#16

64 5 1
                                    


"Ada telepon dari Daniel? Dia mau bicara sama kamu?" Gio menyodorkan ponselnya ke depanku.

Aku menepis, pelan, supaya ponsel itu tidak terjatuh.

"Kamu perlu mendengar penjelasannya Kath. Tingkahmu ini memalukan." Gio mengomel. "Nih, angkat."

Emosi yang sudah naik ke ubun-ubun, semaksimal mungkin kutahan. Jika saja Cowok di depan ku ini bukan saudaraku, bisa saja dia kubunuh.

"Halo!" ucapku, saat ponsel Gio sudah berpindah tangan padaku, dan mengangkat telepon Daniel.

"Kath?" Suara di sana menghangatkan, tapi juga menyakitkan. "Kamu udah tau rahasiaku. Dan, itu benar. Tapi ... Kamu masih belum tau semuanya secara jelas."

"Semuanya udah jelas!" bentakku.

Bisa dengan jelas, aku mendengar Daniel mendesah. "Secepatnya aku akan balik ke Jakarta untuk jelasin semuanya. Kita bicarain baik-baik supaya masalah ini selesai."

You wish, Daniel Padilla!

Klik.

Aku mengakhiri panggilan secara sepihak.

Mungkin dengan begini Daniel mau berusaha memperjuangkan aku. Memperjuangkan dalam apa dulu nih, cinta? Kayaknya sih tidak. Daniel cinta aku? Big no! Meskipun Daniel berusaha menyelesaikan masalah ini bukan berarti karena dia ingin perasaan cintaku padanya ini tetap utuh, melainkan Daniel ingin memperbaiki semuanya seperti semula. Lagian, kenapa aku egois sekali? Seharusnya aku tidak bertindak semauku sendiri tanpa meminta penjelasan dari Daniel.

"Malah ngelamun. Katanya capek mau istirahat," sembur Gio.

Aku tersadar dan segera mengembalikan ponselnya. "Kak Gio selama ini nggak ngerasa aneh setiap Daniel mendekati kakak?" tanyaku.

Kuharap Gio tidak tahu kalau Daniel memiliki rasa padanya. Kalau sampai tahu yang ada Kakakku yang tidak ganteng amat itu akan pingsan di tempatnya berdiri.

Gio diam sejenak. "Aneh banget."

"Terus?"

"Iya, Daniel aneh waktu deketin aku karena ada maunya."

Hah?

"Idih ... Kalo inget-inget dulu waktu dia beliin aku mie ayam karena ada maunya. Katanya dia minta dideketin sama kamu, tuh anak kan kaku banget kalo sama cewek. Tapi, waktu itu Kakak nggak tau dia beneran atau becanda, habisnya pake ketawa gitu."

Ini benar-benar mengejutkan.

Gio melanjutkan lagi. "Pas malem-malem Daniel pernah minta nomor telepon kamu. Waktu kalian di Bali. Kakak heran dong, kenapa mesti minta nomor kamu padahal minta sendiri juga bisa? Minta nya maksa lagi."

"Seriusan Daniel minta nomor teleponku, Kak?" Aku menanyakan, untuk memastikan.

"Iya. Seriusanlah, masa boong sih." Gio menepuk puncak rambutku, pelan. "Kamu istirahat ya. Jernihin pikiran kamu. Kakak ke kamar dulu." Lalu dia berlalu ke kamarnya.

Nomor telepon. Bali.

Atau mungkin yang dimaksud 'pas malem-malem' itu saat aku pergi ke Luar gedung karena bosan di acara pernikahan orang. Terlebih saat itu Daniel sibuk banget, sampai kehadiranku dianggap semu.

Ternyata, saat aku menghilang Daniel khawatir sama aku. Uh, kenapa bersikap seolah tidak perduli padaku? Kalau dia mulai jatuh cinta seharusnya dia ungkapkan. Mungkin dengan begitu aku tidak percaya kalau Daniel 'guy'.

Cintaku memang rumit!

Mahal Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang