13 - Merayu Devan

216 19 36
                                    

Istri marah terhadap suami atau suami marah kepada istri, adalah hal yang wajar. Karena itu tabiat manusia. Tapi jika kondisi semacam ini dibiarkan, kemudian masing-masing enggan untuk terbuka, selamanya akan menjadi bara panas bagi keluarga dan rumah tangga.

Ya, harus ada yang memulai. Memulai membuka diri dan menyampaikan perasaan, memulai meminta maaf atas kesalahan, memulai memahami perasaan pasangannya, memulai dan mengawali mengajak untuk menyelesaikan masalah.

(Uztad Ammi Nur Baits)

***

"Vaan, sungguh. Yang kamu lihat barusan cuma salah paham." Dinda memulai percakapan.

Devan tetap diam tak bergeming. Sekitar 30 menit mereka saling terdiam dalam pikiran masing-masing. Dinda enggan beranjak pergi meninggalkan Devan dengan kondisi seperti ini.

"Saya terlalu percaya diri bisa merubahmu menjadi istri yang baik." Akhirnya Devan bicara.

Gantian Dinda yang terdiam karena tak tahu harus menanggapi apa.

"Kamu nggak akan pernah menerimaku menjadi suamimu. Saya hanya anak seorang pembantu, kan. Impianmu, menikah dengan orang yang sederajat, kan?" Devan yang tadi berbaring,kemudian bangkit mengambil sesuatu dari lemari.

"Nih!" Dihempaskannya buku diary Dinda ke atas kasur, tepat di depan Dinda.

Gawat, bodoh! Aku lupa nyimpen diaryku waktu habis nonton Kpop kemarin, aku geletakin sembarangan di soffa!

Dinda menutup mata dengan jemari lentiknya.

"Maaf, sudah saya baca-bacain. Setidaknya saya sekarang ngerti apa yang ada dipikiranmu. Sekarang terserah maumu apa!" Devan melipat kedua tangannya, tubuhnya bersandar di sebelah lemari baju.

Dinda menundukkan kepalanya, tak kuasa menahan tatapan tajam dari Devan. Rupanya Devan sudah amat lelah menghadapinya. Mulai dari tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sampai kepergok bersama lelaki lain.

"Tadinya aku mau kasih ini,  Van, ke kamu." Dinda menunjukkan sekotak kado yang berisi jam tangan untuk Devan.

"Hari ini kan ulang tahunmu. Kado ini sudah aku siapkan jauh-jauh hari. Lalu kadonya jatuh dan ditemukan oleh temanku, Arya." Dinda akhirnya berani membuka suara, meski diiringi dengan bola mata Devan yang berputar-putar malas mendengar ceritanya.

"Terus ngapain pakai pegangan tangan segala? Ngapain pakai ngasih kamu makanan segala? Saya kan sudah sering bilang jangan caper-caperan sama cowok!" Bentakan Devan sontak membuat tangis Dinda meledak.

"Nangis? Cuma itu yang bisa kamu lakuin Din! Kamu bahkan nggak pernah berjuang dalam rumah tangga ini. Nyuci, masak, ngepel, dan kerja, semuanya saya kerjakan tanpa bantuan dari kamu yang harusnya punya andil besar mendukung suami!" Devan sudah tak peduli dengan lelehan tangis Dinda. Emosinya sudah meledak-ledak disulut api cemburu.

"Van, kamu bahkan nggak percaya dengan penjelasanku," ujar Dinda sambil terisak.

"Oh iya, satu lagi. Saya nggak butuh ya, sogokan kado dari kamu. Umur saya bertambah tua, berkuranglah jatah kehidupan saya. Saya nggak biasa merayakannya dengan kado dan hadiah! Mending kamu kasihkan jam ini ke teman laki-lakimu tadi!" Devan membuang napas kasar dengan rahang yang mengeras.

Hijrah Cinta Adinda ✓ (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang