.
.
.
Rini menatap adiknya yang asyik main game di ponselnya. Berpikir kembali, apakah ia harus mengatakannya pada Nada perihal rapat tadi siang itu, tapi ia tak ingin membuat saudaranya prihatin.
Menarik nafasnya panjang, "Nada" panggilnya. Nada mendongak lalu menatap kakaknya, "ya kak Rini"
"Hmm ini perihal rapat tadi" Nada menaruh ponselnya sembarangan, lalu mengangguk, "oh iya kenapa memangnya?"
"Begini sekolah kamu menambah biaya ujian kenaikan kelas menjadi dua kali lipat" ucap Rini langsung to the point. Nada melebarkan matanya sambil menganga. Ia langsung saja berdiri dari duduknya, "gila tu sekolah. Mau minta di bakar"
Rini mendengus bosan, "mulut doang"
Gadis itu terkekeh geli dengan ucapan kakaknya sambil menganggaruk kepalanya yang tak gatal, kemudian ia kembali memasang wajah jengkelnya, "kenapa bisa gitu kak?"
"Iya biasalah namanya juga sekolah yayasan"
"Kalau tau begini mending aku gak masuk sekolah itu" dumelnya, "kenapa sih kakak malah masukin aku di sekolah elite itu"
Rini memajukan tubuhnya, lalu meneong kepala adiknya itu, "eh goblok. Kita masukin kamu ke sekolah itu karna kita mampu membiyayai sekolah kamu, tapi hanya saja kenaikan biaya tidak bertepatan dengan keadaan yang baik. Dan gak mungkin kan kalau kita gak bisa membiyayai sekolah kamu terus memaksakan kamu sekolah di situ. Bisa-bisa kamu di tendang karna gak bayar uang sekolah"
"Yaudah kalau gitu telvon aja papa. Bilang aku butuh uang" wajah Rini seketika suram, ia menatap Nada dengan sedih.
"Nada coba kamu pikir deh. Beberapa hari yang lalu papa baru aja ngirim uang sekolah sama uang untuk kebutuhan kamu yang hampir enam juta. Dan sekarang kamu mau minta kirim uang lagi. Kamu gak kasihan sama papa yang banting tulang nyariin uang buat biaya sekolah kamu"
Nada menunduk sedih, kenapa ia baru menyadarinya yah. Sebagai anak yang pengertian ia harus mengerti keadaan. Ia tak boleh mengatakan ini kepada ayahnya. Karena pasti ayahnya akan lebih bekerja keras untuk dirinya, dan ia tak ingin ayahnya sakit hanya karena terlalu bekerja keras untuk dirinya.
"Gak bisa yah pembayarannya di tunda sampai beberapa minggu gitu. Supaya aku bisa berusaha nyariin uang" Rini menatap adiknya dengan sedih. Pasti sulit berada di posisi Nada. Dimana ia harus membutuhkan pendidikan tapi keadaan tidak mendukung. Kalau saja suaminya gajian di pertengahan bulan ia bisa langsung membayarnya, tapi suaminya gajian di tanggal tua, ditambah lagi beberapa hari yang lalu keluarga suaminya meminjam uang untuk pembayaran biaya rumah sakit saudaranya.
"Bisa sih ditunda, tapi ujian kenaikan kelas kamu juga ditunda"
Nada menghembuskan nafasnya kasar, "kalau gitu berarti aku harus bekerja"
Rini meliriknya sejenak, "aku sih gak masalah, tapi yang jadi masalahnya itu kamu. Kalau ujian tiba akan sulit untuk kamu membagi waktu untuk belajar dan bekerja"
Nada mengerang frustasi sambil mengacak-acak rambutnya. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang, "kalau gitu aku berhent...." tak sempat ia melanjutkan ucapannya karena Rini sudah lebih dahulu menghadiahi jitakan dijidatnya.
"Aww sakit" ringisnya tak lupa mengelus-ngelus jidatnya yang berdenyut.
"Kamu gila yah mau berhenti sekolah.." Nada menatap kakaknya sambil melongo, "siapa yang mau berhenti sekolah?" tanyanya bingung.
"Kamu.."
"Gak kok. Lawong aku mau bilang kalau aku mau berhenti beli kuota. Supaya irit dikit" Rini langsung saja sweatdrop mendengar tuturan kesal adiknya. Sepertinya ia terlalu terbawa dengan suasana, sampai tak mendengar lanjutan ucapan adiknya, dan malah menjitaknya terlebih dahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Real Dream (END)
FanfictionSemua terasa membingungkan, ia memimpikan sesuatu yang aneh. Padahal seumur hidup ia belum pernah merasakan hal tersebut. Apakah ini pertanda?. Atau apa, kenapa sangat mengganjal dipikirannya. "Jadi bagaimana?" Mimpinya menjadi nyata, tapi ini seper...