#11

70 3 1
                                    

Aku melangkah ke dapur dengan emosi yang masih membuncah. Kehadiran Dean seolah bom atom bagiku. Kejadian yang tak ingin kuingat muncul tanpa aba-aba. Mungkin segelas air dingin akan mampu meredahkannya.

Air dalam botol kutuangkan ke dalam gelas, meneguknya sampai tandas. Aku menatap Daniel berjalan ke dapur.

"Mau minum?" tawarku, saat Daniel duduk di kursi, menyilangkan kedua tangan di atas meja makan.

Daniel mengangguk. Aku mengambil satu gelas lagi untuk di isikan air dan memberinya.

"Kamu baik-baik aja?" Seolah tahu isi hatiku, Daniel menanyakan hal itu.

Oh... Kukira dia termasuk golongan manusia tidak peka, ternyata dia peka juga dengan suasana hatiku.

"Nggak baik-baik, aja," jujurku.

Aku tidak akan menutup fakta akan isi hatiku, bukannya aku ingin dikasihani oleh Daniel tapi sercecah harapan ingin dia peduli padaku.

Daniel meneguk minumannya. Meletakkan gelas di depannya seraya menatap air dalam gelas.

"Namanya dean." Dua kata terucap tanpa halangan, seolah mengingatkanku akan fragmen pahit, mengenaskan pula.

"Aku tahu," ucap Daniel. Jari tangannya saling bertautan, dia tidak menatapku, entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Terlebih lagi Daniel diam, seakan menunggu aku berbicara lagi.

"Dean adalah mantan aku semasa SMA. Saat itu, Dean kuliah, bisa dibilang usia kita terpaut jauh. Aku kelas dua belas sedang dia udah semester empat. Awalnya hubungan kita baik-baik saja, tapi sejak perkataan teman Dean, semuanya berubah," ceritaku terhenti sakit rasanya jika menceritakan kenangan pahit bersama Dean.

Mau tidak mau aku harus melanjutkan karena sedari awal aku terlanjur menceritakannya. Tidak mungkin tega memberi cerita menggantung saat yang kuceritakan membuat sang pendengar penasaran, aneh rasanya bila seorang Daniel penasaran. Sudahlah lebih baik kulanjutkan saja.

"Dia bilang; kalau Dean tidak cocok berpacaran dengan anak bocah ingusan, anak SMA itu masih manja dan kekanak-anakan, dan lebih menyakitkan lagi, pacaran sama anak SMA dua bulan juga bakal putus. Padahal saat itu aku yakin hubungan kita bisa bertahan lama. Aku kira Dean akan membelaku, kenyataannya dia mulai bersikap cuek. Sikap cueknya nggak mengubah rasa sayangku ke dia tapi di hari berikutnya rasa itu berubah menjadi benci waktu Dean ngajak aku ke kampusnya." Pasti saat ini mataku sudah terkabut oleh air mata. "Di sana aku dipermaluim. Didandani seperti badut, dan semua mahasiswa menertawaiku. Tanpa terkecuali Dean, tawa dia yang paling keras bahkan bisa kulihat air matanya sampai menetes karena habis-habisan menertawaiku. Sejak itu aku menganggap dunia perkuliahan nggak seindah yang dibicarakan teman SMAku dulu. Mereka bisa saja berbuat kejam terhadap anak ingusan atau anak SMA."

Daniel menggeleng, tidak menyetujui ucapanku. "Apa yang kamu pikirkan itu salah."

"Kamu bisa bicara seperti itu karena kamu nggak pernah mengalami apa yang aku alami. Karena kejadian itulah aku nggak ada niatan untuk melanjutkan sekolah di perguruan tinggi," balasku.

"Aku tau... Kamu masih dibayangi masa lalu yang membuat kamu merasa takut untuk berkuliah. Andai saja kamu bisa berpikir ke sisi positif, kamu akan menjadikan masa lalu itu sebagai pelajaran. Yang melakukan kekejaman hanya beberapa orang, bukan semua, jangan hanya satu orang melakukan kesalahan kamu mengklaim semua salah. It's not good."

Aku hanya bisa termenung, tidak membalas ucapan panjang-lebar dari Daniel. Jika ini di suasana berbeda aku pasti bersorak gembira mendengar celoteh Daniel, tapi untuk saat ini sulit rasanya membuka mulut.

Daniel berdiri seraya membawa gelas ke arah kulkas, menuangkan air ke dalam gelas itu. Dan aku tidak menyangka gelas itu diberikan padaku.

"Minum."

Aku menerima, meneguk sampai setengah, lalu mengucapkan terimakasih. Untuk pertama kalinya Daniel tersenyum lebar. Amat manis sekali.

***

"Jadi lo mau ke Bali?!" Suara Gio yang memang kerasnya minta ampun seketika membuatku berlari ke depan rumah dari ruang tamu. Berdiri di depan dua Laki-laki tengah duduk manis di kursi.

"Siapa yang mau pergi ke Bali? Jawab?" Aku bergantian memandangi Gio dan Daniel.

Pagi-pagi obrolan keduanya membuatku penasaran, terlebih ada kata 'pergi' yang menyatakan seseorang akan pergi dari rumah ini. Sialnya, pertanyaan itu tertuju pada Daniel, tidak mungkin Daniel pergi secepat ini! Bukan pergi ke alam barza ya!

"Mending kamu duduk dulu," kata Daniel, menyuruh untuk duduk di kursinya sedang dia mengambil kursi lain. Wah tindakan yang menurutku romantis meskipun tidak romantis banget sih.

Setelah Daniel duduk di kursinya, Gio menjawab pertanyaanku. "Yang mau pergi ke Bali itu Daniel."

"Hah?" Bisa dibuktikan saat ini wajahku kelihatan jelek dengan mulut terbuka lebar.

"Nggak usah lebay, gitu. Daniel perginya nggak lama kok paling satu mingguan. Lagian dia juga pergi bukan untuk liburan melainkan pekerjaan." Gio menjelaskan.

"Aku boleh ikut?" Dengan tololnya aku mengajukan pertanyaan itu seraya menatap binar wajah Daniel.

Haduh... Ini benar-benar memalukan. Sejak kapan kata malu tersurat kala aku mulai mendekati Daniel. Huh, aku memang sadar diri orangnya.

Menunggu jawaban dari Daniel membuat jantungku dag dig dug tidak keruan. Satu detik rasanya seperti satu abad (plis jangan lebay Kath!). Daniel sekilas melirik Gio, siap membuka mulut. Namun tanpa disangka sebuah suara menyahut.

"Kalau Kath diajak, gue juga, dong pastinya." 

Sial! Dean keparat!

"Aku akan mengajak Kath. Tapi, Maaf, untuk mengajak lo, aku nggak bisa," jawab Daniel.

"Kalo nggak bisa nggak masalah. Gue juga bisa tanpa ajakan lo," serang Dean tak mau kalah.

"Terserah. Itu bukan urusanku. Yang terpenting kehadiranmu di sana tidak mengganggu kita."

Kita?

Aku dan Daniel?

Ya Tuhan... Benarkah yang dia ucapkan tadi. Ahhh, kalau benar, apa dia sudah memiliki rasa?

Karena kata 'kita' saja membuat kehadiran Dean kuanggap tidak ada sosoknya. Ya, mungkin aku terlalu bahagia.

***

Keyakinan yang membawaku sampai ke sini.

Salam,

Dear Daniel

Mahal Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang