#15

69 4 0
                                    

"Aku cinta kamu?"

Daniel terperangah. Matanya membulat, lalu menyipit memandangku.

Setan darimana yang merasuki tubuhku sampai membuatku mengucapkan pertanyaan itu. Aku berniat menemui Daniel, entah kenapa kakiku menyuruh untuk datang ke Pantai, dan untung saja Daniel ada di sinilah -tengah membidik sesuatu dengan kameranya. Aku ingin meminta penjelasannya, atau mengungkapkan pradugaku yang berkecamuk di pikiran.
Tiga kata ini mungkin bisa menjelaskan semua.

"Kenapa nggak dijawab?" Aku bertanya lagi.

Daniel membisu.

"Errr...," geramku sambil memutar bola mata. "Aku tahu kamu guy. Kamu nggak perlu nutup-nutupin itu." Sekali lagi, Daniel membulatkan matanya, terkejut. Namun cepat-cepat dia menetralkan mimik wajahnya yang kentara banget. "Ini bukti dari ucapanku," tunjukku, memperlihatkan foto di ponselnya. Menampilkan foto dirinya dan seorang cowok saling berangkulan. Tulisan sweetheart berfont Arial diedit di tubuh cowok itu.

"Kamu...." Daniel tidak meneruskan ucapannya. Langsung merebut ponselnya.

"Pantas aja selama ini kamu bersikap kaku sama aku. Aku kira kamu emang nggak suka dekat dengan Wanita. Tapi fakta yang aku terima lebih menyakitkan, Dan. Kenapa kamu guy? Apa Wanita di dunia ini kurang cocok denganmu?" Amarahku meluap tak bisa kucegah. Bulir air mata jatuh membasahi pipi, isak tangis makin membabi buta saat mengetahui fakta yang menikam hatiku.

Daniel membuka mulutnya, tapi tertutup lagi. Seperti ingin mengatakan sesuatu tapi urung.

"Cinta yang membuat aku bertahan sampai di sini. Cinta juga yang membuat aku mengejar kamu tanpa lelah meskipun aku tahu sebesar apapun cinta yang aku punya, pada akhirnya semua akan sia-sia. Makasih, Daniel Padilla yang membuat cinta ini semakin besar. Makasih, karena itu aku sulit untuk membencimu. Meskipun sering kali hati ini terluka karena mu." Aku membalikkan tubuh, hendak pergi dari sana. Di lain sisi aku ingin Daniel menahanku. Tapi, ini Daniel, dia tidak akan menahan kepergianku.

"Auw," pekikku saat tubuh ini menabrak tubuh seseorang. Aku mendongak. "Dean?"

"Apa yang terjadi sama kamu, Kath?" tanya Dean. Bukannya menjawab, aku memeluk tubuhnya. Bisa kurasakan tubuhnya menegang.

"Bawa gue pulang," lirihku, nyaris seperti bisikan.

***

Kepulanganku ke Jakarta ternyata tidak semenyenangkan yang kuharapkan. Padahal aku berharap setelah dari Bali kami berdua bisa lebih dekat, kalau boleh sih pacaran. Hihihi.

Sadar Kath, Daniel guy!

Perasaan itu seolah terhapuskan akan hadirnya fakta 'Seorang Daniel Guy' yang me gejutkan. Pantas saja Daniel lumayan dekat dengan Gio. Seingatku, dulu dia pernah memberi susu dan mie Ayam untuk diberikan ke Gio, memang sih mereka lumayan dekat tapi aneh saja. Kenapa Daniel tidak membelikan mie ayam untuk Mama Papanya?

Aku mengusap air mata yang berderai tanpa seizinku, terus mengalir seperti air terjun.

Damn! Semua ini gara-gara Daniel!

***

"Lho, mana Daniel? Kok kamu pulang sendirian? Bukannya Mama udah nasehatin Daniel untuk jaga kamu? Kenapa sekarang dia membiarkan kamu pulang? Dengan kondisi menyedihkan pula!" Mama membrondongiku hendaknya banyak pertanyaan. Kepalaku yang udah nyut-nyutan tambah mau meledak.

Oh, ya, tadi aku pulang bersama Dean. Dia hendak mengantarku sampai rumah tapi aku menolak. Aku jadi heran kenapa bisa meminta Dean menemaniku pulang, you see, aku benci Dean. Oh, masalah ini benar-benar berefek besar untukku.

"Kamu kenapa sayang?" Suara Papa sedikit menenangkanku. "Cerita sama kita. Apa yang sedang terjadi antara kamu dan Daniel? Kalian berantem?"

Aku cuma mengangguk. Jujur saja aku tidak pandai berbohong terlebih pada dua orang yang kusayangi ini.

Mama mendekap tubuhku, erat. "Kamu harus lebih dewasa menghadapi masalah. Bukan dengan cara seperti ini; lari dari masalah."

Lari dari masalah? Tidak. Saat ini aku masih tidak percaya, aku belum bisa menerima masalah ini.

"Masalah tetap masalah. Meskipun kamu belum bisa menerimanya, tetap saja kamu harus siap." Benar adanya; telepati anak dan ibu memang luar biasa menakjubkan.

"Aku lelah, Ma, Pa. Aku mau istirahat dulu," pamitku. Mama dan Papa mengangguk.

Segera aku berjalan ke kamar. Jantungku nyaris copot saat tiba-tiba Gio ada di depanku. Wajahnya amat sangat serius.
"Ada telepon dari Daniel? Dia mau bicara sama kamu?"

***

Setelah aku tahu kamu Guy. Kenapa aku sulit sekali membencimu?

Regards,

Dear Daniel.

Mahal Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang