"Dia memintaku untuk tidak meninggalkannya, tapi pada akhirnya. Dialah yang meninggalkanku."
—🌛🌛🌛—
Malam itu, aku dan Deri nekat meloncati pagar sekolah taman kanak-kanak hanya untuk sekedar bermain ayunan.
Malam itu hanya ada penerangan lampu ramang-remang dan agak dingin, tapi aku tidak takut. Karna ada deriku disini. Aku menjilati eskrim yang Deri belikan untukku tadi. Aku mendorong kakiku agar terayun. Deri juga asik dengan ayunannya. Lucu.
Kami tidak punya tujuan, selalu saja kencan dadakan. Tapi itu menyenangkan. Aku menatap kearah langit gelap itu, kulihat bulan bersinar cantik diatas sana.
"Gimana kalo kita kebulan?" Tanyaku pada Deri.
"Ngapain jauh-jauh ke bulan. Kalau sama kamu aja aku udah merasa di surga." Ucapnya membuatku tersenyum kecil. Tumben dia gombal.
"Bisa aja." Ucapku masih memakan eskrim.
"Bikin kamu bahagia aja aku bisa."
Aku tersenyum lagi, "Sekarang aja lagi bahagia." Ucapku menatap kearahnya.
"Aku juga bahagia." Ucapnya menatapku dengan senyum, senyum itu rasanya sudah menjadi senyum yang selalu ingin kulihat. Ingin kulihat sampai berjuta-juta tahun lagi, kalau tidak mati.
Malam yang sempurna. Karna orang favorite ku, makanan favoriteku, ada bersamaku sekarang.
Aku menoleh kearahnya tapi dia menatap jauh keatas langit malam yang gelap itu. Kuperhatikan rahangnya bagus, lehernya juga panjang. Mendekati sempurna ketika rambutnya yang lurus itu tertiup angin. Kenapa dia mau sama aku ya dulu, padahal diakan bisa aja cari yang lebih dariku.
Aku tahu pasti banyak perempuan yang mendekatinya. Di fikir-fikir juga, aku tidak ada kesempurnaan. Tidak punya minat juga bakat.
Dari drama korea yang aku tonton, kenapa karakter wanita disana selalu bodoh juga terlihat gembel. Dan lawan mainnya malah terlihat lebih keren.
Mungkin semesta mengirim Deri memang untukku, untuk membuatku lebih baik, juga untuk melengkapiku. Aku beruntung sekali.
"Bulan pasti lagi cemburu Nis, gabisa mesra-mesraan sama matahari." Ucapnya mengalihkan fokusnya dari langit kepadaku.
"Iya der. Nunggu gerhana dulu baru bisa." Ucapku tertawa kecil.
"Waktunya lama biar bisa sama-sama."
"Bulan jangan iri ya." Ucapku menatap bulan diatas sana.
"Jangan tinggalin aku yah." Ucapnya tiba-tiba. Aku menatap Deri, kenapa dia tiba-tiba ngomong gitu?
Aku menelan ludahku, jari-jariku bermain diatas paha, malam itu menjadi semakin dingin. Siapa juga yang ingin meninggalkannya, aku juga tidak pernah berfikir untuk itu, dan tidak ingin melakukannya.
"Iya, gamau ninggalin kamu." Ucapku masih menatapnya, tiba-tiba suasananya jadi lain. Kufikir kami akan banyak tertawa malam itu. Tapi dari wajahnya, apa dia punya masalah?
"Yuk pulang." Ucapnya berdiri dari ayunan.
"Nanti." Ucapku yang masih duduk, aku tidak ingin pulang. Inikan menyenangkan.
"Dingin, nanti kamu sakit. Yang sayang sama aku siapa?" Ucapnya, sifatnya berubah lagi. Yang tadinya agak serius, sekarang menjadi agak menggemaskan.
"Tetep aku, mau sakit ga sakit, tetap sayang kamu." Ucapku tersenyum menatap dia yang berdiri didepanku.
"Aku terenyuh."
"Terenyuh ndasmu."
Dugaanku salah, ternyata Deri baik-baik saja, dia tidak punya masalah, dan kami banyak tertawa malam itu.
Awalnya aku tidak ingin pulang, karna disini sangat nyaman, ya itu nyaman juga karna ada Deri. Kalau sendiri mah boro-boro.
Akhirnya aku mengalah, oke Deri menang. Aku dan dia pulang hari itu. Sebenarnya kami kesini naik motor, sekolah tk ini agak jauh kalau jalan kaki dari rumahku. Deri juga mau mau saja mengikuti kemauanku.
Kulihat jam tanganku sudah jam sepuluh. Rasanya lupa waktu kalau bersama lelaki ini. Aku memeluknya erat diperjalanan, sebentar lagi kalau udah sampai rumah aku pasti kangen. Jadi pengennya nempel aja sebelum aku pulang.
"Udah sampai mbok." Ucap Deri menghentikan motornya tepat di depan rumahku, aku turun sambil memukul helmnya.
"Mbok palalo."
Aku melepaskan helm dan memberikan padanya, dia menyambutnya dengan senyum usil, "Mbok manis." Ucapnya menatapku lagi, "Aku manggil mbok aja yah." Sambungnya.
"Gamau."
"Mbok Niss."
"Gamauu ihh, gamau gamau gamau." Ucapku memukul-mukul lengannya.
Dia tertawa sambil menghindari pukulanku, "Mau dong."
"Gak." Ucapku cemberut lalu berbalik ingin meninggalkannya. Tapi dia menarik tangankku cepat ke posisi semula. Padahal aku juga tidak ingin meninggalkannya, aku harus melihatnya hilang ditikungan jalan.
Kalaupun Deri tidak menahanku juga, aku pasti bakal balik arah sambil bilang "kok akunya ga di tahan?!" Tapi Deriku pinter kok. Dia peka. Kadang-kadang.
Dia tersenyum lalu mengelus pipiku, "Iyadeh sayang." Ucapnya, aku masih tidak bereaksi.
"Engga, bukan mbok Nis, bukan." Ucapnya lagi, membujukku.
"Gamau mbok." Ucapku masih dengan kesal menatapnya.
"Maunya apaan?" Tanya Deri.
"Kamu." Ucapku cepat. Deri hanya tersenyum.
Setelah itu dia menarik pergelangan tanganku agar lebih mendekatinya, kakiku selangkah lebih maju padanya. Dia yang masih di motor itu mencium bibirku sekilas. Lalu tersenyum lagi.
Aku hanya terdiam, apa yang barusan?
Begitulah kenapa aku selalu merindukannya. Dia selalu memperlakukanku dengan baik, dan membuatku selalu bahagia.
Ya tapi tetap saja itu selalu membuatku gila, dan terus memikirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] My Home.
Teen Fiction"Dia memang memberiku luka, tapi untuk bersamanya, aku bahagia." Ini adalah cerita sepasang kekasih yang bahagia pada masanya. Hubungan yang sudah terjalin lama mereka nikmati dengan bahagia. Tapi, tidak ada cinta yang tidak mengenal luka bukan? 05m...