#23

66 5 1
                                    

Mataku perlahan-lahan terbuka. Mengerjap untuk menormalkan penglihatan. Tubuh terbujur, sakit tak terelakkan, sedikit bergerak rasanya amat sakit. Berusaha menoleh ke samping kanan. Seorang Pria tengah tertidur nyenyak. Kepala diletakan di atas tempatku terbujur.

Memanggil namanya. Suara tak kunjung keluar. Menahan sakit dikerongkongan. Kering.
Aku tetap berusaha memanggil namanya. Jari-jari ingin bergerak. Membelai rambutnya. Nihil. Tubuhku masih terlalu lemah.

"Da ... Dan ...Niel." Perlahan, bibirku berucap. Memanggil namanya yang selama ini kurindukan.

Tak bergerak. Daniel masih tertidur pulas.

Menghela napas. Aku mencoba memanggilnya lagi.

"Da ... Daniel!" Suaraku sedikit mengeras. Kepala Daniel bergerak, menoleh ke arahku. Mata melotot bulat. Terkejut.

"Kath? Ka-kau sadar?"

Aku mengangguk perlahan.

Tak kuduga. Daniel memeluk tubuhku, erat. "Aku percaya kau bakal sadar. Dua tahun lamanya kau koma. Dokter menyuruhku untuk mengikhlaskan kepergianmu, tapi aku menolak, aku percaya pada keajaiban. Aku selalu menunggu keajaiban itu datang. Ketika kau membuka matamu."

Aku menghirup banyak-banyak aroma parfum Daniel sebelum pelukan itu lepas dan mungkin ke depannya aku tidak merasakan aroma itu lagi.

"Ma ... Mama?" Mataku jelalatan mencari keberadaan keluargaku. Kemana mereka? Apa mereka sudah lelah menungguku membuka mata? Jelas sekali. Dua tahun itu bukan waktu yang sedikit.

"Mama, Papa dan Kakak kau di rumah. Mereka ke sini ketika hari libur. Kau gak perlu menghawatir bahwa mereka gak memperdulikanmulagi, mereka itu keluargamu, mereka memperdulikanmu dan sayang."

Sekarang, Daniel lebih sering berkata panjang lebar. Dulu saja bicaranya kayak robot.

"Kau?"

"Aku menjengukmu setiap hari."

SETIAP HARI? DANIEL MENJENGUKKU SETIAP HARI?

Woah!

Mungkin ini jawaban dari ketidaktahuanku selama ini. Sampai detik ini, selama dua tahun aku koma, tak segan-segan menjengukku setiap hari.

"Bagaimana keadaanmu? Apa badanmu sudah bisa digerakkan?" Daniel bertanya.

"Belum. Masih sakit," jawabku. Sedikit manja. Ya apa boleh buat, kadung sakit, tidak masalahkan bermanja-manja dengan Pria yang kau cintai dan sama mencintaimu juga.

"Aku panggilin dokter supaya mengecek keadaanmu."

Daniel keluar kamar. Menyisakan diriku di dalam ruang yang dominan berwarna putih ini.

***

Buku diariku. Kenapa buku diariku ada di kamar inapku?

Oh tidak!

Diariku pasti sudah dibaca seseorang. Kuyakin salah satu keluargaku membawanya ke sini, mana mungkin buku diariku bisa pindah dengan sendirinya. Sulap memangnya.

Setelah dokter mengecek kondisiku -aku perlu memerlukan terapi- kemudian keluar dari kamar diikuti Daniel, aku tidak sengaja melihat buku yang familiar di atas meja. Secara teliti, aku sadar bahwa itu adalah buku diariku.

"Kamu kenapa?" Daniel menghampiriku. Dahinya berkerut. Aku menggeleng, memberitahu aku tidak apa-apa. "Tadi aku udah beritahu orangtua kamu, mereka segera ke sini."

Sejujurnya aku ingin menanyakan soal buku diariku, tapi bibirku tak bisa berucap terlalu banyak. Nanti saja ketika aku sudah menjalani terapi.

***

Saat kau tanya, siapakah orang yang akan membuatmu menangis jika lama tak melihat wajahnya?

Mama.

Dia yang membuat aku menangis.

Menangis karena rindu.

Menangis karena bahagia.

Dulu, ketika aku jatuh sejatuh-jatuh, Mama ada di sampingku. Papa sibuk bekerja. Gio sibuk dengan wanitanya. Jika saat itu tidak ada Mama, aku tidak tahu lagi bagaimana kondisiku saat itu.

"Mama bersyukur. Do'a Mama selama ini terkabulkan." Mama menangis di pelukkanku.

"Ma ... A ... ku sa ... yang-"

"Iya. Mama sayang kamu juga."

Papa dan Gio tersenyum.

Daniel memberi ibu jarinya seraya tersenyum.

Aku membalas mereka dengan senyum lebar.

Mungkin ini adalah hadiah dari buah kesabaranku.

Kalau kata pepatah,

Orang sabar disayang Tuhan.

Kalau kataku,

Orang sabar disayang Daniel.

***

Mahal Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang