⠼⠁⠉
Gadis toska duduk di sebelahku. Tangannya dilipat di atas tekuk lutut dan kepala diistirahatkan di sana. Aku baru saja menerima informasi kesekian paling gila yang lagi-lagi kudengar darinya.
Sinting. Aku bahkan tidak tahu lagi apakah ini ilusi atau nyata.
"Jadi..." Kupijat pelipisku dengan gerakan memutar. Kucoba memahami satu per satu mengenai informasi yang sudah kudapat. "Gadis tudung merah tadi adalah pembunuhku. Dan dia berwajah persis amat sama sepertimu. Tapi dia bukan saudara kembarmu."
"Itu tidak cukup untuk menggambarkan keseluruhan fakta tapi itu intinya," selanya.
Aku menghela napas frustasi. "Kau berutang penjelasan padaku. Kau tahu itu, 'kan?"
Gadis itu termenung selama hampir 10 menit dan aku dengan sabar menunggunya memberiku respon. Hanya ada suara ombak pantai dan deru angin di bawah langit senja yang masih membiru.
Gadis ini menyarankan tempat terpencil yang sepi manusia. Jadi dengan ingatan seadanya, aku membawanya ke pantai ini. Pantai yang selalu kujadikan tempat kencan diam-diam bersama Joohyun sejak dulu.
Aku mendapati kalau gadis di sebelahku terlihat muram. Barangkali penjelasan terlalu berat untuk dijabarkan. Jadi aku berusaha meringankan suasana.
Kurenggangkan tubuhku dan menoleh padanya. "Mau dengar cerita tentang aku dan Joohyun?"
Gadis itu mengerjap satu kali, ia tampak ragu namun kemudian mengangguk pelan. Dan entahlah soal perasaanku, aku hanya tahu kalau aku sedang tersenyum tulus padanya.
"Aku dan Joohyun sering kencan pada dini hari di sini," mataku menerawang.
Aku kehilangan arah untuk menyebut berapa tahun yang telah kulewati usai mengetahui bahwa dirikuㅡternyataㅡsudah mengulangnya berpuluh kali. "Kencan kedua kami di sini. Sejak saat itu, tempat ini jadi markas rahasia kami."
Aku terkekeh pelan sambil melirik pelajar itu dari ekor mata. Gadis kecil ini sedang mencoret-coret pasir dengan telunjuknya. Ia masih terlihat murung, jadi kulemparkan interaksi kepadanya.
"Coba tebak nama apa yang kami berikan untuk tempat ini?"
Jemarinya berhenti. Serpihan pasir tidak lagi bergerak-gerak. Gadis itu menggeleng tidak tahu. "Mungkin sesuatu dengan Biru di dalamnya?"
"Hampir," aku menjentikkan jari. "Ini Pantai Cerulean."
Alisnya bertaut heran. "Cerulean tidak mirip dengan biru."
"Karena pantai terdiri dari warna biru. Cerulean sendiri adalah biru. Biru langit, biru laut, termasuk biru toska kesukaanmu adalah bagian dari cerulean."
Gadis itu mendongak perlahan. Ada binar ketertarikan di sana. "Kau tahu aku suka biru toska?"
Aku memberi senyum dengan pandangan mana-mungkin-tidak-tahu. "Payungmu masih ada di rumahku."
Akhirnya gadis itu terkekeh. Ada perasaan lega lambat-lambat merekah di dalam hati. Aku jadi tidak terlalu memikirkan piutang eksplanasi yang harus ia lunasi. "Nanti ambil saja ke rumahku."
Gadis itu menggeleng. "Ambil saja. Aku sudah punya payung lain."
"Warna toska lagi?" tanyaku sok menyelidik, lalu si gadis kecil menyengir setuju. Ia membeli payung toska yang sama.
"Apa yang biasa kalian lakukan di pantai ini?" tanyanya.
"Lebih sering untuk menenangkan diri, sih. Aku juga pernah membawa anjingku kemari saat musim dingin. Terkadang, kami juga suka menikmati matahari terbit yang ditemani Venus."
"Kupikir kalian suka matahari terbenam?"
"Suka. Siapa yang tidak?" aku tersenyum kecut. "Hanya saja, kami harus melupakan senja."
Pupilnya terlihat tidak paham, jadi kutambahkan beberapa penggal penjelasan.
"Banyak orang mencari senja. Mereka akan berkumpul dan melihatnya bersama-sama di sini. Joohyun dan aku tak mungkin melakukan itu jadi kami terpaksa harus membuat senja menjadi sesuatu yang patut dilupakan."
"Jadi kami berusaha mencintai matahari terbit."
Meski hatiku sudah merelakan, tapi fakta yang kusebut barusan masih sedikit melukaiku.
Nyatanya memang sulit bagi kami untuk melakukan hal umum seperti menikmati senja di pantai. Aku dan Joohyun hanya berusaha sebaik mungkin untuk mencari celah cahaya lain.
"Ahjusshi."
"Hm?"
"Terima kasih sudah bercerita."
Eh? Aku mengangkat dua alis secara bersamaan dengan tawa heran. Tapi aku hanya menganggukkan kepala karena gadis bengisㅡyang pernah menamparku dua kaliㅡini ternyata bisa bersikap manis juga.
"Um, Ahjusshiㅡ"
"Panggil nama saja. Kau tidak lihat wajahku masih muda begini?" aku menyela cepat.
"Tapi kau sebenarnya tetap seorang om tua."
Aku berdecak sebal karena terpaksa mengalah. Geez, baiklah. "Kembali ke Ahjusshi."
Gadis itu menyengir lebar. Tapi aku bisa melihat kalau senyuman yang diulas barusan tidak sampai mata, apalagi hatinya. Ia hanya memasang senyum, padahal barangkali dia sedang menyimpan sesuatu sendirian di dalam sana.
"Soal gadis bertudung merah itu..." ia menggantung kalimat dan membuat aku was-was dalam hitungan sekon.
Gadis itu menghela napas. "Kau sungguh-sungguh akan percaya padaku?"
Aku menarik jari kelingkingnya dengan hati-hati. Kutautkan jemari kami sampai erat, lalu kutatap ia dengan serius. "100 persen."
Gadis itu menggigit bibir dengan gelisah. Raut wajahnya terlalu jelas untuk berdusta. Aku tahu ini bukan kabar baik, tapi aku akan menerimanyaㅡbegitu pikirku. Tapi nyatanya, ini lebih gila dari yang kubayangkan.
"Dia tak hanya membunuhmu."
Mataku bergerak dalam kabut terror. Huh?
"Dia juga menargetkan member lain usai itu. Pada tahun 2029, 3 hari setelah pemakamanmu, seluruh member BTS tewas." []
NOTES:
Seriusan. Kenapa makin menurun ya feedbacknya? Apakah udah makin nggak seru? :o
KAMU SEDANG MEMBACA
✔ Cerulean Sea and The Sunset | salicelee.
Fanfiction🏅 [#Wattys2020Winner] "Hari ini, 29 Maret 2029. Aku, Kim Taehyung, dinyatakan meninggal dunia pada usia 34 tahun." Gadis asing itu berkata kalau aku harus menemuinya pada malam tahun baru. Aku tak paham apa maksudnya, tapi dia bilang aku tak boleh...