafasnya kasar. Ia membaringkan tubuhnya sembari berusaha menutup matanya. Tepat saat Flavia sudah berada di alam mimpi, ponselnya berdenting.

Calon Pacar❤️❤️❤️: more.

Namun sedetik kemudian, pesan itu kembali ditarik.

• • •

Flavia berjalan menyusuri koridor, kali ini ia menunduk bukan karna hari ini adalah hari yang buruk, tapi karna ia sedang melihat beberapa lembar sketsa yang ia selesaikan tadi saat melihat Zion sedang bermain basket di lapangan. Flavia tidak bisa berhenti tersenyum.

Hingga ada orang yang menabraknya dengan sengaja, membuat kertasnya terjatuh dan menginjak kertas itu. Flavia memekik dan berjongkok, mengumpulkan semua kertasnya yang terjatuh. Namun saat baru saja ingin berdiri, tubuhnya sudah didorong. Flavia menatap tajam perempuan di hadapannya.

"Jauh-jauh dari Zion atau gue hancurin hidup lo!"

Flavia berdecak. Ternyata keberadaan perempuan gila yang selalu ia baca di novel-novel benar adanya. Bila di novel yang ia baca, sang pangeran selalu datang dan melindungi, kali ini tidak. Zion sama sekali tidak datang. Jadi, Flavia harus menanganinya sendiri.

Flavia bangkit dari posisinya, ia menatap perempuan di hadapannya dengan name tag Gladys ini, dengan sedikit mengangkat kepalanya, Flavia tersenyum miring.

"Coba aja."

Flavia langsung pergi dari hadapan Gladys, membuat Gladys menghentakkan kakinya keras sembari memekik tertahan. Perempuan itu benar-benar menantangnya.

Flavia berdecak kesal melihat kertasnya kotor karna sepatu orang gila yang bernama Gladys tadi. Ia melangkahkan kakinya menuju gudang belakang, duduk di samping Zion yang sedang sibuk dengan ponselnya.

Perasaan Zion selalu memegang ponselnya, tapi laki-laki ini tak pernah sekali pun membalas pesannya.

"Tadi aku ketemu orang gila, dia ngancem aku. Katanya kalo aku nggak menjauh dari Kakak, hidup aku bakalan hancur," Flavia menjelaskan panjang lebar, "namanya siapa tadi? Glasis? Gadis? Gladys."

Mendengar nama Gladys, Zion langsung bangkit dari duduknya, menghampiri Vicky yang sedang duduk sendirian sembari menghisap rokoknya. Setelah menyuruh Vicky untuk mengantar Flavia pulang sekarang juga, Zion berlari kecil menuju kelas perempuan gila itu.

Dengan nafas yang terengah, Zion mengetuk pintu kelas itu, menyuruh Gladys keluar dari sana.

Gladys tersenyum miring. "Cewek manja itu ngadu sama lo? Ngadu apa? Kalo gue dorong dia sampe jatoh?"

Di sisi lain, Flavia yang baru saja ingin mengikuti Zion, tangannya langsung ditahan oleh Vicky. "Kenapa sih Kak? Kak Zion kenapa?"

"Lo pulang sama gue."

"Nggak mau! Gue maunya sama Kak Zion."

"Lo harus nurut!" bentak Vicky yang membuat Flavia langsung diam, "lo pulang sama gue."

"Gue mohon sama lo, kalo lo ketemu sama Gladys lagi, lo lari, pergi dari dia," ucap Vicky sembari menatap Flavia serius.

Flavia bahkan baru kali ini melihat Vicky berbicara seserius ini dengannya. "Iya. Tapi kenapa?"

Vicky tidak menjawab, laki-laki itu malah mempercepat langkahnya. Di pembelokan, langkah Vicky terhenti, matanya menatap ke lantai atas, melihat 2 orang yang sangat ia kenali. Begitu juga Flavia, mata Flavia menatap kedua orang itu kepo.

Flavia memekik kecil ketika melihat Zion mencengkram kerah baju yang Flavia percaya bahwa itu Gladys. Lagi-lagi lengannya ditahan oleh Vicky saat Flavia hendak mendekati mereka berdua. Dari bawah sini, Flavia bisa merasakan betapa menegangkannya atmosfer yang berada di sana. Raut wajah Zion saja, sudah memberi tau bahwa laki-laki itu emosinya sedang meninggi.

Flavia membulatkan matanya saat Zion mendorong Gladys dengan tangan yang sama, mata mereka berdua bertemu, dan Vicky buru-buru menarik tangan Flavia menjauh dari sana, meninggalkan sekolah dengan cepat.

Flavia mengembalikan helm yang ia pakai tadi pada Vicky. "Ada apa sih? Kak Zion kenapa? Jangan gini dong, gue kayak orang tolol yang nggak tau apa-apa."

Vicky menyisir poni Flavia yang sedikit berantakan. "Zion bakalan cerita, tapi kalau waktunya tepat."

"Yang terpenting sekarang, fokus sama sekolah lo. Dan gue mohon, jangan deket-deket dulu sama Zion," lanjut Vicky sembari mengusap pelan kepala Flavia.

"Iya, makasih Kak."

Flavia masuk ke dalam kamarnya, memeluk gulingnya sembari memikirkan apa yang ia lihat tadi. Saat Zion buru-buru pergi dari gudang saat ia menyebut nama Gladys. Cara Zion menatap Gladys, mencengkram kerah baju perempuan itu, dan bahkan mendorong Gladys.

Flavia memejamkan matanya, benar kata Aurel, sikap Zion yang sebenarnya benar-benar menyeramkan. Apalagi melihat tatapan mata Zion saat menatap Gladys tadi.

Suara ketukan pintu terdengar, tapi bukan pintu kamarnya, melainkan pintu rumahnya. Padahal, Flavia sudah memejamkan matanya, pura-pura tertidur agar tidak disuruh membuka pintu karna matanya sedang bengkak sekarang, hidungnya merah. Tapi suara teriakan Sari meneriaki nama Flavia, menyuruh membukakan pintu, membuat Flavia mau tak mau bangkit dari ranjangnya.

Setelah memastikan bahwa wajahnya tidak terlalu kelihatan seperti orang yang habis menangis, Flavia menggapai jaket Zion yang tergantung di belakang pintu. Flavia memakai jaket itu yang terlihat lebih besar daripada ukuran tubuhnya.

Setelah menarik nafas dan menghembuskannya, mengulangnya beberapa kali, Flavia membuka pintu rumahnya. Ia tersenyum menatap seseorang yang berada di hadapannya dengan beberapa es krim di tangannya.

Namun senyuman Flavia luntur saat air mata mengalir di pipinya, Flavia menunduk, melingkarkan kedua tangannya pada pinggang laki-laki itu.

"Aku takut."

Sedangkan orang itu tersenyum kecil melihat Sari sedang mengintip dari dapur. Saat Sari kembali ke dapur, orang itu baru fokus pada Flavia yang memeluknya.

"Semuanya akan baik-baik aja."

❄️

-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang