#17

69 3 0
                                    

Tok ... Tok ... Tok...

Suara ketukan pintu itu mengalihkanku dari laptop di depanku. Aku langsung membukakan pintu dan terkejut saat mendapati Daniel. Lama kami saling bersitatap sampai aku bertanya:

"Kenapa?"

"Aku mau menjelaskan semuanya. Terkait masalah di Bali waktu itu," balasnya.

Aku berdiam. Menunggunya melanjutkan ucapannya. Saat ini aku perlu menjaga harga diri, aku tidak akan bersikap centil seperti yang biasa kulakukan.

"Semua yang kamu pikirkan itu benar, Kath. Aku 'guy'. Tapi itu dulu, saat aku masih SMA, iya, aku pernah suka sama laki-laki, dan nggak lebih. Kamu tahu, kan, kenapa aku bersikap kaku sama kamu? Karena aku nggak pernah deket sama perempuan sejak dulu, dari dulu aku selalu sahabatan sama laki-laki yang kamu lihat di handphoneku.

"Aku juga nggak tahu kenapa bisa suka sama dia. Semua terasa aneh. Jika saja persahabatan kita nggak sedekat dulu, dan aku bisa berinteraksi lawan jenis, nggak akan ada rasa suka. Dan, aku lebih milih memutuskan bersahabatan kita ketimbang perasaan ini semakin lebih dalam. Foto itu masih aku simpan sebagai kenangan, Kath, bukan untuk apa-apa." Penjelasan Daniel membuatku membisu, bibirku seakan kelu, kalimat yang diucapkannya teramat susah untuk dicerna ke dalam otak. Daniel kembali menatapku, kedua tangannya meraih tanganku. "Aku minta maaf, Kath?"

Aku meneguk ludah, "kenapa kamu baru bilang?"

"Karena aku bukan kamu. Aku nggak bisa seterbuka layaknya kamu," balas Daniel.

"Lain kali, kamu harus lebih terbuka lagi sama aku."

Lalu, tanpa kubayangkan, senyum Daniel mengembang —untuk pertama kalinya.

"Jadi, kamu mau maafin aku?"

Sambil menahan senyum, aku mengangguk.

***

Kami sekarang sudah baikkan. Aku sudah memaafkan Daniel. Dan kabar gembiranya Daniel akan lebih terbuka lagi kepada ku. Syukurlah....

Demi Raffi Ahmad dan segala keplayboyannya, aku benar-benar merasa bahagia, karena masalah ini hubungan kami menjadi lebih akrab.

"Ma, Kath berangkat kerja dulu, ya?" Aku mencium telapak tangan Mama.

"Iya. Hati-hati di jalan," pinta Mama, tersenyum cerah.

Aku mengangguk patuh lantas melangkah ke garasi, tempat mobilku terparkir. Saat aku sudah di dalam mobil, aku terkejut mendapati Daniel sedang duduk di samping kursi pengemudi. Tak lupa senyum tipisnya.

"Boleh ikut?" tanyanya.

Bodoh sekali jika aku menolak permintaannya. "Iyaaa." Lebayku kambuh.

Mobilku melaju, membela jalan raya yang dipenuhi mobil dan motor di kira dan kanan. Macet parah.

Aku mengerling ke arah Daniel, dia sibuk menepuk-nepuk pahanya. Lalu tanpa sadar pandangannya beralih kepadaku.

"Kenapa?" tanya Daniel, menampakkan wajah polosnya.

Aku terbengong sekilas. "Nggakpapa." Aku menatap lurus ke depan. "Kamu tumben ikut aku?"

"Males di rumah," ucapnya, bernada bosan. "Mending ikut kamu."

Setelah lama menunggu, akhirnya mobilku dapat melaju bebas ke tempatku bekerja. Di dalam mobil kami kembali berdiam, lebih memilih mendengarkan lagu barat yang diputar di radio.

***

"Hai, Kath!"

Oh My God!

Kenapa Dean ada di tempat kerjaku? Dan, kedatangannya di saat yang tidak tepat. Saat aku bersama Daniel.

"Hm." Dengan cuek aku menjawab.

Sedang di sampingku, Daniel menatap tajam Dean.

"Minta waktu sebentar, boleh? Aku pengin bicarain hal penting sama kamu." Dean menatapku dengan tatapan memohon. Hal apa yang ingin dia bicarakan kepadaku?

"Oke. Tapi gue nggak bisa lama-lama. Kita bicarain di kafe." Aku melihat Daniel. "Aku pergi sebentar, ya?"

Daniel mendengus, lantas membolehkan.

Mahal Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang