b a g i a n 6

6.6K 671 21
                                    

"Heh! Lo gila ya?"

"Gue nggak gila Zion! Gue udah pernah bilang, lo deket sama cewek lain, gue nggak akan diem aja!"

Zion menatap perempuan di hadapannya. Ia menangis keras, darah bercucuran dari lengannya. Padahal Zion hanya ingin lewat perpustakaan saja, modus ingin melihat kelas yang tak jauh dari perpustakaan. Tapi saat tepat di depan pintu perpustakaan, pintunya terbuka dan lengannya ditarik masuk ke dalam. Perempuan itu mengunci pintu lalu kembali mengarahkan silet ke lengannya, menyayat lengannya di depan Zion.

Zion sudah mengenal perempuan ini dari dulu. Perempuan gila yang sangat terobsesi padanya, sampai-sampai ia rela menyakiti dirinya sendiri ketika melihat Zion dekat dengan perempuan lain. Setelah menyakiti dirinya sendiri, perempuan ini mulai menyakiti orang yang dekat dengan Zion.

Zion membuang silet itu jauh-jauh. "Gila lo."

"Gue tau dia, Flavia Shalsabila, anak Bahasa."

Mendengar orang ini menyebut nama Flavia, Zion langsung terdiam. Sial. Mengapa perempuan ini sudah tau tentang keberadaan Flavia?

"Ganggu dia, mati lo di tangan gue."

"Berarti bener, dia penting bagi lo. Dia siapa sih Yon? Secantik apa dia sampe bisa bikin lo jatuh cinta dalam waktu seminggu?"

"Gue nggak akan main-main. Lo harus inget, apa yang gue lakuin sama Vina!" ucapnya sebelum meninggalkan perpustakaan.

Zion buru-buru berlari menuju gudang belakang. Ia lupa, bahwa di dunia ini masih ada perempuan gila seperti Gladys. Mendengar nama Vina disebut oleh Gladys, emosi Zion langsung naik. Zion tidak pernah melupakan bagaimana perempuan itu menghilang dari hidupnya.

Dan Zion, tidak akan membiarkan Gladys menyentuh Flavia.

Zion mendekati Vicky yang sedang merokok di depan gudang. "Lo anter Flavia pulang."

"Loh? Kenapa bukan lo aja?"

Zion tidak menjawab, ia menarik lengan Flavia keras, hingga perempuan itu memekik kaget saat Zion yang baru saja datang langsung menariknya. Tercetak bekas jari-jari Zion di pergelangan tangan perempuan itu, menandakan bahwa Zion benar-benar menariknya secara kasar.

Bahkan Zion tidak sengaja mendorong tubuh Flavia pada Vicky. "Anterin dia pulang."

"Kenapa? Hari ini nggak ujan, Kak Zion bisa nganterin aku—"

"Anterin dia pulang!"

Flavia terkejut bukan main mendengar Zion berteriak tepat di hadapannya. Vicky yang sama terkejutnya dengan Flavia langsung menarik lengan perempuan itu menjauh dari Zion. Sedangkan di dalam gudang, Beling mendekati Zion.

"Kenapa?"

Saat Zion ingin pergi, tubuhnya ditahan oleh Beling, Beling mendorong tubuh Zion dengan kasar duduk di sofa.

"Lo nggak boleh pulang sebelum lo tenang."

Zion berkali-kali mengatur nafasnya yang terengah. Emosinya masih naik turun. Walaupun Flavia sudah aman ditangan Vicky, ia tidak bisa memastikan perempuan itu selalu aman bila didekatnya. Bagus kalau Flavia selalu didekatnya, Zion bisa menjaga Flavia dari Gladys, jika tidak? Flavia yang menjadi santapan Gladys.

Beling juga berkali-kali menanyai Zion mengapa sikapnya bisa berubah seperti ini. Zion hanya menyebut nama Gladys, dan mereka semua langsung menutup mulutnya, takut bertanya lagi. Kemudian, Vicky datang, melempar kunci motornya di meja, Zion langsung menatap Vicky.

"Dia aman sampe di rumah, Flavia nangis sepanjang jalan."

Zion menghembuskan nafasnya kasar, ia keluar dari gudang lalu pulang. Di perjalanan, motor Zion berhenti tepat di sebrang jalan rumah Flavia. Namun saat pintu rumah itu terbuka dan menampakkan sosok Flavia, Zion malah menancap gasnya pergi dari sana.

Sementara Flavia mengusap air matanya saat motor Zion hilang di tikungan. Entah apa yang terjadi tadi, baru kali ini ia melihat Zion berteriak seperti tadi. Sampai Flavia sama sekali tidak berani menatap mata laki-laki itu.

Pagi-pagi sekali, Flavia sudah siap dengan seragam sekolahnya. Matanya menatap ke arah gerbang perumahan, dan tangannya sibuk mengikat tali sepatu. Flavia berlari kecil menuju tengah-tengah jalan, menghalangi motor Zion yang hendak melintas.

"Kak Zion, nebeng dong!"

Zion menghembuskan nafasnya kasar. "Minggir."

Flavia berdecak, menyingkir dari hadapan Zion, hingga motor itu hilang dari pandangannya, Flavia masih merasa dadanya sesak.

Di sekolah, Flavia menghampiri Zion yang sedang duduk sendirian di meja kantin. Dengan kotak bekal di tangannya, Flavia mendekati Zion yang sibuk dengan ponselnya. Flavia duduk di hadapan Zion, menaruh bekal itu tepat di depan Zion.

"Aku buatin telur mata sapi ala Flavia!"

Zion tidak merespon, laki-laki itu malah bangkit dari duduknya, meninggalkan Flavia sendirian di meja. Bisik-bisik mulai memenuhi kantin saat Zion sudah pergi dari sana, bahkan ada yang terang-terangan menunjuknya sembari tertawa keras. Mata Flavia mulai memanas, ia berjalan keluar kantin dengan kotak bekal di pelukannya.

Entah apa yang terjadi pada Zion, tapi Flavia tidak akan menyerah.

Sampai Zion benar-benar menjadi miliknya. Walaupun harus ia yang berjuang mendapatkan laki-laki itu.

Flavia menghapus jejak air matanya, ia harus terbiasa dengan sikap Zion yang ini. Zion baru menunjukkan sikap aslinya sekarang, kemarin-kemarin hanya topeng yang Zion pakai.

Flavia menenggelamkan wajahnya dalam lipatan tangannya, sementara Aurel mengusap bahu Flavia, berusaha membuat Flavia tenang.

"Kan gue udah bilang sama lo. Kak Zion nggak sebaik yang lo kira. Dia nggak punya hati."

"Lo udah liat dia bertemen sama Kak Beling, laki-laki paling bejat di sekolah ini," lanjut Aurel.

"Kak Beling baik Rel. Lo harus kenal sama dia," ucap Flavia  sesegukan, sembari menghapus air matanya.

"No, thank you, dari cerita semua orang, gue nggak mau berurusan sama orang itu."

Flavia terdiam. Jika mendengar dari cerita orang-orang saja, dimana kamu bisa mengambil kesimpulan? Sedangkan kamu memakan ludah dari orang lain.

Flavia tidak fokus pada pelajaran hingga bel pulang berbunyi, perempuan itu bangkit dari duduknya, berjalan di koridor dengan kedua tangan mengenggam tali tasnya, dan menunduk. Hingga dahinya menabrak tubuh seseorang, Flavia mengangkat kepalanya, dan mendapati wajah Vicky sedang tersenyum ke arahnya.

"Ayo gue anter pulang," ucap Vicky begitu matanya dan mata Flavia bertemu.

"Nggak usah Kak, gue naik angkot aja."

"Jangan gitu dong, nanti gue dibantai sama Si Boss kalo nggak nganterin lo pulang."

Saat Flavia belum mencerna kata-kata yang dikeluarkan oleh Vicky, tangannya sudah ditarik menuju parkiran. Vicky memberi Flavia helm. Bukannya langsung dipakai, Flavia menatap helm ini terlebih dahulu. Helm ini sangat mirip dengan helm yang Zion berikan dulu, saat mengantarnya pulang.

Di rumah, Flavia langsung memasuki kamarnya, menangis keras hingga membuat Sari panik sendiri.

"Kenapa Vi?"

"Nggak pa-pa Mah," jawab Flavia.

"Pasti gara-gara pacar kamu."

Flavia mengusap air matanya. "Mamah percaya dia pacar aku?"

"Percaya," Sari bangkit dari duduknya.

"Dia yang bilang sendiri waktu itu," lanjutnya sebelum pintu kamar tertutup.

❄️

-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang