36

735 161 15
                                    

Semalam Dave tidur di rumah Ara hanya untuk menjaga nya dan memastikan jika Ara baik-baik saja.

Ara menuruni anak tangga di rumahnya dengan sedikit berlari setelah melihat Dave yang melangkahkan kakinya menuju dapur dengan rambutnya yang berantakan persis seperti seseorang yang baru terbangun dari tidur nyenyaknya.

"Dave, tunggu!" Ucap Ara.

Dave menghentikan langkahnya kemudian memutarkan tubuhnya untuk saling berhadapan dengan Ara.

"Rambut kamu.." ucap Ara, detik kemudian ia terkekeh pelan.

Ara mengangkat tangan nya, mulai merapikan rambut Dave yang terlihat berantakan itu. Dan jelas, hal itu berhasil membuat Dave salah tingkah.

Jantungnya berdetak cepat, wajahnya memerah.

"ngaca dulu dong haha. Mau ngapain ke dapur, laper?" Tanya Ara yang masih sibuk merapikan rambut Dave.

Dave tidak menjawab.

Sebenarnya, Dave merasa heran mengapa Ara terlihat baik-baik saja pagi ini seolah-olah tidak terjadi apapun semalam. Nyatanya, semalaman Ara menangis bahkan saat mereka selesai menonton film komedi, Ara melanjutkan tangisannya di kamar.

Yah, meskipun ia tidak menangis di hadapan Dave, tetapi Dave bisa mendengar tangisan Ara dengan jelas dan memilih untuk tidak tidur semalaman hanya untuk memastikan Ara baik-baik saja.

"kamu gak tidur, ya?" Tanya Ara setelah melihat kedua kantung mata Dave yang hitam.

"Kenapa semalaman nangis?" Tanya Dave cepat.

Ara terdiam, menurunkan tangan nya perlahan kemudian tersenyum kecut. Selalu begitu, apapun yang terjadi padanya ia selalu berusaha terlihat kuat di hadapan orang lain.

Berharap bisa menyembunyikan kesedihannya, namun nihil. Ara malah terlihat menyedihkan di mata Dave.

"Ra, aku bilang. Siapapun yang sakitin kamu, aku orang pertama yang bakal temuin dia" ucap Dave.

Ara tersenyum tipis, menatap Dave dengan penuh keyakinan nya.

"Aku baik-baik aja"

"Kamu gak baik-baik aja"

"Aku baik-baik aja, Dave"

"Ra..iya. aku baru kenal kamu, tapi aku bukan orang yang mudah di bohongin. Kamu bisa bilang kamu baik-baik aja didepan aku, tapi di belakang aku?" Ucap Dave panjang lebar.

Ara menundukan wajahnya, memainkan jari tangannya.

"Kamu cuma punya aku kan sekarang? Sama siapa lagi kamu bakal cerita tentang masalah kamu selain aku?" Tanya Dave.

Ara tidak menjawab, menggigit bibir bawahnya menahan tangisan nya sekuat tenaga.

Dave membuang nafasnya kasar, meletakkan tangannya di puncak kepala Ara.

"Udah besar, jangan kayak anak kecil lagi. Oke?" Ucap Dave pelan.

Detik berikutnya, Dave memukul puncak kepala Ara berkali-kali.

"Aku gak paksa kamu. Tapi, serius. Seandainya ada yang nyakitin kamu, aku orang pertama yang bakal temuin dia" lanjut Dave kemudian melangkahkan kakinya kenuju dapur meninggalkan Ara yang beridiri mematung di posisinya.

Pikir Ara, apa Dave akan melakukan apa yang ia katakan? Kenyataannya, Dave juga menjadi alasan terbesar mengapa Daniel memilih untuk menjauhinya.












Ara mempautkan bibirnya kesal, sedari tadi ia berdiri di depan jendela kamarnya teyapi sampai detik ini ia belum melihat Daniel yang biasa nya melakukan hal yang sama sepertinya.

Yah, mungkin Daniel benar-benar akan menjauhinya, bahkan bertingkah seolah-olah tidak mengenalnya.

Menyakitkan.

Ara membuang nafasnya perlahan. Kemudian menatap piyama yang terlihat kekecilan di tubuhnya.

Iya, piyama couple nya bersama Daniel dulu. Entah mengapa, setelah dua tahun Ara menyimpannya dan enggan untuk memakainya, sekarang ia memakai piyama putih polos yang terlihat kekecilan di tubuhnya.

"Tolong.. aku cuma mau Daniel. Sekarang.." Ara memejamkan kedua matanya rapat-rapat.

"Tanpa suaranya, cuma wajahnya.." Ara semakin memejamkan kedua matanya sambil terus berdoa dan berharap semoga tuhan mendengarkan doa nya.

Detik berikutnya, Ara membuka kedua matanya perlahan. Benar, Daniel berdiri tepat di balik jendela kamarnya dengan pandangannya yang sayu, belum lagi perban dikepala nya akibat ulah Ara yang membuat Ara jelas merasa bersalah.

"Daniel.."

Ara tertegun sesaat saat Daniel memilih pergi menjauh dari pandangan Ara.

"semakin jauh. Aku gak mau, tolong berhenti.." ucap Ara pelan.

Ara mengepalkan kedua tangannya saat punggung Daniel semakin menghilang dari penglihatannya.

"Tolong berhenti. Atau.." Ara meneteskan air matanya saat Daniel benar-benar pergi.

Sesakit itu, iya.

Ara menangis, menundukan wajahnya, mengepalkan kedua tangannya kuat.

Tangisannya semakin kuat, dan kuat.












Daniel menutup pintu kamarnya dengan bantingan membuat Rigel yang berada di ruang tengah sedikit terkejut.

Rigel mendongakkan kepalanya, mendapati Daniel yang memandangnya dengan kesal dari lantai dua.

"Kenapa lo?" Tanya Rigel.

Daniel tidak menjawab.

"gue gak bisa, Gel. Gue gak bisa!" Ucap Daniel yang kemudian melangkahkan kakinya menuruni anak tangga dengan terburu-buru.

Rigel segera berdiri dari duduknya, mengikuti Daniel dari belakang.

Pikir Rigel, Daniel mungkin akan melakukan hal di luar dugaan nya seperti dua tahun yang lalu saat Ara meninggalkannya. Dan Rigel jelas tidak akan membiarkan hal iti terjadi untuk kedua kalinya.

Mabuk, memukuli orang di dalam club dan pulang bersama wanita seksi meskipun Rigel yakin jika Daniel tidak mungkin melakukan hal-hal aneh yang lebih dari itu. Tetap saja, Rigel harus berjaga-jaga.

"Eh kemana? Gue ikut!" Ucap Rigel yang masih mengikuti Daniel kemanapun ia melangkah.

Daniel memutarkan tubuhnya kemudian melempar kunci mobil pada Rigel.

"Lo yang nyetir!" Ucap Daniel dan diterima dengan anggukan Rigel.




PENDEK BANGET INI ASTAGA

MIRACLE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang