💠 Felix mematut kalender dengan spidol merah di tangan. Dahinya berlipat serius.
Libur semesternya tiga bulan, dan jatahnya telah terpakai dua minggu. Sisa waktu bebasnya cukup lama.
Felix harus bisa pastikan jika Hyunjin akan sembuh selama waktu liburnya yang tersisa.
Felix memikirkan bagaimana jika dia secara rutin membawa Hyunjin ke klinik? Bagaimanapun juga lelaki itu pasti butuh terapi. Butuh seseorang yang secara profesional dapat membuatnya nyaman untuk terbuka akan keadaannya. Butuh seseorang yang cukup sabar menghadapi kebisuan semi-permanennya ——dan itu bukan Felix.
Ralat, tidak seekstrim itu kok, kenyataannya Felix tidak pernah membentak Hyunjin ——mungkin belum. Yah, meski pemuda itu masih menjunjung gengsinya tinggi-tinggi dengan secara ogah-ogahan terlibat konversasi bersama yang lebih jangkung. Semisal dia hanya akan bertanya singkat, lalu respon yang diberikan Hyunjin hanya berupa gestur anggukan atau gelengan, atau menunduk dan tidak bicara secara jelas. Felix merasa itu cukup, tentu saja. Mengingat sebelum kemarin Hyunjin datang dan menapakkan kaki di kediamannya, mereka hanyalah dua orang asing yang belum pernah bertemu walau memiliki seorang ayah yang sama.
Detik jam di dinding melempar Felix pada kenyataan bahwa matahari kian meninggi, angka sembilan tertusuk jarum paling pendek, tercetak jelas bias terang dari gorden kamarnya yang hampir menyaingi cahaya lampu ruangan. Memutuskan untuk bangkit dan berbenah diri di hari liburnya yang kesekian ini, mata Felix lebih dulu terperangkap pada satu sosok yang tengah meringkuk berbalut selimut di lantai.
"Heh, bangun." erangan kecil keluar dari lelaki di bawah sana ketika Felix menendang pelan kakinya. Felix menaikan suaranya satu oktaf lebih tinggi, tapi Hyunjin tidak membuka mata, "udah hampir siang ini. Mau sarapan apa enggak lo?"
Felix mendengus, turun sepenuhnya dari ranjang dan membawa langkah ke depan Hyunjin. Ketika ia berjongkok untuk melihat pemuda itu, Felix membeku.
Jelas sekali terlihat jejak air mata yang kering, dan kelopak matanya membengkak. Alis Hyunjin yang bertaut kuat benar-benar mengisyaratkan ketidaknyamanan.
Raut clueless di wajah Felix tidak bertahan lama, seketika pemuda pirang itu ingat samar-samar saat tidurnya semalam terdengar isakan tertahan dalam jarak dekat. Felix kira dia bermimpi hingga tidak bereaksi apa-apa, taunya ini kerjaan Hyunjin.
Felix mendadak simpati.
"Hyunjin, bangun lo." Felix merotasikan bola matanya, "Kita sarapan di luar nih. Kuy lah." iya, setidaknya kini Felix membangunkan Hyunjin dengan lebih manusiawi: mengguncang bahunya pelan-pelan.
Begitu Hyunjin membuka mata, maka apa yang dilihat Felix adalah netra gelap yang dingin. Sekalipun agak memerah —ya, kau tahu dia habis mewek dan baru bangun tidur juga— tapi sama sekali tidak menghalangi Felix untuk memuji betapa beningnya sepasang jelaga bundar yang tengah menatap ke arahnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
✔LAKUNA; hyunjin ft. felix || hyunlix
Fanfiction💠 [n.] Ruang kosong, Bagian yang hilang. /Latin •°•°• Akibat dosa besar yang terjadi di kehidupan lampau, dua manusia terikat oleh takdir dendam pembalasan. . "Lo persis kayak gue waktu ditinggal mama." "Gue cuma punya bunda." Satu hal yang Hyunjin...