Tell me

42 9 5
                                    


***

"Sunhee-ya."

"Hmm."

"Aku ingin tahu lebih mengenai Xue Shan-shan," pinta Areumi takut-takut.

Tarikan napas kasar keluar dari mulut Sunhee. Matanya berotasi menandakan ketidak sukaan. Sudah jelas ia akan menolak bicara, namun Areumi dengan nekat memaksanya.

"Aku tahu ini sulit. Tapi, aku seperti tidak mengenalmu. Terlalu banyak yang kau tutupi dariku," lanjut Areumi.

Sunhee hanya diam sedang matanya masih fokus pada awan yang ada di atas kepalanya. Berusaha mengolah emosi yang sedang bergejolak.

"Sunhee-ya."

"Apa itu penting?... bukankah kau pernah bilang tidak peduli dengan masa laluku karena kau hidup denganku di masa ini," akhirnya Sunhee membuka suara.

Tidak bisa memungkiri, memang hal tadi pernah ia ucapkan sebelumnya. Tapi, sesuatu mendorongnya untuk serakah.

"Apa sesulit itu?" tanya Areumi tak sabaran.

"Kurasa kau tak perlu jawaban."

"Lalu, Ayahmu?"

"Kenapa kau begini? Memangnya ada apa dengan Ayahku?" nada suara Sunhee mulai menaik.

"Aku tak pernah melihatnya bahkan hanya sekedar di foto atau bahkan sekedar dari ceritamu."

Cukup

Sunhee sudah berada di batas sabar. Jika dilanjutkan, mungkin gadis itu akan kewalahan mengatur dirinya sendiri. Ia tak ingin membuat semuanya menjadi semakin runcing.

"Di sini panas, aku ke kelas duluan," tutup Sunhee dan langsung angkat kaki dari atap sekolah tanpa mendengarkan respon Areumi terlebih dahulu.

"Apa aku memang sahabatmu? Atau hanya sekedar seseorang yang menemanimu dikala bosan?" teriak Areumi yang tidak menerima jawaban apapun.

Punggung Sunhee kian menjauh, melenyapkannya dibalik pintu. Menyisakan ketegangan diantara kedua sahabat tersebut. Areumi semakin dibuat penasaran.

***

Ye Wol terlihat berlari menuju ruang kepala sekolah. Raut panik tercetak jelas di wajahnya. Lima belas menit yang lalu, seseorang menelponnya dan menyuruh Ye Wol untuk segera ke sekolah. Tangannya bahkan masih menggenggam erat handphone yang tadi ia gunakan.

Tanpa disadari Sunhee melihat sang Ibu yang tengah berlari panik. Gadis itu memanggilnya, namun tidak juga digubris. Sunhee yang juga ikut panik langsung mengikuti arah Ye Wol.

Ketika sudah berada tepat di depan ruang kepala sekolah, Ye Wol terdiam sejenak dan menarik napas dalam. Hingga satu tangannya memegang kenop pintu dan membukanya perlahan.

Baru satu langkah, ia terdiam tak berkutik. Dua orang tengah menunggunya di ruangan tersebut. Yang satu adalah Hyun Mo si pria tua dengan satu wanita yang usianya tak jauh dari Ye Wol tengah duduk santai. Heels berwarna merah menyala selalu jadi favoritnya.

Tangan Ye Wol gemetaran dibuatnya, ia tidak menyangka bahwa sesuatu yang di katakan 'penting' di telepon adalah dirinya harus menemui seseorang yang sepuluh tahun ini ia hindari. Ye Wol kesulitan menelan salivanya sendiri.

Kini mereka tengah duduk saling berhadapan. Seperti biasa Jessica selalu bersikap angkuh. Matanya tajam memandang Ye Wol.

"Lama tak jumpa Rebecca," sapa Jessica.

"Sejak kapan kau disini?" tanya Ye Wol masih dengan wajah panik.

"Aku bahkan mengikutimu selama ini, kau tak tahu?"

Tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut Ye Wol. Lebih tepatnya karena ia bingung harus berkata apa lagi,  yang jelas dirinya ingin segera pergi meninggalkan tempat tersebut.

Hyun Mo yang sedari tadi memerhatikan keduanya lalu berjalan menuju laci meja. Tepat di laci kedua, pria itu mengeluarkan sebuah hoodie hitam dengan gantungan bermotif Bintang. Kejadian itu sukses membuat Ye Wol semakin panik, wajahnya semakin pucat.

"Kau tahu itu bukan?" tanya Jessica.

"Apa maksudmu?" susah payah Ye Wol menahan rasa takut.

Melihat sikap Ye Wol yang masih berbohong, membuat Jessica naik pitam. Wajah tajamnya kini berubah jadi kemarahan.

"Berhenti berbohong!" teriak Jessica dengan mata berkaca-kaca, "kembalikan kakak ku!"

Tangan Jessica dengan ganas mengguncang tubuh Ye Wol. Pertahanannya telah jebol, ia akhirnya menangis sesenggukan. Sedang Ye Wol hanya diam melihat dirinya di perlakukan seperti itu. Seperti ingin meminta maaf tapi tak satupun terucap.

"Kakakmu sudah beristirahat dengan tenang Jess." Air mata Ye Wol pun pada akhirnya ikut menetes.

"Dan kau penyebabnya!" geram Jessica.

Ye Wol hanya diam.

"Jika saja dulu kau tidak merampas kakakku dan menikah di Shanghai, semua tak akan semengerikan ini."

Tangis mereka pecah di dalam sana, hanya Hyun Mo yang diam mematung.

"Kenapa kau memaksa dia untuk menikahimu?"

"Itu bukan salahku."

"Lantas salah siapa? Apa semua karena janin yang ada di perutmu waktu itu?"

"Ini bukan salah siapapun, semua adalah takdir."

"Lagipula Seokjin Oppa bukan ayah biologisnya kan?"

"CUKUP!" teriak Ye Wol pada akhirnya. Ia tak suka seseorang melibatkan anaknya.

Sedang di luar ruangan, Sunhee menguping segalanya. Mulutnya ia bekap dengan tangannya sendiri untuk meredam tangis yang mungkin akan ikut meledak juga. Ada sesak yang terus menghambat saluran pernapasannya. Sekelebat ingatan mengenai ayahnya mulai mengganggu kesadarannya.

Dengungan kencang menyerang rungu gadis itu, penglihatannya sudah tidak lagi jelas. Sunhee mulai kehilangan keseimbangannya dan terduduk lemah. Pandangannya menghitam seiring dengan kesadarannya yang mulai menipis.

***

Bulan telah kembali menggantikan tugas sang mentari. Dingin pula yang menyelimuti dengan suara gonggongan anjing di halaman kediaman Areumi.

Areumi pun sedang sibuk mengajak ngobrol Mickey, anjing peliharaannya yang ia adopsi beberapa minggu lalu. Walau tidak ada jawaban yang ia mengerti, namun Areumi tetap semangat bercerita pada Mickey.

Ketika dirasa sudah mengantuk, Areumi lalu kembali ke rumahnya dan membiarkan Mickey tetap di halaman. Karena memang rumah anjing tersebut ada disana.

Lalu seseorang masuk dengan sangat hati-hati melewati gerbang rumah Areumi. Hampir seperti bayangan hitam, karena tidak satupun dari dirinya yang tersorot lampu. Seluruh tubuhnya terbalut jaket hitam dengan hoodie yang kebesaran. Namun, tanpa cahaya bintang.

***

"Dok, aku jadi lebih sering merasakannya."

"Apa obatnya masih rutin di konsumsi?"

"Tentu, aku tidak pernah melewatkannya."

"Berdamailah dengan dirimu sendiri, kurasa itulah penyembuhan terbaik bagimu," kata Dr. Lee menjelaskan dengan nada lesu. Harapan yang kemarin sempat terlihat nyata, kini memudar kembali.

Sunhee hanya menunduk tak mampu memerlihatkan wajah. Tangannya saling mengunci dibawah meja. Bibir bawahnya hanya sanggup ia gigit untuk meringankan gejolak dalam diri.

Sedang Ye Wol hanya berdiri dan bersandar pada pintu. Ia hanya menggigiti kuku sambil menatap sendu pada keduanya.

***

Who? ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang