Dari hari ke hari Mark semakin sibuk sehingga Mark tidak bisa membagi waktunya dengan Jinyoung. Jinyoung cukup legah karena hubungannya dengan sang ayah sudah mulai membaik setelah ayahnya mengizinkannya menjalin hubungan dengan Mark.
Jinyoung sering menginap di rumah Mark agar ia bisa melihat kekasihnya itu. Namun sayang, Mark selalu berangkat pagi-pagi sekali ketika Jinyoung masih terlelap dan pulang lewat tengah malam ketika Jinyoung sudah terlelap. Jinyoung tidak tahu alasan kenapa Mark sampai sesibuk itu bahkan Mark tidak sempat untuk sekedar membalas pesannya.
Pernah beberapa malam yang lalu ia bertanya kenapa Mark selalu pulang larut, Mark hanya menjawab banyak pekerjaan yang belum rampung. Jinyoung meminta Mark agar membawa pekerjaannya ke rumah, seperti biasa, namun Mark menolak dengan berbagai alasan. Saat Jinyoung datang ke kantor mengantar makanan, Mark selalu sibuk seperti ada meeting atau pertemuan pentingnya. Sedangkan Jinyoung tidak punya waktu menunggu Mark sampai selesai meeting karena ia harus ke kampus.
Sejak itu, Jinyoung mulai merasa kesepian. Seperti saat ini, ia duduk di sofa sambil menonton televisi setelah ia kembali dari kampus. Ia dengar dari Paman Kim, hari ini Mark akan pulang cepat. Jinyoung senang sekali mendengarnya. Ia juga sudah selesai membuat menu makan malam untuk Mark. Sesekali ia melirik jam di dinding. Sudah pukul 7 malam, tapi kenapa Mark belum pulang? Mungkin terjebak macet, pikirnya.
TING TONG
"Itu pasti Mark hyung."
Jinyoung bergegas membukakan pintu, dan alangkah terkejutnya ia saat orang yang sejak tadi ia tunggu datang bersama seseorang. Jinyoung terdiam seperti patung menatap pria yang berdiri di sebelah kekasihnya. Matanya melirik pria itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Wajah itu... Wajah itu mirip sekali dengannya.
"K-kau..."
"Jinyoung-ah."
Pria berambut kecoklatan itu langsung memeluk Jinyoung dengan erat. Jinyoung tidak memberikan reaksi apapun. Ia benar-benar terkejut sehingga ia merasa ia sedang bermimpi. Ia menatap Mark yang juga sedang menatapnya. Jinyoung melepaskan pelukan kembarannya.
"K-kau... k-kau kakakku?"
Junior tersenyum sembari mengangguk. Ia sangat senang sekali karena pada akhirnya ia mempunyai keberanian menampakkan batang hidungnya di hadapan kembarannya. Ia juga berterima kasih pada Mark karena selama beberapa minggu ini Mark setia menemaninya terapi hingga ia sembuh total dan bisa berjalan seperti semula.
Jinyoung meraba wajah yang sangat mirip dengan wajahnya itu. Bedanya, Junior memiliki rahang yang tegas.
"H-hyung..." Terasa aneh karena Jinyoung seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Iya, ini aku. Aku Junior."
Jinyoung memeluk tubuh yang lebih besar darinya itu. Jinyoung menangis tersedu-sedu karena ia senang sekali bisa bertemu lagi dengan Junior. Ia pikir, Junior benar-benar sudah meninggal. Tapi, bagaimana bisa Junior datang bersama Mark?
.
Setelah Mark menjelaskan semuanya pada Jinyoung, Mark meninggalkan Jinyoung duduk berdua bersama Junior di taman rumahnya. Keduanya terlihat sangat canggung, mengingat ini pertemuan pertama setelah puluhan tahun lamanya. Sesekali Jinyoung mencuri pandang ke arah Junior. Wajah mereka benar-benar sama. Jinyoung meraba wajahnya sendiri. Sepertinya, pipinya lebih gembul di banding pipi saudara kembarnya yang tirus.
"Aku senang sekali bisa melihatmu dari jarak sedekat ini." Akhirnya Junior membuka suara untuk memecahkan keheningan di antara mereka.
"Huh? A-aku juga."