chemistry

1.9K 409 140
                                    

⠼⠁⠃ 

"Lee Arin. Sebenarnya kalau boleh jujur, aku muak mendengar cerita ini." 

Jay menjepit rokok dan mengepulkan asap ke atas langit. Tangannya dilenggangkan di sofa rumah. Arin duduk bersila di hadapan pria dengan bomber hitam tersebut. Ia hanya termenung sebelum kembali buka suara. 

"Kau masih tidak punya bagaimana cara mentransfer persediaan waktu?"

Jay berdiri, dibuangnya puntung rokok itu ke asbak dalam satu lemparan.

"Berhenti menanyaiku pertanyaan yang sama. Kau sudah mengulang itu sebanyak 5 kali," Jay mengoceh tak karuan, "Dan sebaiknya kau ganti bajumu. Berhenti pakai seragam yang sama. Setiap kali kau beli baju, kau beli seragam sekolah yang sama."

Gadis itu terdiam, "Aku hanya takut orang itu tidak mengenaliku."

Kemudian ia mengangkat dan mengangkat wajahnya di meja kaca. "Ayolah, bukan itu tujuannya. Lagipula ini atribut khasku dan aku selalu mencucinya dengan baik. Jangan membicarakan hal tak penting."

"Nanti aku belikan baju. Intinya, pakai saja."

"Tidak mau."

"Oh, tidak mau?" Jay tertawa mengancam, "Nanti kugunting seragammu, ya."

Gadis itu menyengir. Hidungnya berkerut lucu. "Jangan, dong. Nanti aku pakai apa?"

"Tentu saja baju belanjaanku atau tidak usah pakai baju sekalian. Tsk," Jay berdecak. Galak sekali.

"Mesum," gadis itu berdecih sebal. "Tak heran kau berteman dengan Kim Taehyung."

"Kami berdua tidak mesum dan berhenti bilang begitu," Jay berkacak pinggang sementara Arin hanya tersenyum meledek dalam diam.

"Terima kasih karena telah percaya padaku pada hari itu, Ahjusshi," Arin tiba-tiba berkata serius. Ada pendaran ketulusan di matanya.

Mata Arin mengekori bagaimana Jay ikut bersila di depannya. Tangan maskulin penuh urat itu mengacak-acak surai pendek Arin dan sang gadis kecil hanya diam menerima sambutan hangat besar tersebut.

"Terkadang aku lupa kalau kau ini seorang Ahjusshi. Wajahmu terlalu muda untuk panggilan itu."

"Aku tahu," pria itu mengendikkan bahu. "Pesonaku memang tidak terkalahkan sejak debut."

"Tapi, Jay Ahjusshi... sampai kapan kau mau menyembunyikan identitas aslimu? Dan untuk apa?"

"Ini penting untuk memenangkan permainan kucing-tikus ini. Selama gadis itu tidak menemukan siapa aku sebenarnya, maka aku bisa menangkapnya terlebih dahulu."

"Tapi kau juga perlu memberitahuku."

Jay menggeleng. Ia tentu saja tidak bisa memberitahu gadis ini juga. Ini penting untuk keamanan, baik bagi rahasianya maupun eksistensi gadis itu sendiri. Jay menatap bekas luka usang di punggung tangan, dikepalnya erat tangan itu sambil tersenyum tipis.

"Cobalah menerka sampai akhir."

Aku baru sadar kalau gadis toska hanya selalu memakai seragam sekolah. Saat aku bilang selalu, itu artinya memang selalu. Tidak pernah ganti sama sekali.

Aku melangkah pada lobi apartemen kosong. Gadis itu memilih titik temu baru. Dahiku mengernyit saat kulihat anak itu mengenakan baju baru, warnanya mencolok. Sebuah hoodie tebal merah.

"Ahjusshi!" ia melepas masker; berbisik keras.

"Kita tak punya banyak waktu. Jangan terlihat seolah kau sedang bicara padaku," gadis itu segera meneleponku.

Shit.

Rasa gugup menyelimutiku tapi aku hanya menurut karena percakapan ini kurasa akan jadi sangat serius. Aku mundur dua langkah, lalu berbalik. Punggung kami dibatasi tembok. Gadis itu pura-pura menyalakan rokok sementara kutempelkan ponselku di telinga.

Jantungku bertalu keras padahal kurasakan seluruh tubuhku membeku seperti mayat. Kalimat pertama yang dilontarkan gadis itu membuatku hampir kehabisan napas.

"Mulai sekarang jangan percaya siapapun. Termasuk aku."

Tawa hambar keluar dari celah bibir sebagai manifestasi rasa takut yang kusembunyikan. Kurasa gadis ini semakin menjadi aneh, saat ia lanjut berkata.

"Jika kau bertemu aku secara acak dimana pun, cepat bersembunyi. Pura-pura tidak melihatku. Larilah sampai aku yang menemukanmu."

"Tunggu. Tolong jelaskan padaku. Apa yang terjadi? Kau bilang ada kabar buruk?"

Si gadis terdiam sebentar lalu menarik salah satu ujung bibir. "Ya. Kau akan tahu nanti."

Firasatku tidak enak. Aku meneguk saliva dalam ketegangan absolut, dan rasa tak nyamanku tumpah begitu saja saat seseorang memanggilku.

"Ahjusshi?"

Mataku membelalak dalam horror.

Gadis yang barusan memanggilku sedetik lalu itu adalah gadis toska dengan seragam sekolah khasnya.

Lantas, gadis tudung merah tadi...?

Fuck. Jangan bilang.

Aku berbalik dan menemukan sang perempuan tudung merah sudah berlari jauh. Dalam momen singkat, satu tangan mencekal pergelangan tanganku dan gadis toska dengan pupilnya bergetar dalam terror seolah telah memberiku jawaban.

"Orang tadi—yang bertudung merah itu—tepat sesuai dugaanmu, Ahjusshi."

Gadis itu menahanku untuk tidak menepisnya dengan satu kalimat.

"Dia adalah kabar buruknya." []

Notes:
Lagi pengen aja fast update hehe. Btw menurut kamu... Who is Jay? :D

Dan... kalian sebenarnya ngerti ini aku nulis apaan, 'kan? 😭

Vrene-nya belom. Sabar ya pemirsa.

✔ Cerulean Sea and The Sunset | salicelee.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang