21 - Cerita di Hari Jum'at

204 18 8
                                    

Jum'at, pukul 08.00 WIB.


"Lho? Jadi Dinda ini istrinya kak Devan?" Arya membelalakkan mata tak percaya. Zidan hanya terkekeh menyaksikan adiknya yang baginya berlebihan.

Dinda mengangguk tersenyum seraya melirik Devan. Devan hanya meringis melihat ekspresi terkejut Arya yang berlebihan. Dinda sudah menceritakan semua tentang masalahnya dengan Arya.

"Acara perdana kita, bagi-bagi nasi bungkus di hari Jum'at rupanya punya kejutan tersendiri ya, hahaha," Zidan menggelengkan kepalanya.

Hari ini Devan, Dinda, Arya dan Zidan berkumpul untuk berencana membagi-bagi nasi bungkus ke abang becak, ojol, pemulung dan para pejuang nafkah lainnya . Ide ini dicetuskan oleh Devan yang diutarakan pada Zidan sewaktu mereka berbincang di kantin pabrik. Zidan juga sudah ijin untuk mengajak adiknya, Arya. Hanya ingin memastikan bahwa Dinda yang dimaksud adiknya adalah Dindanya Devan, ternyata benar.

"Selama ini kamu kenalnya kak cuma kak Devan doank karena beberapa kali main ke rumah kita, sekarang udah kenal sama istrinya yang ternyata temen sekelas,hehe," celoteh Zidan.

Wajah Arya merah padam salah tingkah. Dia kira Dinda dan Devan kakak adik.

"Jadi, kita bagi dua tim ya. Saya sama Dinda bagi-bagi ke arah sana. Kamu sama Arya bagi-bagi ke sana," jelas Devan sambil menunjuk medan yang harus mereka tuju. Devan sengaja mengalihkan pembicaraan karena tak ingin obrolan makin melebar.

Semuanya mengangguk. Dan segera mengikuti aba-aba Devan. Mereka berpencar dan akan bertemu lagi di titik yang sama.

Nasi pertama yang diberikan Dinda, diterima dengan senang hati oleh seorang Ibu-ibu penjual sapu yang menggendong anaknya. Matanya berbinar-binar menerima nasi dari tangan Dinda.

"Mbak, boleh saya minta satu lagi untuk anak saya di rumah?" pintanya.

"Oh, boleh ... boleh Bu!" Dinda memberikan sebungkus nasi lagi pada Ibu yang berpakaian lusuh itu. Anak dalam gendongannya terlihat senang merasakan kebahagiaan ibunya.

Orang kedua adalah tukang sapu jalanan yang sedang duduk di trotoar karena kelelahan. Melihat nasi bungkus yang disodorkan Dinda, dengan segera membuka bungkusnya dan langsung memakannya.

"Ya Allah, uenak tenan. Suedep poll jan pangananne. Matursuwun nggeh mbak. Masya Allah, rejeki. Suwun mbak." Sambil terus makan dengan lahap, orang itu mengacungkan jempol pada Dinda yang tersenyum sambil mengernyitkan alisnya.

"Dia ngomong apa sih Van?" Dinda bertanya tak mengerti.

Devan terkekeh," Jata dia, masakan kamu enak. Cieee, yang dipuji."

Dinda tersipu. Ini pertama kalinya dia masak dalam jumlah yang besar dan dibagikan ke orang lain. Dia sangat senang jika ternyata masakan buatannya dinilai enak.

"Duh, alhamdulillah ya Allah akhirnya Dinda bisa masak." Dinda menengadah ke langit dan mengusap wajahnya.

Nasi dengan ikan bumbu kuning, lengkap dengan sambal dan kerupuk buatan Dinda akhirnya ludes seketika.

Dinda sangat terharu, ternyata banyak orang-orang yang kehidupannya tidak seberuntung dirinya. Sementara dia menganggap dirinya adalah gadis yang paling menderita karena menikah dengan lelaki sederhana seperti Devan.

"Van, seru banget ya bagi-bagi makanannya. Aku jadi semangat buat hari Jum'at di minggu depan!" Zidan mengepalkan tangannya.

"Lebay deh!" Nyinyir Arya yang disambut sikutan tangan Zidan.

"Van, kepalaku pusing Van. Muter-muter gitu. Ayo pulang." Dinda mengerang memegangi kepalanya.

"Eh, iya iya. Kamu kecapekan kali Din. Saya antar pulang. Eh, Bro. Nanti sholat Jum'at nggak bareng ya. Saya sholat di masjid dekat rumah aja deh, kasian Dinda." Ucapan Devan langsung diiringi anggukan Zidan.

Dinda memeluk erat pinggang Devan sambil meringis kesakitan. Sakit kepalanya sungguh menyiksa. Devan jadi merasa bersalah karena memasrahkan sepenuhnya tugas memasak untuk sedekah Jum'at pada Dinda.

"Jum'at depan pesen makanan di warung aja deh ya Din. Kamu kecapekan kayaknya."

"Nggak Van,paling habis gini juga sembuh. Aku mau kok, masak sendiri lagi," ucap Dinda lemah.

Devan hanya terdiam. Istrinya itu memang keras kepala kalau sudah menginginkan sesuatu. Dia memilih diam daripada ada perdebatan di tengah kondisi Dinda yang lemah.

Devan membaringkan tubuh Dinda di atas kasur. Diusapnya kening Dinda yang penuh butiran peluh. Dinda yang tergolek lemah akhirnya memejamkan mata dan setengah tertidur.

Devan mengusap-usap kening istrinya lembut, " Din, saya amau pergi dulu ya. Ke masjid. Kamu jangan lupa sholat."

Dinda mengangguk lemah memandangi tubuh Devan yang beranjak dan kini memunggunginya.

Devan yang berbalik badan tiba-tiba.

"Oh iya, mungkin saya mau pulang agak malam ya Din. Maaf ya. Kalau ada apa-apa telpon saya."

"Ke mana?" Pertanyaan Dinda yang lirih seakan terlambat karena Devan sudah cepat berbalik badan, berjalan cepat, berlalu hilang dari hadapannya.

Dinda hanya tersenyum getir, tak terasa bulir-bulir air mata jatuh di pelupuk matanya. Bibirnya gemetar dan dadanya terasa sesak.

"Dia jadi pergi," ucap Dinda lirih.

Dinda terisak diri dalam pembaringan. Dia tahu, ke mana sebetulnya Devan akan pergi. Dinda tahu semuanya. Bahkan tentang orang tua Arumi yang datang menemui Devan waktu itu, Dinda yang disangka Devan sedang tertidur, tengah menguping pembicaraan.

Dinda juga tahu bahwa Arumi adalah cinta pertama yang Devan kejar mati-matian. Tak perlu waktu lama untuk Dinda mengetahui semuanya. Tetangga-tetangga di kampung sudah sering menceritakan hal itu. Bahkan, mereka menilai negatif tentang Dinda. Mereka mengira bahwa Dinda hamil duluan dan memaksa Devan untuk menjadi pengganti calonnya yang kabur.

Hijrah Cinta Adinda ✓ (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang