#10

69 3 0
                                    

"Nggak!" tandas Daniel.

Seketika sikap pemaksaku langsung kambuh. Aku menyeret tubuhnya ke luar kamar. Biarin harga diriku turun asalkan Daniel mau olahraga denganku.

"Kamu tega lihat aku olahraga pakai boxer sedang kamu pakai celana olahraga." Aku berhenti menyeret, menengok ke bawah -lebih tepatnya melihat celana yang dipakai Daniel. Uh-oh, ternyata ia menggunakan boxer hitam.

Aku terkekeh. "Sorry... aku tunggu di depan rumah. Kamu ganti celananya, mmm... kalo bisa kaosnya sekalian." Lalu aku beranjak dari sana, menunggu Daniel di depan rumah saja.

Lima belas menit lamanya Laki-laki itu tak kunjung tiba. Kenapa ia lama sekali?

Gendernya laki-laki bukan Perempuan yang ke luar rumah mesti dandan lamanya minta ampun -tanpa terkecuali aku- jadi tidak mungkin menghabiskan waktu cukup lama. Oh, atau mungkin Daniel berbohong, lebih memilih menidurkan tubuhnya di ranjang. Wah... ini tidak bisa dibiarkan.

Aku melangkah ke dalam rumah, baru sampai di ambang pintu, tubuhku menabrak tubuh Daniel. Adegan ini layaknya sebuah drama!

"Lama banget sih, nggak tau apa ka-"

"Udah nggak usah lebay. Mending kita olahraga sekarang, keburu matahari nonggol duluan." Daniel memotong kalimatku, berlari mendahului. Kalimat panjang yang pertama kali Daniel ucapkan membuatku cepat-cepat menjajarkan langkahnya.

Kami berlari di jalanan lengang yang ada di komplek perumahanku. Menikmati udara sejuk, embun-embun di atas daun, dan semilir angin.

"Kamu sebelumnya nggak pernah olahraga pagi?" tanyaku di sela-sela keasyikkan kami berolahraga.

Salah, bukan kami, tapi aku. Pasalnya Daniel sedari tadi wajahnya datar saja.

Daniel menoleh sekilas. "Nggak pernah. Biasanya nge-gym."
Uh... Cowok bangettt

"Gimana kalo setiap weekand olahraga bareng?"

"Nggak."

"Ya ampun! Olahraga itu sehat, lho!"

"Gym juga sehat."

Aku menepuk dahi pelan. Susah ngomong sama orang yang seperti ini. Kalau tidak dipaksa lagi ia tidak akan mau.

"Susah banget diajakin olahraga bareng. Gym itu bosenin tau. Please... ayolah!" paksaku sambil bergelayut di lengannya.

Daniel berusaha melepaskan. Aku makin mengeratkan pelukkan itu.
"Oke. Aku mau," dengus Daniel. Aku tersenyum. "Asal lepasin pelukkan kamu sekarang juga."

Sedikit kesal kulepaskan pelukkan itu sebelum Daniel berubah pikiran; tidak mau olahraga pagi bersamaku.

"Berarti setiap sabtu dan minggu kita olahraga bareng!" Aku berseru keras. Jari telunjuk Daniel diletakkan di bibirnya, menyuruhku diam. Sambil tertawa, aku mengantupkan bibir.

"Kita lanjutin," kata Daniel sambil berlari pelan. Aku mem-blok jalannya. "Kenapa?"

"Sekali-kali kita gandengan dong?" mintaku sambil menjulurkan tangan ke depan.

"Buat apa?"

"Ya, supaya kamu nggak hilang. Kan, kalo hilang, aku yang susah."

"Tenang. Aku tau jalan ke rumah."

"Bukan itu, aku takut kalo kamu hilang, kamu diambil orang."

Cukup lama Daniel memandangku, lalu ia mengacak rambutku -tidak menyangka reaksinya akan seperti itu, kukira Daniel akan tertawa sarkatis mendengar perkataanku, Daniel ini cowok kaku dan polos yang tidak tahu tentang hal semacam itu- dan menggandeng tangan seraya mengajak berlari bersama.

Demi Raffi Ahmad yang mulutnya suka nyinyirin orang, hari itu aku bahagia sekali! Sejak pertama kali aku bertemu Danjel, pertama kalinya Cowok kaku itu mengacak rambut dan menggandeng tanganku.

Usaha keras tidak akan menghianati hasil. Siapapun yang membuat kalimat itu, aku memberinya bintang lima karena kepandaiannya dalam merangkai kalimat yang benar adanya.

***

Sehabis berolahraga kami menyempatkan membeli minuman di toko. Baru setelah itu kami pulang ke rumah. Kaki berbalut sepatu dengan label Adidas terhenti, itu kakiku bukan milik Daniel.

Pandanganku terfokus pada Laki-laki yang duduk bersama Gio di beranda rumah. Kehadiranku membuatnya mengalihkan pandangan, menatapku. Aku berjalan mendekatinya dengan emosi berkecamuk, acuh tak acuh meninggalkan Daniel.

"Hai, Kath!" sapanya.

Seolah melupakan apa yang ia perbuat padaku empat tahun lalu. Mempermalukan aku di depan teman-temannya, membuatku menangis semalaman, dan terakhir membuatku tidak ingin masuk keperguruan tinggi lebih memilih bekerja menjadi model.

Aku mendekatinya, jarak kami terpaut lima belas centi meter. "Semudah itu kamu bilang 'Hai' sama aku. Seakan kamu nggak punya dosa sama sekali!"

Rasanya aku ingin menampar pipinya, tapi kutahan, karena tidak ingin terlihat sebagai perempuan emosional di depan Daniel.

"Aku ke sini mau minta maaf," ucapnya.

"Basi! Seratus kali aku denger ucapan itu keluar dari mulut cowok brengsek di drama-drama kampungan!" Aku menahan emosi supaya tidak semakin menjadi. "Jangan ke rumah aku lagi. Karene kata maaf nggak bikin aku luluh, Dean!"

Tidak ingin melihat wajahnya, aku melengang dalam rumah. Banyak hal yang berkecamuk dalam dada, aku takut kemungkinan terburuk menghampiriku. Merusak kebahagian yang mulai terbangun oleh Daniel.

***

Aku takut. Takut kehilangan kamu di saat bahagia mulai menghampiri.

Tertanda,

Dear Daniel

Mahal Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang