Tidak afdol namanya, kalau ke Bali tidak mampir ke pantai indahnya. Apalagi ditemani -salah, lebih tepatnya menemani- Laki-laki yang kutaksir.
Daniel hari ini sangat kasual dengan kemeja dan celana jeans hitam. Beruntung wajahnya tampan.
"Apa sih enaknya pantai?" tanya Daniel, alisnya mengkerut. Sampai di apartment aku langsung mengajak Daniel pergi ke Pantai Kuta. Seperti biasanya, ada paksaan jika mengajak Laki-laki kaku dan polos itu.
"Pantai itu menenangkan." Aku menatap Daniel. "Kita juga bisa nulis nama atau lainnya di atas pasir. Itu suatu hal yang asyik, lho." Daniel menyaksikan ombak pantai, lalu mendengus. "Kenapa gak suka pantai?"
"Bukannya aku gak suka. Hanya saja pantai udah terlalu umum," ucap Daniel. "Sekali-kali coba pergi ke gunung bromo. Jangan ke pantai mulu."
Saat ini Daniel mulai cerewet. Aku tersenyum senang. Daniel yang kaku terhadap perempuan menjadi lebih enjoy.
"Bisa. Tapi, perginya sama kamu."
Daniel langsung memberengut. Aku tertawa seraya mencubit pinggangnya. Asal tahu saja, reaksi lucu Daniel muncul. Karena takut dimarahi aku berlari berharap dia mengejarku.
Iya, aku ingin seperti di novel romantis yang main kejar-kejaran di pantai.
Ini Daniel.
Laki-laki itu hanya diam. Oh, malahan duduk selonjoran. Memotret pemandangan pantai dengan kamera tergantung di lehernya.
Aku melongo melihatnya. Dia tidak mengejarku.
***
"Daniel lihat ini!" teriakku, memperlihatkan goresan angka di atas pasir.
Daniel menoleh, melihat hasil karyaku. "Tanggal lahir?"
"Yap!" anggukku. "Ini tanggal lahirku. Dimana di tanggal ini Tuhan menentukan jodohku suatu hari nanti."
"Ngapain kamu nulis di situ? Gak takut tersiram ombak?"
"Udah kamu lihat?" Aku tidak menjawab malah bertanya balik.
"Udah."
"Udah disimpan ke dalam hati?"
"Hm."
"Kalau gitu aku gak perlu khawatir tulisan ini tersiram ombak. Yang penting di hati kamu udah tersimpan tanggal lahir aku." Aku menjawab penuh semangat.
Daniel mendengus. "Bilang aja, pengin di kasih kado." Lalu, dia berjalan. Aku terkekeh geli. Daniel memang manusia polos yang tidak mengerti kata-kata romantis.
Pacaran sama Daniel, sepertinya aku yang mengajarinya banyak hal.
***
Suara orang mengobrol, sendok dan garpu saling bergesekan, gelas berdenting, bikin aku tidak nyaman berada di tempat ini. Setelah dari Pantai Kuta, aku dan Daniel pergi ke acara pernikahan, bukan diundang sebagai tamu melainkan sebagai pekerja. Ya, Daniel bekerja sebagai fotografer di sini. Kerjaannya moto-motoin orang, kecuali aku.
Sepertinya aku orang paling nelangsa karena tidak pernah difoto olehnya.
"Kenapa?" Daniel tiba-tiba saja ada di sampingku yang lagi asyik melamun. "Ini, minum."
Tidak menunggu jawaban Daniel menyodorkan gelas berisi sirup, seolah pertanyaannya hanya formalitas saja. Aku menerima sambil cemberut.
"Aku bosen... pengen pulang...," rengekku.
Daniel menatapku sekilas, lalu sibuk dengan kameranya. "Baru kayak ini, aja, bosen. Gimana udah jadi pacarku?"
Aku nyaris tersedak karenanya. "Itu mah beda. Pacaran sama kamu nggak bikin aku bosen. Ya, meskipun kamu kaku dan kelewat polos. Oh satu lagi, cuek bebek!"
"Gitu ya?"
"Hm." Aku mengangguk.
"Daniel! Ke sini!" Teriakan itu dari Sang pengantin. Mungkin menyuruh Daniel mengabadikan moment pernikahannya, melihat acara masih belum selesai.
"Aku musti balik." Tanpa menunggu persetujuan dariku, Daniel berlalu, halah memangnya aku ini siapa? Sampai Daniel menunggu persetujuanku. Mau aku menahannya pasti Daniel pergi juga.
Daripada berdiam diri di tempat yang membosankan ini, aku beranjak dari sana. Ingin menyendiri.
***
Angin malam menelusup ke kulit tubuhku, membuatku memeluk lengan erat. Sebuah sekat kujadikan sandaran punggung. Sambil menikmati malam di kota Bali, aku menyaksikan jutaan bintang terbentang luas di langit hitam.
Handphoneku bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Aku membuka dan membacanya.
From : 085788967xxx
Kamu dimana?
Siapa ini?
Aku membalas pesan itu.
From : Kath
Siapa ya?
Sedetik kemudian pesan itu dibalas.
From : 085788967xxx
Daniel. Kamu dimana?
Oh. Daniel.
Apa? Daniel si Laki-laki kaku dan polos itu? Dari mana dia mendapatkan nomorku?
From : Kath
Aku ada di parkiran. Nungguin kamu. Kapan selesainya?
Lama sekali Daniel tidak membalas. Sambil menunggu lebih baik aku memejamkan mata saja. Biarkan aku disangka orang tidak waras yang tertidur sambil berdiri, di parkiran pula. Tapi, baru beberapa detik mataku terpejam, sebuah suara membuat tubuhku membeku.
"Kath? Ngapain kamu di sini?"
Aku tidak ingin mendengar suaranya. Bilang saja bahwa suara itu hanya ilusi semata. Kumohon...
Namun, naas, saat kelopak mataku terbuka, orang yang tak ingin kulihat kedatangannya tengah berdiri satu meter di depanku.
Ternyata perkataannya tidak di mulut saja. Dia benar-benar ke sini. Apalagi malam ini dia sangat tampan dengan jas hitam dan celena jeans -ya, sudah pasti harganya mahal banget- melekat di tubuhnya.
"Seharusnya gue yang tanya itu ke lo. Ngapain lo ke sini?" tanyaku, jutek.
Dean menyeringai. "Kamu pasti tahu jawabannya."
"Cih. Sok ganteng!" tandasku, melihat Dean menjawab dengan gaya se-ganteng mungkin. Memang ganteng sih, tapi menurutku belagu.
"Makasih atas pujiannya."
Lha? Siapa coba yang memuji?
"Sayang itu bukan kalimat pujiaan." Aku berkacak pinggang. Memasang wajah judes berlebihan. "Dengan kehadiran lo di sini, bener-bener bikin gue muak!"
Dan, respon Dean bikin aku gedek setengah mati. Dia tertawa sambil geleng-geleng kepala. Kakinya melangkah ke arahku, menyisahkan jarak satu jengkal.
Dean membuka mulut, hendak berkata, tapi niatnya terhenti karena penyelamatku datang.
"Aku memang ngizinin kamu ikut ke sini. Tapi, aku gak ngizinin kamu dekat-dekat dengan Kath."
***
Kapan kamu motoin aku? Emangnya monas lebih bagus daripada aku? Yaudah, lain waktu akan kupermak wajahku ini jadi tugu monas.
Salam,
Dear Daniel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahal Kita (Completed)
RomanceBiarkan aku memasuki hatimu. Jangan paksa aku berhenti, sebelum aku berkata; "Aku menyerah untuk mencintaimu." Tapi itu mustahil. Karena hati ini diciptakan untuk tetap mencintaimu. Kath mencintai Daniel. Tapi dia tidak tahu, apakah Daniel mencintai...