Kekhawatiran Junhoe terbukti. Malam itu, dua hari setelah pertemuan tanpa sengaja-nya dengan Choi Yuna. Junhoe menemukan sobekan kertas berisi profil gadis itu di samping tempat sampah kamar Gayoon. Bahkan ada satu foto pertemuannya dengan Yuna di kantin kampus dua hari lalu lengkap dengan coretan spidol merah bertuliskan:
'You're dead meat, b*tch!!!'
Gayoon memergokinya ketika bertemu Choi Yuna. Ia merutuki kecerobohannya karena mengabaikan kelincahan sepupunya itu. Seketika itu juga Junhoe panik. Sekarang dirinya kebingungan, bagaimana cara memberitahu gadis itu. Sementara ia tidak terfikirkan sedikitpun untuk meminta kontak Yuna kemarin.
Lelaki itu mondar-mandir di dalam kamar Gayoon. Beberapa detik kemudian ia baru menyadari sesuatu. Diobrak-abriknya tempat sampah di depannya hingga menemukan sobekaN-sobekan dan menggabungkannya. Kertas itu sudah tidak utuh lagi.
.....221. Rosenborg Slot, Nwerre Voldgade, Copenhagen.
Junhoe familiar dengan lokasi tersebut. Namun ia sedikit kesal karena robekan berisi nomor kamarnya justru tidak ditemukan. Tanpa pikir panjang, Ia menyambar kunci mobilnya dan berlari keluar sambil membanting pintu di belakangnya.
***
Selama hampir 15 menit Junhoe melangkahkan kakinya menyusuri bangunan apartemen 4 lantai itu. Ia nekat menanyai satu persatu kamar karena pihak pengelola enggan mengungkap siapa saja penghuninya dengan alasan melanggar privasi.
Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar nomor 4 di lantai dua. Pintu itu sedikit terbuka. Junhoe mengetuk pelan pintu tersebut sambil menggumamkan kalimat permisi. Tiga kali ia mengetuk tapi tak ada yang menyahutinya.
Junhoe nekat memasuki kamar itu perlahan. Ia mendengar suara-suara dalam bahasa Korea dari dalam kamar yang sepertinya merupakan ruang tidur. Lelaki itu semakin memantapkan langkahnya mendekati kamar tidur itu.
"Tapi aku juga mencintainya, eonni—".
"Diam kau, sialan!".
Junhoe terpekik saat melihat apa yang telah terjadi di depannya. Di pinggiran ranjang tergeletak tubuh seorang gadis dengan darah menggenang di sekitarnya. Sedang di atas perut gadis itu, kakak sepupunya sedang mendudukinya dengan pisau lipat teracung di tangan kanannya hendak menikam leher gadis itu.
Dicekalnya tangan sepupunya yang memegang pisau sehingga benda itu terlempar entah kemana. Junhoe menarik kasar tangan kanan sepupunya hingga berdiri. Lelaki itu melirik gadis yang tergolek di depannya dan bernapas lega. Karena gadis itu terlihat masih bernapas sambil tangannya memegang titik luka di perut kirinya.
"Dasar sinting! Apa yang sudah kau lakukan. Kau bisa membunuhnya, bodoh!". Wanita itu, Heo Gayoon hanya tersenyum sinis.
"Kau selalu mengacaukan semuanya, June. Karena ulahmu, sekarang ini tanggung jawabmu untuk membereskannya". Pria itu menatap tak percaya pada kakak sepupunya yang justru melenggang pergi tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Junhoe lantas berjongkok untuk memeriksa gadis tak berdaya di depannya. Dilihatnya kesadaran gadis itu sudah hampir hilang. Junhoe menepuk-nepuk pipi kiri gadis itu.
Reflek Junhoe mengalungkan tangan kanan gadis itu di lehernya. Kemudian meletakkan tangan kanannya sendiri di bawah kedua lutut gadis itu dengan tangan kiri di punggungnya. Junhoe menggendongnya sembari berlari keluar kamar dan berteriak meminta pertolongan.
"Hey, Choi Yuna! Bangunlah, tolong jangan pingsan dulu". Bibir gadis itu menggumamkan sesuatu, lalu ia terlihat tak bergerak lagi.
***
Junhoe terduduk gelisah di bangku panjang depan ruang gawat darurat. Berbagai hal berkecamuk di benaknya.
Bagaimana nasib sepupunya setelah ini?
Apa ia harus melaporkan wanita itu ke polisi atau dibiarkan saja seperti yang sudah-sudah?
Jika demikian, bagaimana dengan Choi Yuna?
Bukankah gadis itu sudah sangat menderita karena ulah tunangannya dan Gayoon?
Junhoe menjambak rambutnya frustasi. Ditengah kegelisahannya, pintu di hadapannya terbuka. Seorang pria memakai jas putih menghampirinya.
"Bagaimana keadaannya, dokter?". Junhoe langsung melompat dari tempat duduknya saat dokter yang menangani Yuna berada di hadapannya.
"Apa hubungan anda dengan pasien?". Lelaki itu mengusap tengkuknya bingung.
Apa keadaannya segawat itu sehingga dokter menanyakan hubungan kami?
Aku harus menjawab apa?
Apa kujawab dia adikku saja?
Tapi dia dan aku sungguh tak memiliki persamaan dari segi manapun...
Batin Junhoe berperang.
"Sayaa su....aminya, dokter".
.
.
.