e p i l o g

5.4K 458 44
                                    

Matanya bergerak perlahan menatap pantulan tubuhnya di cermin, dari ujung kaki sampai ujung rambut dan berhenti saat menatap kedua bola matanya sendiri. Setelah orang itu menyebabkan kejadian yang membuatnya trauma, ia tidak pernah memikirkan bahkan mengharapkan ia dapat melihat wajah orang itu lagi. Tapi kali ini, ia sudah memakai pakaian yang rapih hanya untuk menemui orang itu, lagi.

Sesekali matanya bergerak melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu terus berjalan tapi ia sama sekali belum siap untuk melakukan hal ini. Kakinya bergerak tidak tenang, kedua tangannya beradu hingga membuat luka-luka kecil di sana. Tapi ia, sama sekali tidak memperdulikannya. Lalu tangan kanannya beralih mengecek detak jantungnya yang berdegup sangat kencang. Ia bangkit dari duduknya, mengelilingi kamar sembari mempraktekan apa yang akan ia lakukan bila sudah bertemu dengan orang itu.

Sementara di luar, laki-laki yang baru saja melepas helmnya langsung tersenyum kecil melihat bayangan tubuh perempuannya sedang berjalan-jalan di dalam sana. Tanpa mau menganggu aktivitas perempuannya, ia hanya memperhatikan sembari tersenyum kecil. Lalu langkah perempuannya berhenti, ia melambaikan tangannya lalu sedetik kemudian diturunkan lagi lalu menggeleng.

"Nggak-nggak, awkward banget nggak sih?" tanyanya pada dirinya sendiri lalu kembali mencoba gerakan lain yang berhasil membuat kekehan keluar. "Kak Zion!"

Zion tertawa kecil lalu masuk ke dalam sana. "Ngapain sih?" tanyanya sembari duduk di kursi belajar, melihat banyaknya catatan-catatan kecil yang tertempel di meja belajar dan dinding.

"Lagi latihan ketemu sama Ayah," jawabnya pelan, "abisan selama ini Flavia nggak pernah ada niatan untuk ketemu sama Ayah. Kenapa tiba-tiba Kak Zion mau ajak aku ketemu sama Ayah?"

Zion mengalihkan pandangannya menatap Flavia yang sedang menekuk wajahnya kesal. Lalu raut wajahnya berubah, membuat Zion mendekati perempuannya lalu mengusap kepala Flavia lembut. "Gue tau ini berat buat lo. Tapi gue nggak mau lo nyesel. Kita nggak tau apa yang akan terjadi ke depannya, maka dari itu gue ajak lo."

Flavia mengerjapkan matanya pelan, mendengar penuturan kata dari Zion membuatnya berpikir sejenak. Ya, Zion ada benarnya juga tapi Flavia merasa masih ada yang cukup janggal tentang hal ini. Sebelum-sebelumnya Zion sama sekali tidak pernah membahas tentang Ayahnya, karna Zion tau Flavia tidak suka bila ada sesuatu yang menyangkut dengan Ayahnya dibicarakan. Tapi kali ini malah Zion yang mengajaknya untuk bertemu dengan orang itu.

Orang yang entah masih bisa dipanggil Ayah atau tidak.

Dalam perjalanan menuju lapas, jemari Flavia yang tidak pernah tenang kini sedang memainkan ujung jaket Zion dan memberikan goresan-goresan kecil di sana. Zion sendiri yang merasakan kegugupan Flavia hanya bisa sesekali mengusap punggung tangan perempuannya lembut.

"Kita nggak akan tatap muka sama Ayah kan, Kak Zion?" tanya Flavia setelah melepas helmnya.

Zion merapikan rambutnya yang sedikit berantakan lalu menaruh helmnya di atas motor. "Lo nggak mau tatap muka—"

"Nggak mau!" potong Flavia cepat, raut wajahnya sudah tidak bisa ditebak. Zion takut bila ia salah berbuat atau berucap Flavia bisa kabur dan entah pergi kemana.

"Iya-iya, nanti bakalan ada pembatasnya," jawab Zion dengan nada bicara yang lembut, ia mengusap lembut kepala Flavia, "nggak usah takut, ada gue di sini."

Dengan langkah lambatnya, Flavia mengikuti langkah Zion hingga mereka masuk ke dalam suatu ruangan dengan pembatas kaca tebal di depan sana. Pintu dari ruangan sebelah terbuka dan saat itu mata mereka bertemu. Detak jantung Flavia berdegup semakin kencang, Flavia kembali bersembunyi di balik tubuh Zion.

Zion berbalik, menatap Flavia yang sedang menunduk dalam. "Flavia liat gue," perlahan Flavia mengangkat kepalanya lalu menatap kedua bola mata Zion. "Hey, it's okay. Kalo lo belum siap kita bisa ke sini lagi kapan-kapan."

-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang