#12

71 3 0
                                    

Setelah kepergian Dean yang menguras tenaga demi mengusirnya, aku pergi untuk bekerja, sebagaimana biasanya. Meskipun omongan Dean masih bercokol di otakku.

Kalau Kath diajak, gue juga, dong pastinya.

Rasanya tangan ini ingin menggampar mulutnya. Baru datang, main menyahut saja.

Untungnya Daniel tidak terkecoh dengan bibir monyong milik Dean. Oh, Tuhan, kenapa aku mencemooh Dean terus?

Mungkin ini dinamakan efek jengkel!

***

Pulang bekerja, mandi sebentar, makan, lalu membuat teh hangat. Aku tersenyum sambil berlalu dari dapur.

Pintu warna coklat di depanku terbuka, memperlihatkan Laki-laki berkaus putih. Aku memberikan senyum terbaik. Seperti biasa, Daniel memberi senyum tipis, tipis bangettt.

Daniel mengangkat sebelah alis. Lewat ekspresinya mengatakan; ada-perlu-apa-hm?

"Aku buatin teh." Aku memberikan teh padanya. "Karena kamu gak suka susu, jadi aku buatin teh."

"Oh. Makasih," ucap Daniel, menerima segelas teh.
Hening sesaat.

Aku memecah keheningan dengan pertanyaan. "Lagi sibuk apa?"

"Ngemasin baju. Besok kita udah otw."

"Aku bantuin."

"Gak perlu. Lebih baik kamu ngemasin baju kamu sendiri."
"Milikku udah selesai," dustaku, padahal bajuku masih berserakkan di atas tempat tidur, belum terkemas dalam koper.

Daniel mengangguk.

Lantas, aku berjalan ke kamar Daniel.

***

Seperti yang kulihat beberapa lalu, kamar Daniel masih sama. Bedanya satu koper tidak terlalu besar ada di atas karpet samping bawah tempat tidur. Aku membantunya mengemasi pakaiannya.

"Kamu cuma bawa segini?" tanyaku, melihat baju tiga plus celana dua miliknya. Ditambah alat mandi.

Daniel yang semula sibuk mengutak-atik kameranya menoleh ke arahku. "Kita kan gak lama di Bali."

"Padahalkan aku pengin lama-lama," aku meniup poniku. "...sama kamu," cengirku.

Tangan Daniel terulur ke kepalaku. Jangan bilang dia ingin mengacak-acak rambutku. Bukan. Tebakkan aku salah, Daniel mendorong kepalaku ke belakang.

Njirrr. Dikira apaan?

Tapi, tindakan norak itu membuat pipiku bersemu. Benar-benar ABG norak! Aku kembali mengemasi bajunya. Gerakan tanganku terhenti tat kala melihat figura yang kutemui saat pertama kali masuk kamar Daniel. Figura itu tergeletak mengenaskan di bawah ranjang.

Aku mengambilnya. Melihat dua Laki-laki saling berangkulan -terlihat mesra dan akrab- berseragam putih abu-abu. Satu orang wajahnya familier, dia adalah Daniel.

Rasa terkejut belum sirna saat Daniel memergokiku. Aduh... aku layaknya maling yang ke tangkap basah.

"Siniin." Daniel merebut figura itu. Wajahnya ingin meluapkan emosi. "Ini bukan apa-apa. Kamu jangan mikir aneh-aneh."

***

"Cie lha, udah cantik nih Adek aku," goda Gio, melihat aku keluar kamar.

Semua keluarga -termasuk Daniel- berkumpul di ruang tamu. Kejadian tadi malam masih teringat di benak kala menatap Daniel. Seolah tidak ada apa-apa, kami berdua berangkat ke bandara bersama.

Keluargaku mengantar sampai di depan rumah.
"Tante titip Kath sama kamu," ucap Mama pada Daniel. Memangnya aku seperti barang, main dititipin. Tidak masalah juga sih kalau dititipin ke Daniel. Hehehe.

"Iya, Tan,"angguk Daniel.

"Baek-baek di sana ya Dek." Gio menepuk pelan rambutku. Kakakku ini lebay banget. Aku kan tidak pergi berbulan-bulan.
Papa memberi seculas senyum hangat.

Kemudian kami berangkat ke bandara menggunakan mobil Daniel. Berdua dengannya dalam satu mobil untuk yang kedua kalinya. Hati ini selalu berdegup kencang bila ada di samping Daniel. Apa Daniel merasakannya juga?

***

Aku curiga. Tapi, aku tidak ingin kecurigaan ini membuat rasa cinta berkurang.

Salam,

Dear Daniel

Mahal Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang