Selesai sarapan, aku menghampiri Daniel yang hendak pergi ke kamarnya. Aku berjalan di belakangnya tanpa Daniel sadari.
"Daniel." Sebelum Daniel masuk ke dalam kamarnya, suaraku menyahut.
Laki-laki di depanku membalikkan tubuhnya. "Kenapa?"
"Mm...." Aku menggigit bibirku, gelisah. Mencoba berpikir sebentar. "Kamu tau, kalo kamu dapat tawaran pemotretan?"
"Iya. Kemarin Manager kamu bilang ke aku," jawab Daniel.
"Terus ... siapa yang kamu pilih buat jadi patner kamu?"
Hening.
Daniel terdiam. Namun matanya terpancang ke arahku. Bisa kulihat jelas di iris matanya yang bening terdapat keraguan. Keraguan yang lama-lama menjadi sebuah keyakinan. Lantas, pernyataan dibarengi dengan keyakinan keluar dari bibirnya.
"Aku pilih kamu."
Seketika itu juga, kakiku lemas sekali. Rasanya tubuhku mau ambruk.
Yeah! Pasti Model Idiot itu menangis sejadi-jadinya kala mendengar keputusan yang diambil Daniel.
Rasakan itu Model Idiot!
***
Seperti biasanya, Daniel mengantarku bekerja. Entah kenapa dia mulai berbaik hati padaku. Apa karena dia memiliki rasa padaku?
Namun bila 'iya'. Kenapa saat aku mengungkapkan perasaanku, Daniel diam saja, kenapa tidak menjawab? Apa sih yang membuat dia berbaik hati padaku?
Begitu banyak pertanyaan dalam otakku, satupun tak ada yang terjawab.
"Udah sampai. Jangan ngelamun aja."
Aku menoleh ke samping. Kudapati sosoknya sedang melepas seatbelt. Tubuh Daniel dibalut kaos lengan panjang warna putih, dan memakai celana belel. Lebih santai dari biasanya.
"Nggak. Siapa juga yang ngelamun? Aku nggak ngelamun ya, cuma bengong aja."
"Sama aja," balasnya.
"Beda," ucapku, tak mau kalah.
"Sama."
"Beda."
"Sama, sama, sama."
Ini kok Daniel jadi menyebalkan sih?
"Beda, beda, beda."
"Terserah," putusnya. Daniel membuka pintu, keluar dari mobil.
Aku juga ikut keluar mobil. Kulihat Daniel sempat melirikku sebelum akhirnya meninggalkanku ke tempat kerja.
"Hey! Tunggu!" teriakku.
Daniel tetap melangkahkan kakinya, seolah teriakanku dianggap angin lalu.
"Ih, dasar nyebelin."
***
Sesi pemotretan berjalan lancar. Sang Fotografer memuji kami -aku dan Daniel-. Dia bilang kami sangat cocok, chemistry kami sangat kuat. Padahal, tanpa Sang Fotografer sadari, sebelum sesi pemotretan kami sempat berantem.
"Minum. Biar gak dehidrasi."
Suara itu sangat kukenal. Pemilik suara yang amat aku cintai. Daniel.
Daniel memberikan air mineral.
Tak kunjung kuterima, Daniel membuka tutup botol air mineral dan kembali memberikan kepadaku.
"Udah aku bukain."
Seraya mendengus, aku mengambilnya, kemudian meneguknya.
"Besok kita ada pemotretan lagi?" tanya Daniel seraya duduk di kursi.
"Nggak tau. Udah selesai mungkin."
"Oh."
Cuma 'oh' saja. Seharusnya dia kecewa atau bagaimana gitu.
"Sai kemana ya kok gak kelihatan? Dia gak kerja?" tanyanya. Mengedarkan pendangan ke seluruh ruangan.
"Ngapain tanya aku? Bodoh amat dia ada dimana!" Aku menjawab dengan nada sebal. Untuk apa coba dia mencari Model idiot itu.
Daniel mengerutkan kedua alisnya. Menekuri setiap jengkal wajahku.
"Ayo pulang! Aku capek!" Tanpa babibu aku segera beranjak. "Kalo kamu mau tetap disini nungguin model idiot itu gak papa aku bisa pulang sendiri." Dengan kesal aku berjalan meninggalkan Daniel.
Bisa kudengar tapak kaki Daniel menggema di ruangan. Daniel mengejarku.
"Aku mau pulang juga. Toh, tadi aku cuma nanya aja," ucap Daniel saat sudah di sampingku.
"Lagian kenapa sih tanya-tanya keberadaan dia? Kayak penting banget di hidup kamu," balasku.
"Aku cuma heran aja. Ini kan bukan hari libur, jadi aneh banget kalo Sai gak kerja."
"Ya mungkin dia lagi nangis sambil meraung-raung di kamarnya karena bukan dia yang ksmu pilih jadi patnermu." Selesai mengatakan itu, aku tertawa seraya membayangkan model idiot yang menangis sesegukan.
Daniel mengumam tidak jelas.
***
Keesokannya, Model Idiot itu datang kembali, membawa senyum seksi andalannya serta tak ketinggalan pantatnya yang bergerak ke kiri-kanan. Aku mendengus melihatnya melangkah mendekatiku dan Daniel.
"Hai, Daniel!" sapa Model Idiot, menyunggingkan senyumnya.
"Hai." Daniel membalas singkat.
Walaupun seperti itu, tetap saja Model Idiot itu gencar mendekati Daniel. Aku tak kuasa menahan kesal. Dengan jahil, aku menjegal kakinya.
Model Idiot hampir jatuh jika saja dia tidak ditangkap oleh Daniel.
Sial!
"Makasih ya... kamu emang baik bangettt," ucap Model Idiot.
"Iya." Tatapan Daniel beralih kepadaku. Aku pura-pura mengalihkan pandangan. "Kath, aku pulang dulu ya. Nanti aku jemput."
Jujur saja aku kesal melihat adegan Daniel menangkap Model Idiot, secara tak langsung, mereka berpelukkan. Ahhh! Aku saja tidak pernah seperti itu! Kenapa sih keberuntungan tidak pernah berpihak padaku???
"Terserah," dengan dongkol aku meninggalkan mereka. Berjalan ke tempat kerjaku.
***
Cemburu itu ketika melihat kamu digodain wanita lain. Andai kamu peka, kalau aku CEMBURU.
Regards,
Dear Daniel
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahal Kita (Completed)
RomanceBiarkan aku memasuki hatimu. Jangan paksa aku berhenti, sebelum aku berkata; "Aku menyerah untuk mencintaimu." Tapi itu mustahil. Karena hati ini diciptakan untuk tetap mencintaimu. Kath mencintai Daniel. Tapi dia tidak tahu, apakah Daniel mencintai...