11- Belajar Masak

195 25 53
                                    

Ibadah sebagai istri, dia memenuhi kewajibannya sebagai istri, melayani suami adalah ibadah, menyiapkan makan suami adalah pohon pahala, mencuci pakaian suami adalah celengan amal yang terus bertambah tiap hari, lakukan semua itu dengan sabar dan mengharap pahala dari-Nya.

(Uztad Sanusin Muhammad Yusuf, Lc., MA.)

***

"Devaaan ... Ini gimana ini minyaknya kemana-mana aku takuuuuut!" Dinda menjerit ketika ikan yang dimasukkan dalam penggorengan yang panas ternyata bisa menimbulkan sensasi meledak-ledak.

"Sebentaaar, habis ini aku selesai!" seru Devan dari dalam kamar mandi.

Duh, istriku manja banget!

"Udah Dinda bete! Dinda mau nonton drama Kpop aja!" Dinda malah ngeloyor pergi meninggalkan ikan di atas penggorengan yang makin lama makin menghitam karena gosong.

Krieet!

Devan keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih menggantung. Matanya terbelalak saat melihat asap mengepul di atas penggorengan. Cepat-cepat dihampirinya pemandangan itu. Terlihat ikan di atas penggorengan sudah berwarna kehitaman alias gosong.

"Astaghfirullah Dindaa! Kebangetan anak ini!" Devan segera mematikan kompor dan membuang ikan yang telah menjadi mirip arang.

Kemudian tangannya cekatan mengiris tempe goreng dan menenggelamkannya pada air garam. Setelah itu dia mulai menggoreng tempe sampai irisan terakhir.

Devan menata makanan di atas meja makan dengan wajah yang kaku. Geram rasanya melihat Dinda yang sama sekali tak punya tanggung jawab. Dia malah asyik menonton drama Korea dan memekik kegirangan saat Oppa kesayangannya muncul.

"Sarangheyo Oppa! Aww!" pekik Dinda sambil menghentak-hentakkan kaki jenjangnya dengan gemas.

Hidung Devan kembang kempis menahan amarah. Pasalnya ikan yang di goreng Dinda tidak hanya satu, tapi dua. Dua ikan gurami gosong begitu saja. Tanpa rasa bersalah dan minta maaf, Dinda malah asyik memindai wajah tampan lelaki lain di hadapan suaminya.

Mungkin memang karena Dinda terpaksa menikah denganku. Tapi setidaknya dia harusnya berterima kasih karena aku menyanggupi permintaannya untuk menikah denganku.

Devan melahap makanannya tanpa mengajak Dinda makan. Raga dan jiwanya sudah lelah untuk mendidik Dinda menjadi istri yang baik. Satu nama pun tak sengaja muncul di benak Devan. Nama yang dulu terukir indah menjadi cinta pertamanya.

Kalau saja dia menikah dengan cinta pertamanya itu, betapa bahagianya dia. Sosok dewasa, cekatan dan keibuan tentu saja sangat menyenangan jika dijadikan seorang istri. Tak seperti Dinda yang kekanak-kanakan dan selalu meremehkannya. Lihat saja tubuh Devan bertambah kurus sejak berumah tangga dengan Dinda.

"Astaghfirullah." Devan menggelengkan kepalanya. Bayangan wanita lain tidak seharusnya ada di benaknya. Dia harus menerima segala konsekuensinya menikah dengan Dinda. Bagaimana pun pernikahan mereka sah di mata hukum dan di mata agama. Akan sangat berdosa jika Devan malah membayangkan wanita lain selain istrinya.

"Dev, aku nggak kamu tawarin makan? Laper nih!" seloroh Dinda tiba-tiba.

Pandangannya menyapu sajian di ata meja makan dengan tatapan keheranan.

"Kok cuma tempe sama kecap sih? Yaaah kampungan banget sih! Aargh!" gerutu Dinda yang tak ditanggapi oleh Devan.

"Dinda nggak mau makaaan!" Dinda segera berlari masuk ke dalam kamar dan terdengar suara pintu yang dikunci. Tak masalah bagi Devan, karena memang sejak menempati rumah ini, mereka tidak sekamar. Devan menunggu keikhlasan Dinda menerimanya menjadi suaminya.

Devan tak bergeming saat Dinda merajuk. Pasalnya uang Devan sudah mulai menipis. Biasanya kalau Dinda merajuk, Devan akan membelikan makanan apa yang Dinda mau. Delivery ayam geprek, atau pizza menjadi pesanan favorit bagi Dinda.

"Pokoknya mulai sekarang aku mau belajar tegas sama Dinda!" Devan mengepalkan tangannya dengan setengah menggebrak meja makan.

Dua jam berlalu.

"Duh, Devan bener-bener nggak peduli sama aku! Padahal aku lapeeer! Hiks," tangis Dinda tersedu-sedu.

Biasanya Devan akan merayunya, mengetuk-ngetuk pintu kamar agar Dinda segera membuka pintu. Tapi hari ini Devan malah tak mengacuhkannya.

Krieet!

Dinda pun membuka pintu kamar karena sudah merasa sangat lapar. Tak didapatinya Devan di luar. Dinda menjelajahi setiap sudut ruangan, tapi tak ditemukannya Devan dimana pun. Sampai akhirnya langkahnya terhenti saat melihat sesuatu yang tersembul di atas tudung saji. Segera di ambilnya kertas yang sepertinya adalah sepucuk surat.

To : Dinda,

Din, sorry aku ada janji sama temenku dan baru ingat.
Itu di atas ada tempe kalau lapar. Ikannya kan sudah kamu gosongin. Uang bulanan kita menipis. Makan apa adanya atau nggak usah makan. Belajar tanggung jawab ya Din.

Devan,

Dengan gemas Dinda meremas kertas dalam genggamannya. Air matanya tumpah seketika. Mengapa kehidupannya kini begitu memprihatinkan? Tak ada lagi shopping, traveling, bahkan makan pun seadanya.

"Maa ... Dinda kangen Maa .... " Dinda terisak hingga mengeluar ingus dari hidungnya.

Diraihnya tissue dan segera disekanya air mata dan ingusnya yang tak henti mengucur. Kemudian tangan itu beralih meraba bagian perutnya yang mengeluarkan bunyi-bunyian, tanda lapar.

Terpaksa akhirnya Dinda menakar nasi dan meletakkan tempe di atas piring makannya. Dimainkannya botol kecap dan mengucurkan pada nasi tempe miliknya. Mulut kecil itu mulai aktif melumat makanan yang sama sekali tak menggugah seleranya.

Lagi, bayangan menjadi Nyonya Reno yang gagal mulai bergelanyut di kepalanya. Berputarlah memori kenangan masa-masa dia berpacaran dengan Reno.

"Dinda, selepas kamu lulus sekolah kita nikah yuk?"

"Ha? Kan masih kecil Ren!"

"Tapi aku udah kerja Din di perusahaan milik Papaku. Aku udah mapan. Kamu kan juga rencana mau mengelola bisnis butik Mama kamu. Yaudah ngapain kita tunda, kita berjuang bersama."

"Eng, tapi Dinda belum bisa masak. Nyuci aja nggak pernah. Apalagi nyetrika, Dinda nggak bisa, mau belajar pekerjaan rumah dulu ya Ren?"

"Alah, gampang Din. Nanti Bi' Fuah ikut di rumah kita. Terus kamu bisa belajar sama Bi' Fuah. Lagipula, aku tuh cari istri bukan cari pembantu."

Bayangan itu terus berputar dalam ingatannya. Tak bakal disangka akhirnya jadi runyam seperti ini. Devan yang kini menjadi suaminya juga orang yang sangat gengsian bagi Dinda. Karena Devan menolak bantuan dari Zafran —ayah Dinda— untuk membantu menyukupi kehidupan rumah tangga mereka.

"Kalau dibantu Papa kan enak, kehidupanku nggak bakal kayak gini!" Dinda mengetuk-ngetuk sendok pada piring yang tadi berisi nasi tempe, kini sudah habis tak bersisa.

"Mau kemana-mana juga nggak bisa bebas lagi. Mau naik apa coba? Motor juga cuma satu. Mau nge-grab juga nanti uang sakuku dari Devan cepet habis, huh!" keluhnya lagi.

Hijrah Cinta Adinda ✓ (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang