xliii. kecup kedua

877 182 10
                                    

"kalau boleh tanya, kenapa ingin pergi ke sini?" adalah kalimat pertama yang changbin keluarkan dalam sepuluh menit terakhir. tadinya, mereka berdua saling dibekap sunyi sembari duduk di hadapan air yang perlahan surut. kaki keduanya yang sama-sama telanjang tak berhenti mainkan pasir, seakan hal itu akan bunuh kebosanan yang kian menguasai. felix tidak menoleh. dia hanya mengangkat kepala dari tunduknya kemudian menjawab, "bila sedang sedih aku sering kesini pada malam hari."

"oh, begitu."

"termasuk ketika kita renggang. terkadang aku kesini."

changbin terkejut. "sendiri? kau tidak takut?"

anggukan kecil diperagakan. "takut, tentu. tapi aku lawan, karena aku ingin luapkan tangisanku di sini. malu bila dihadapan orang lain. aku sudah cukup lemah di mata mereka."

*

"lihat, felix! langitnya indah sekali. sepertinya bintang-bintang itu ingin menghibur dirimu." jari changbin menunjuk hamparan cakrawala hitam berhiasi gemerlap berlian malam dengan senyum yang merekah. menanggapi itu, felix menjawab tidak. "bukan langit dan bintang yang coba hibur aku."

"lalu? siapa?" changbin mulai menduga-duga. mungkin felix akan rapalkan namanya, namun jawaban yang diberi malah buat sedikit sungkan.

"nenekku, bin. aku percaya bintang yang bersinar itu diam-diam adalah nenekku."

*

"alasan pantai ini jadi pelarianku adalah nenekku. aku dan kakek kehilangan nenek di sini, di pantai ini. empat tahun lalu, ombak bertamu. tapi tidak datang dengan ramah. mungkin kau bisa tebak apa yang terjadi selanjutnya." dalam sekali lihat pun sudah jelas air telah mengenang di kelopak felix. jemarinya memainkan jari-jari yang lain, sembari beberapa kali menggeleng kepala, menahan tangis. "aku turut berduka, felix. aku tahu, rasanya lebih pilu dari patah hati mana pun." changbin dengan ragu menepuk bahu felix. "iya. sudah, jangan bahas itu lagi. malah buat aku makin sedih saja." tuh, kan. changbin jadi dihantui perasaan bersalah. tapi pikiran itu segera dihapus dari benak ketika felix berdiri tegak, menarik napas dalam, dan berteriak sampai-sampai suaranya serak dan berangsur batuk.

*

changbin jadi kaget. "astaga! kau sakit?" changbin ikut berdiri ketika felix masih sibuk batuk. tangan lelaki desa itu dikibaskan di hadapan wajah changbin beberapa kali. "aku-uhuk, aku baik-baik saja. sudah biasa begini." lalu felix duduk kembali dan melandaikan diri ke pasir. tangannya dipakai untuk menumpu kepala, kemudian dia pejamkan matanya erat-erat. "coba saja, changbin. rasanya pasti lega sekali." katanya lagi, masih dengan mata yang terkatup dan changbin menurut saja. ia ikuti ritual felix, kemudian membaringkan diri di samping felix. semua amarahnya akan yeji, chaewon, dan siwon luruh, walau tidak semuanya. ucapan felix bukan tipu belaka.

"dan hal terakhir yang aku lakukan adalah berbaring seperti ini. lalu biarkan mulutku meracau seperlunya. sampai pegal. sampai aku lelah. lalu aku pulang."

"... boleh aku meracau juga?"

*

tigapuluh menit setelah felix izinkan changbin mengeluarkan keluh kesah, lelaki itu masih saja menggerakan bibirnya. dari masalah kota, hyunjin, keluarga, desa, yeji, chaewon, kawanan mereka, ia luapkan. hanya satu topik yang belum. yaitu tentang lelaki yang sedang ia ajak bicara sendiri. "kautahu, felix, dari dulu, dari awal aku menjejalkan langkah di desa ini, ada satu orang yang memikat aku. bukan yeji, bukan gadis manapun. bukan lucas juga--ah, amit-amit! chaeyoung tau siapa orangnya, omong-omong. dan yang lain mungkin tahu juga. tapi aku percaya kalau kau belum. iyakan, felix? kau tak pernah sangka bila aku menganggapmu lebih dari kawan, bukan?"

hening. felix membeku.

"kau tak tahu selama ini aku diam-diam suka padamu, kan?"

masih diam.

"felix, jawab."

tetap diam.

changbin bangun dari tidurnya. "fel--ah. rupa-rupanya." ternyata felix tertidur.

*

changbin tadinya kembali merebahkan tubuh. namun gelenyar aneh mendadak tempeli dirinya ketika felix memutar badan, dan kini kepalanya menghadap tepat ke wajah changbin--ia tahu ia pernah mengalami ini sebelumnya. ketika menonton film di toko renjun, tapi kali ini rasanya beda. wajah felix seperti memiliki magnet tersendiri. netra changbin sedaritadi tidak lepas dari paras elok itu. lama-lama, tubuhnya mengambil alih. kalahkan akal fikir yang habis dilibas nafsu. kini kedua tangan changbin bertumpu pada pasir. tubuhnya menghalangi felix dari cahaya rembulan. changbin menatap wajah felix lamat-lamat. beralih ke matanya, sekali lagi, pastikan lelaki itu masih mengarungi alam bawah sadar.

dan changbin tidak dapat tahan dirinya lagi,

kecup kedua sudah mendarat di bibir ranum felix.

*

uwow another series of cipokan

btw book sebelah up tuh hehe

[2] verano | changlix ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang