Satu - (Belum bisa)

1.1K 52 1
                                    

.

.

.

"Jadi Nada bagaimana?" tanya mereka serentak, kecuali lelaki tampan yang asyik menatap wajah imut gadis itu.

Nada melongo kaget dengan pertanyaan mereka, kompak sekali, batinnya.

"A-aku kenapa? A-ada apa?"

Ibu dari lelaki tampan itu tersenyum paham lalu menggeleng-gelengkan kepalanya"jadi gimana kamu mau menerima perjodohan ini?"

Nada meringis, "maaf tante, bukan aku mau menolak, hanya sa...." ucapnya terhenti ketika mendengar ucapan yang keluar dari mulut wanita tersebut, "kami ngerti, tapi jika kamu mau menerima perjodohan ini, kami akan membiyayai sekolah kamu"

Lagi-lagi gadis itu melongo, "aku? Ma-maksud aku kenapa harus aku. Diluar sana banyak gadis cantik dan membutuhkan biaya untuk sekolah, Kenapa gak mereka saja"

"Kami tau nak, hanya saja anak kami Denal, memaksa kami untuk melakukan ini. Dia terlanjur jatuh hati sama kamu" ucap wanita paruh baya itu lembut.

Nada tersenyum kikuk, ini membuatnya dilema, ia tak ingin dijodohkan tetapi ia juga menginginkan ralat membutuhkan biaya sekolahnya. Keluarganya bukan tak mampu, mereka bisa membiyayainya. Tapi ia sebagai anak yang baru khilaf ketika ulang tahunnya yang berumur 15 tahun tak ingin membuat keluarganya kerepotan mencari biaya sekolah untuknya, walaupun itu sudah menjadi tanggung jawab mereka tapi tetap saja, ia harus mempermudahkannya kan?.

Nada menutup matanya sesaat, "ya allah tolong hamba" doanya dalam hati.

Seketika kakaknya Rini mulai membuka pembicaraan. Ia menatap Rini dengan diam, ia tahu pasti kakaknya mengerti dengan kedilemaannya.

"Begini bu, mereka kan masih sangat muda, jadi kenapa terburu-buru sekali"

"Sebenarnya kami juga berpikir seperti itu, tapi dasar anak kami pemaksa jadi kami melakukannya. Sekalian membantu Nada dalam bersekolah"

Kakak ipar Nada tersenyum. Nada menatap ke langit-langit rumah, ia tahu bahwa kakak iparnya itu sedang jenuh karna sepulang kerja belum memainkan gamenya, "sebenarnya apa yang membuat anak ibu dan bapak menyukai saudari ipar saya?"

"Karna aku memang suka" jawab lelaki itu spontan. Nada mengernyit bingung, jawaban macam apa itu.

"Hahah sebenarnya Nada itu jelek, lihatlah dia pendek, alisnya tebal seperti sinchan, dan suka memukul orang" Rini terus berucap dengan senyum manisnya. Beda dengan adiknya yang sudah memerah menahan malu dan kesal. Setidaknya jangan menghinanya didepan orang-orang itu kan.

"Iya ka Rini. Hina terus gue" gumamnya pelan, sangat pelan. Tapi lelaki itu tahu bahwa gadis imut itu sedang menahan kesal karna ucapan kakaknya.

Lelaki yang diketahui bernama Denal itu membisikan sesuatu pada ibunya. Ibunya mengangguk paham, "jadi begini. Anak saya tetap bersikukuh untuk mendapatkan kamu Nada. Dan tenang saja dia gak berani macam-macam kok selama kalian pacaran, kira-kira hanya sebatas pegangan tangan"

Nada mendumel dalam hati, "baru dikira-kira"

"Dan untuk pernikahan kalian" ucap bapak itu tiba-tiba.

Nada secepat kilat berdiri dari duduknya menatap mereka dengan berbagai macam mimik wajah yang bercampur antara bingung, marah, kesal dan lainnya.

"Eh aku belum mau menikah pak, aku masih 16 tahun, masih mungil dan masih polos"" ucap Nada cepat. Rini memukul tangannya kasar sehingga membuatnya kembali duduk.

"Tidak Nada, kalian akan menikah ketika sudah cukup umur dan itu masih lama" semuanya mengangguk paham beda dengan Nada yang telah mengeluarkan asap dari kedua telinganya.

"Gimana sih, gue belum terima aja udah ngomong pernikahan" gumamnya dalam hati.

"Jadi bagaimana kalian terima?" tanya bapak tersebut.

"Kalau kami terserah Nada" ucap kedua kakaknya. Sedang orang yang dibicarakan diam mematung di tempat. Ia kembali merasa dilema. Membutuhkan biaya tapi ia tak ingin dijodohkan dengan orang yang tak dikenalinya.

"Nada gimana?" tanya Rini.

Nada bergerak lemas, "ka Rini telepon papa aja. Kalau papa terimah aku juga"

"Udah ditelvon dari tadi, dan papa bilang terserah kamu"

Gadis itu menggertakan giginya, semakin dilema dengan keadaan ini, "maaf om tante dan juga kamu. Aku gak bisa. Aku terlalu muda untuk ini"

Wanita paruh baya itu tersenyum paham, "gak papa Nada, kami juga paham. Dan kalau masalah umur, Denal juga masih muda, umurnya masih 17 tahun" Nada mengangguk canggung, lalu tersenyum, "sekali lagi aku minta maaf yah"

"Iya sayang gak papa kok, tapi jika kamu berubah pikiran, bilang saja. Kami pasti dengan senang hati akan membicarakan ini lagi"

Suasana yang tadinya canggung kini terasa santai, semuanya asyik mengobrol sambil minum kopi. Beda dengan Denal yang hanya diam. Nada sedikit merasa bersalah ketika melihat wajah lelaki itu, tapi tetap saja kan, ia tak boleh memaksakan dirinya.

Nada berdiri dari duduknya, lalu meminta izin untuk undur diri. Ia berasalan pergi ke rumah tetangga untuk menyuruh keponakannya pulang, mereka mengizinkannya.

Gadis itu kemudian masuk ke dalam ruang keluarga dan langsung ke kamarnya. Memanggil keponakannya hanya alasan. Siapa juga yang mau memanggil Keponakannya yang sedikit galak itu, bisa-bisa Nada kena semprotan kekesalan Kiren karena menganggu acara bermainnya. Gadis itu pasti akan berkata, "Nana kenapa sih ganggu-ganggu Kiren main. Biarin Kiren laporin mami" begitulah kata-kata yang sering di ucapkan keponakan pertamanya itu.

Lama ia larut dengan wattpadnya, sampai mendengar suara klakson mobil , sepertinya ketiga orang itu baru saja pulang. Nada bersorak senang, akhirnya ia bebas dari orang asing yang menjodohkannya dengan anak mereka secara tiba-tiba.
.
.
.
.
.
Nada melangkahkan kakinya di anak tangga dengan gontai. Sekolah masih sunyi di jam begini. Padahal kalau di hari lain sudah ramai. Tapi entah kenapa kalau di hari piketnya masih sunyi, padahal ia sudah berencana dari semalam untuk datang telat agar tak perlu repot-repot untuk piket.

"Sial mulu deh gue" gumamnya sambil melangkah masuk ke dalam kelas. Sudah ada beberapa orang yang datang.

"Oy piket lo tuh di bawah" teriak gadis itu, namanya Syta. Gadis berbadan tinggi dan tomboy, tapi kalau dalam urusan pacaran dia nomor satu. Semua mantannya bersekolah di STM.

Nada menatapnya kesal. Masih pagi-pagi udah ngajak ribut, "iya gue tau kampret" lalu berjalan mengambil sapu setelah terlebih dahulu melempar tas dan jaketnya asal.

Gadis itu turun ke lantai bawah dengan santai. Sesampainya ia langsung menyapu di parkiran dan lainnya yang termaksud dalam piketnya.

Nada mengangkat kepalanya yang sedari tadi menatap lantai, dan menatap temannya yang baru saja datang.

Yura, gadis yang kelihatan pendiam dan ramah padahal kebalikannya. Dia tersenyum sambil menyapa Nada, "hallo Nada. Ihh rajin banget deh"

Menghentikan acara menyapunya, Nada melirik yura dengan datar, "lo muji gue kek liat kotoran gajah, pake ih ih segala"

"Iyadeh maaf-maaf" ujarnya diiringi tawa kecil, "gue ke kelas dulu yah"

Nadamenatap Yura dengan bosan, gadis itu merupakan salah satu orang yang sangat dekat dengannya di sekolah ini. Jadi ia bicara dengan nada yang santai dengannya, beda dengan yang lain, ketika berbicara dengannya pasti menggunakan berbagai macam ekspresi, ada yang sinis, kaku, antusias, datar dan banyak lagi. Maklum saja, begini-begini Nada itu juara satu kelas, makanya banyak yang tak menyukainya.

.

.

.

Bersambung,,,

Jangan lupa ninggalin jejak...

Real Dream (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang