#25

211 8 1
                                    

Saat usiaku tujuh belas tahun, aku pernah dibully pacarku sendiri dan juga teman-temannya. Hingga membuatku takut untuk berkuliah. Aku masih ingat sekali saat diriku didandani layaknya badut, ditertawakan mereka yang ada di sana.

Aku benar-benar tak mau berkuliah. Memutuskan menjadi model di salah satu majalah.

Namun, tak pernah kubayangkan, saat ini diriku tengah berdiri di gedung kampus salah satu universitas swasta di Ibukota. Aku mengambil fakultas bisnis.

"Kamu dimana, sih?" aku bertanya pada sambungan telepon.

"Aku depan kelas fakultas seni. Kamu dimana?" sahut suara di seberang sana.

"Kamu kesini," manjaku. "Deket kok dari kelasku."

"Ya udah aku ke sana."

"Kiss bye donggg."

"Nggak bisa. Aku tutup ya teleponnya."

"Iiih, gak romantis banget sih!"

"Tuh kamu tau."

Aku mendengus sebal. Kemudian aku tersadar. Hei ini Daniel cowok kaku dan polos. Salah sekali aku memintanya mengucapkan 'kiss bye' yang bukan dia banget.

"Aku tutup ya," sahutnya.

"Hm."

Panggilan ditutup oleh Daniel. Bunyi 'tut' pendek terdengar.

Sambil menunggu Daniel, aku berjibaku dengan silabus kuliahku, membuka setiap halamannya, membaca sekilas. Tepukan pelan membuatku mengalihkan pandangan ke arah cowok yang tengah tersenyum manis ke arahku.

"Lama ya?" tanya Daniel, masih tersenyum.

"Nggak," kataku. "Yuk, pulang!"

Saat aku hendak berjalan, tak kusangka Daniel menarik tanganku. Awalnya aku heran akan sikapnya, namun tak berselang lama, senyumku timbul karena Daniel menggenggam tanganku.

"Yuk," ucap Daniel sambil menggandeng tanganku. Kami berjalan. Detak jantungku berdetak melebihi ritme. Gila dari dulu tidak pernah berubah efek Daniel memang dasyat.

"Mau mampir ke café dulu atau langsung pulang." Daniel membukakan pintu mobil untukku.

God! Ini berubahan Daniel semenjak di Rumah Sakit setengah tahun yang lalu. Walaupun terlihat biasa tindakan yang dia lakukan, tapi menurutku ini sweet.

"Mampir ke café, boleh tuh," balas.

"Siap!"

[][][]

Aku sempat bingung saat mobil Daniel berjalan ke tempat kerjaku --sekarang aku sudah bekerja lagi semenjak tidur pulas selama dua tahun. Kukira Daniel tidak jadi mengajakku ke kafe, tahunya kafe yang dia maksud kafe tempat favoritku.

"Hai! Model Internasional! Lama gak berjumpa, tau-tau sekarang udah punya pacar," goda Aghata, buat kamu yang lupa siapa Aghata, dia adalah pelayan yang lumayan dekat denganku dulu.

Aku tertawa menanggapi godaannya. Padahal jantung sudah mau copot. Apalagi Daniel tidak menampik godaan Aghata. Apa aku sudah tercatat sebagai pacar di hatinya.

Iya aku tahu, dia pernah bilang kalau dia jatuh cinta padaku, namun hal itu tak membuat hubungan kami diberi label pacar karena Daniel tidak menembakku.

"Dia temen, Ta." Kemudian berbisik ke telinganya. "Tapi kita sama punya crush."

Aghata terkekeh geli.

Tidak mau melanjutkan obrolan lebih jauh lagi, aku dan Daniel berjalan ke lain atas, lagi-lagi ke tempat favoritku. Mengingatkan pada pertemuan awal kami. Aduhhh jadi baper.

Kami memesan karamel moccacino dan kentang goreng. Sambil menunggu pesanan datang, aku menatap jalan raya yang bisa kulihat di lantai atas.

"Kath...." Daniel menoel-noel tanganku. Tindakannya ini gemesin.

"Apa?"

"Perasaan kamu masih sama kan seperti dulu?" tanya Daniel.

Perasaan apa ini yang Daniel maksud?

Perasaan cinta sudah pasti.

"Masih. Kenapa?" Aku bertanya, nadaku menggoda.

Diam cukup lama.

Diamnya Daniel selalu bikin penasaran.

"Kita udah sama-sama tahu perasaan kita masing-masih. Tapi...."

"Tapi hubungan kita begini-gini aja," dengusku.

"Kath...." Daniel memanggil namaku lembut. Aku menaikkan sebelah alis. "Ayo kita menikah."

Sejurus kemudian aku hanya melongo. Ini serius? Daniel ngajak aku nikah?

"Aku masih kuliah lho, Niel." Dan betapa bodohnya aku ketika mengucapkan itu ketimbang menerimanya. Aku menyesal. Bagaimana kalau Daniel memutuskan meninggalkanku karena ucapanku tadi?

"Gak papa. Aku siap menunggu."

JDARRR

Rasanya aku seperti tertembak pistol.

"Engg ... kamu serius?" tanyaku.

"Iya." Daniel menggangguk . "Jadi keputusannya?"

"Nikmat mana lagi yang kau dustakan. Aku mauuuu!" teriakku kencang.

[][][]

Dear Daniel,

Kamu adalah pria yang selalu membuat jantungku berdetak lebih cepat.

Kamu adalah pria kaku dan polos yang selalu membuatku tersenyum.

Kamu adalah pria yang aku cintai.

Aku mencintaimu, Daniel Padilla.

***

Tamat

Mahal Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang