⠼⠁⠊
Kalau kalian pernah lihat kulkas dan pajangan magnet, kurang lebih seperti itu kelakuan Arin pada tas clover yang Taehyung belikan untuknya; menempel terus. Sampai membuat jengkel Jay.
Pasalnya, anak itu tak bergerak saat Jay meminta spot duduk di sofa. Arin malah meluruskan kaki lalu mendudukkan si tas mungil dengan manis padahal Jay sudah berkacak pinggang. Sebenarnya Jay bisa saja menarik tas itu pergi, tapi melihat Arin yang tersemu-semu bahagia, Jay jadi hanya bisa mencibir.
"Minta dijemput, padahal sekolah saja tidak. Pada akhirnya tas bermerk itu juga takkan kaupakai. Dasar tukang menghabiskan uang."
"Manusia paling pelit sepertimu yang ogah menghabiskan uang untuk membelikanku tas bermerek lebih baik tutup mulut, Ahjusshi," Arin menjulurkan lidah dengan usil.
"Kuharap kupingku salah. Tapi, yang benar saja? Kau makan dan tinggal di sini gratis, loh!" Jay meledak protes. Ia tidak bermaksud mengungkit kebaikan yang sudah ia beri, tapi tetap saja ia merasa cemburu karena anak ini lebih mengharta-karunkan tas pemberian Taehyung. "Kau belajar darimana sih membanding-bandingkan begitu?"
Arin beranjak dari sofa bludru dan mengenakan ransel putihnya dengan pongah. Ia memamerkan benda gemas tersebut di hadapan Jay. Melenggang ke kiri dan ke kanan dengan riang. "Cakep, 'kan?"
"Jelek."
"Ah, iya. Aku salah bertanya. Kau 'kan manusia dengan standar rendah," Arin membungkuk sopan, pura-pura merasa bersalah. "Sorry, sorry."
Jay menjepit pipi sang gadis dengan kesal. "Ayo, bilang minta maaf yang sopan?"
"M-maaf!" gadis itu meronta seraya mendesah kesakitan. "Ahjusshi—akh! Sakit! Pipi aku!"
Tangan Jay masih menempel di wajah sang gadis. "Maaf karena apa?"
"Karena sudah bilang kau pelit."
"Salah!" Jay menggembungkan pipi kecewa.
"A-aduh—karena membandingkanmu dengan Taehyung Ahjusshi!?" gadis itu memberikan jawab lain dengan cepat.
Akhirnya Arin berhenti meronta dan bisa meringis sebal saat pipinya sudah bebas dari jeratan. Daging di wajahnya itu diusap dan ia mengeratkan genggaman pada ranselnya sebelum membuka pintu apartement.
"Mau kemana?" cekal Jay. Alisnya menukik penasaran.
"Mau mencuri ramyeon di mini market! Hehe," gadis itu menyengir manis. Lesung pipitnya yang samar muncul di dua sisi wajah. Tentu saja ia tidak bermaksud mencuri ramyeon sungguhan. Itu hanya gurauan.
"Awas kau ya kalau bikin onar," kata Jay sebelum mengacak rambut sang gadis.
Arin masih bisa mendengar celotehan Jay yang mengingatkan untuk tidak mematikan dering ponsel dan wajib merespon panggilan maupun pesan darinya.
Sudah biasa diperlakukan seperti itu oleh Jay. Dan gadis itu tidak terlalu merasa keberatan. Jay itu sudah seperti keluarganya sendiri.
Arin melangkah cepat ke convenient store langganannya. Tempat itu menjual banyak makanan instan yang sudah menjadi kudapan sehari-harinya sebelum tinggal bersama Jay. Dan satu cup ramen akan selalu jadi favorit. Terutama di cuaca gerimis seperti ini.
Tangannya dengan cekatan meraih satu bungkus ramen di rak paling atas, tapi satu suara memecah kegiatannya. Ada bungkus ramen lain terjatuh, tapi itu bukan miliknya.
Arin menoleh dan melihat seorang wanita yang tampak kesulitan untuk berjongkok. Sepertinya wanita itu sedang mengandung—menilai dari perut besarnya yang kontras dengan lengan serta kakinya yang ramping.
Gadis itu buru-buru berjongkok dan bantu membereskan kekacauan kecil akibat senggolan sang ibu muda yang kewalahan.
"Tidak perlu berjongkok, Eonni. Ini aku bantu bereskan," Arin tersenyum kecil tanpa melihat wajah orang yang ia beri bantuan. Matanya sibuk membereskan bungkusan yang berjatuhan sebelum terpaku pada sosok wanita cantik tersebut.
"Terima kasih sudah membantuku," ibu muda itu tersenyum manis. Mata mereka bertemu.
6 bungkus ramyeon di tangan Arin tidak jadi bergerak. Pupilnya bergetar dan ia hanya bisa mematung.
Astaga. Ini Bae Joohyun.
Setelah satu tepukan di lengan menyadarkan Arin secepat kilat, Arin pun membantunya meletakkan 6 bungkus mi instan ke dalam keranjang.
"M-mau aku bantu bawa ke kasir?" Arin mendapati suaranya bergetar. Matanya memanas.
"Terima kasih, haksaeng*. Tapi tidak perlu, kok. Terima kasih banyak, ya," kedua mata yang ia rindukan itu membentuk sabit cantik. "Kamu baik sekali."
Sensasi yang Arin rasakan sama, tetap sebuah kehangatan yang tulus.
"Ah, ba-baiklah," Arin terbata. Ia merasa gugup. Tapi kegugupannya mencair menjadi remang rindu saat suara lembut itu menambahkan pujian akhir sebelum berpamitan usai membayar di kasir.
"Ngomong-ngomong, tasmu lucu."
Senyumannya kikuk. Arin mengangguk pelan. Kepalanya ditundukkan dan ia tak sanggup mengangkatnya. Kedua netranya terpaku pada langkah sang wanita muda yang berjalan di tengah guyuran hujan senja dengan payung toska.
Pelupuk mata Arin perlahan basah. Bibirnya melengkung pelan-pelan menjadi senyuman penuh kelegaan yang tulus. Kristal bening mengurai pelan menelusuri pipi. Punggung sang wanita telah menghilang di bawah spektrum jingga senja.
"Jangan pergi..."
Gumamannya terdengar seperti radio kehilangan frekuensi, samar-samar namun masih terdengar. Ia tersenyum begitu bahagia bersama air di sudut mata.
Tuhan mengabulkan doanya. Bae Joohyun, orang yang sangat ia rindukan itu, sekarang baik-baik saja. Itu artinya, Arin sudah berhasil menyelamatkannya, 'kan?
Itu artinya, ibuku tidak akan mati lagi, 'kan? []
Glossarium:
*Haksaeng : murid atau panggilan untuk seorang pelajar.NOTES:
Menurutku dia agak mirip campuran V & Irene. So yeah, welcome her well ya! Gadis toska, our Arin.
Semoga masih betah nunggu update-an dari saya ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Cerulean Sea and The Sunset | salicelee.
Fanfiction🏅 [#Wattys2020Winner] "Hari ini, 29 Maret 2029. Aku, Kim Taehyung, dinyatakan meninggal dunia pada usia 34 tahun." Gadis asing itu berkata kalau aku harus menemuinya pada malam tahun baru. Aku tak paham apa maksudnya, tapi dia bilang aku tak boleh...