⠼⠃⠁
"Boleh aku minta nomor ponselmu?"
Bip. Bip. Bip.
Suara bip repetitif pada mesin cuci yang selesai mengeringkan seragam sang gadis menyeruak dalam keheningan. Saliva Arin terteguk gugup. Yang benar saja, masa artis top setampan ini minta nomor ponselnya? Ini pasti mimpi. Sudah diam saja. Lebih baik diam daripada mempermalukan diri sendiri.
"Ah, sudah punya pacar, ya?" sambung Jimin semakin memancing. Dan sesuai dugaan, sang gadis membalas sekilat kereta listrik, "Kalau pun ada, akan kuberikan untukmu."
Jimin tersenyum geli di seberang sana. Matanya menagih penjelasan dan mulut Arin tak bisa berhenti bicara "Maksudku, itu hanya nomor ponsel. Kita tidak akan jadi sesuatu..."
"Uh huh? Sesuatu?"
"...sesuatu atau s-selingkuhan atau semacamnya jadi—" kemudian Arin mengatupkan bibirnya dalam satu detik. Dia benar-benar terlalu banyak bicara.
"Tentu saja tidak begitu," Kekeh polos Jimin terlontar begitu saja.
Idiot. Argh!
Serius. Arin ingin masuk ke dalam mesin cuci dan membiarkan teknologi tersebut memeras semua kebodohannya sampai tak bersisa setetes pun. Tapi tahu-tahu Jimin telah kembali dengan seragamnya yang sudah kering dan disetrika rapi di dalam plastik biru pastel. Senyum yang terpulas di bibir Jimin menawan sekali.
"Tidak tahu entah kau sudah punya pacar atau belum, sih," Jimin meletakkan bungkusan rapih tersebut di tangan Arin. Lalu ia mencondongkan tubuh dan berbisik kecil. "Tapi..."
Jimin mengangkat satu ujung bibir dengan ringan, meninggalkan Arin yang terbengong seperti anak balita dungu yang tak tahu apa-apa tentang dunia luas.
"Nomorku sudah kuselipkan di dalam plastik."
Ah, sial. Wajah Arin memerah tak terkendali.
♠
Aku berlarian dengan cepat usai keluar dari rumah barbekyu. Joohyun sedang makan dan aku bilang aku ingin menelepon sebentar. Karena di dalam berisik, aku punya alasan untuk pura-pura menempelkan ponsel sampai keluar.
Gadis itu, lengkap dengan seragam rapinya, menoleh kepadaku dan melambai ceria.
"Halo," ia menyapaku dengan senyuman dan aku membalasnya dengan singkat.
"Ada apa? Kuharap bukan kabar yang terlalu buruk, yeah?" aku bertanya dengan napas tersengal-sengal habis berlarian.
Sejak keluar dari BTS aku jarang latihan menari, kurasa staminaku agak menurun sebab yang kulakukan hanya bersenang-senang dan bermalas-malasan di rumah.
Kedua iris bening itu menatapku intens, "Yeah, tidak buruk."
"Jadi, kenapa memanggil?"
Aku menunggu gadis itu menjawab. Tapi ia butuh waktu untuk membuat celah di bibirnya. Aku merasa ini sedikit aneh. Tapi tertepis saja semua akar negatif yang berkelakar di kepala saat gadis itu bertanya dengan sederhana.
"Kau naik apa kemari, Ahjusshi?"
"Naik mobil. Aku makan barbekyu beberapa gang dekat sini."
"Whoa, barbekyu!" ia menyengir antusias. Hidungnya mengerut dan aku lihat tahi lalat samar di pangkal hidung. Ini benar gadis toska.
"Kau ingin bergabung? Aku tak keberatan mengenalimu kepada Joohyun. Tapi, pura-puralah jadi saudara jauhku atau semacamnya," aku terkekeh.
Gadis itu terus tersenyum. Aku tidak tahu kenapa. Tapi pulasan lengkung itu tak lepas apalagi pudar.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Cerulean Sea and The Sunset | salicelee.
Fiksi Penggemar🏅 [#Wattys2020Winner] "Hari ini, 29 Maret 2029. Aku, Kim Taehyung, dinyatakan meninggal dunia pada usia 34 tahun." Gadis asing itu berkata kalau aku harus menemuinya pada malam tahun baru. Aku tak paham apa maksudnya, tapi dia bilang aku tak boleh...