#4

102 3 1
                                    

Kathryn Benardo. Seorang gadis yang tidak pantang menyerah, ia akan berusaha mendapatkan yang ia mau.

Ya. Kalimat itu kuucapkan dalam hati berkali-kali. Aku tidak akan menyerah mendapatkan dia. Daniel Padilla!

Kuputuskan untuk meminjam skateboard milik Gio. Untung Gio sedang berkencan dengan pacarnya otomatis bisa lebih mudah meminjam skateboardnya.

Melihat Daniel berdiri tidak jauh dari rumahku, aku berlari menghampiri sambil mengamit skateboard. "Aku udah ada skateboardnya!"

Daniel menoleh, spontan saja ia terkejut. Siapa yang tidak terkejut dengan kedatanganku secara tiba-tiba? sambil teriak pula! Aku memalukan diri sendiri.

"Maaf. Kalo ngagetin," maafku. Daniel balas mengangguk. "Aku boleh ikutan main, kan?"

"Memangnya bisa?" Pertanyaan yang pasti kujawab dengan gelengan. "Kenapa mesti mau ikut main?"

Nada bicaranya sih kalem tapi kata-katanya itu, lho. Pun bibirnya tidak menyunggingkan senyum sarkatis, wajahnya datar, berarti ia tidak mengejek.

"Makanya ajarin, dong!"

Eh. Daniel menghela napas.

Jangan-jangan dia malas mengajariku. Oh, Tuhan ... bantu aku.

"Oke."

Skateboard kutaruh di atas aspal. Kaki kananku menginjak papan luncur, sedangkan kaki kiri bagian menjalankan dengan cara di dorong ke belakang. Aku tidak bisa menjelaskannya dengan rinci, karena saat diajarin aku cuma fokus pada wajah dan suara lembut bak kain sutra milik Daniel.

"Kamu paham?" tanyanya, mengejutkanku.

Paham apanya coba? Orang sedari tadi fokusku teralihkan pada wajah dan suaranya. Tapi mana mungkin aku berbicara tidak paham, padahal Daniel menjelaskan secara detail, aku jawab 'iya' saja.

"Iya. Paham."

Kemudian aku berlagak layaknya peluncur handal dalam memainkan skateboard. Pertama-tama sih mudah, saat ada gundukan papan luncurku oleng.

Aku terhenyak saat Daniel memegang lenganku supaya tidak jatuh.

Kita saling bersitatap. Namun Daniel mengakhiri kontak mata. "Kamu harus hati-hati," ingatnya.

Aku melihat Daniel menunduk, ada semburat merah di pipinya. Hanya mengatakan kata-kata itu Daniel jadi grogi.

"Kok, nggak dipengangi, lagi? Aku, kan, takut jatuh." Sebentar. Kenapa aku menjadi secentil ini, sih? Bertahun-tahun aku mengenal Laki-laki tidak pernah sekalipun berkata ataupun bertindak semacam itu. Cinta memang dapat mengubah segalanya.

"Nggak akan jatuh." Daniel berseluncur di atas skateboard dengan lihai. Meninggalkanku di belakang.

"Perasaan gue selalu ditinggal mulu. Gue, kan, pengin kayak truk, biar bisa gandengan!" Aku menghela napas. Lalu berseluncur dengan hati-hati. "Daniel! Tunggu!"

Bukannya berhenti atau memperlambat kecepatan berseluncurnya, Daniel malah mempercepat. Aku tidak boleh kalah. Aku menambah kecepatan berseluncur, sampai-sampai rambut hitam yang tidak kuikat tertiup angin. Semakin kuat, semakin aku lengah menahan keseimbangan.

Bukannya menyusul Daniel dengan keadaan baik-baik saja, malahan tubuh ini tersungkur satu meter di depan Daniel.

"Kamu nggakpapa, kan?" Daniel menghampiriku. "Mana yang sakit?"

Diam-diam ternyata perhatian juga Laki-laki di depanku ini. Ini saat yang tepat untuk mencari perhatian darinya.

"Ini." Dengan manja aku menunjuk sikuku yang tergores, menggeluarkan darah tidak banyak. "Ini juga." Berganti pada lutut, luka di lutut lebih parah. Rasanya saja nyut-nyutan. "Ini. Ini. Dan, ini." Aku iseng menunjuk dahi, pelipis -padahal tidak apa-apa- dan terakhir hati.

"Kamu di sini, aja. Aku ambilin betadine sama stepper," katanya sambil berlari ke rumah. Aku melihat jelas dari wajahnya, dia malu karena ulahku. Tapi, bentar, ada yang ganjil.

Daniel mengambil betadine dan stepper. Kenapa tidak sekalian aku digendong ke rumah? Kenapa dia repot-repot seperti itu? Uh, dasar aneh.

Sekembalinya Daniel dari rumah, membawa betadine dan stepper. Daniel langsung mengobati lukaku.

"Apa kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain?" Pertanyaanku itu menghentikan aktivitas Daniel mengobati lukaku.

Daniel menoleh ke arahku, menaikkan sebelah alisnya. Mungkin dia tidak tahu maksud pertanyaan itu.

"Rasa suka, misalnya."

Daniel diam sesaat. "Ada-ada, aja, kamu." Daniel melanjutkan mengobatiku. Seakan perkataanku tidak ada artinya apa-apa baginya. Lagian kenapa aku mesti mempertanyakan dan mengatakan hal sesensitif itu.

Aku dan dia baru kemarin bertemu. Ya, memang awalnya aku kagum dengan Daniel. Tapi, kau pasti tahu perasaan kagum akan berubah menjadi suka. Dan, perasaan ini terlalu cepat.

Kath, kau benar-benar bodoh. Tapi sudahlah, semua sudah terjadi. Danielpun cuek-cuek saja. Anggap semua baik-baik saja.

***

Dari awal aku sudah sadar. Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan.

Tertanda,

Dear Daniel

Mahal Kita (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang