TEROR

3.6K 105 0
                                    

Telah lama meninggalkan rumah besar di Bandung membuatku harus bekerja keras membersihkan segalanya, meskipun dirumah sudah ada simbok yang mengurus segala isi rumah, namun ku tetap tidak bisa melihat rumah yang masih berdebu.

Aku melihat Mas Robi tampak terlelap dengan wajah letihnya, begitu Ciko dan Cika yang sudah terlelap.

Ya kita sampai di Bandung sudah tengah malam sudah saatnya mengistirahatkan tubuh.

Setelah cukup rapi, segera ku membersihkan tubuh. Tidak bisa tidur jika badan masih lengket berkeringat. Segera ku isi air bathup dengan air hangat dan sedikit ku berikan garam aromaterapi setidaknya bisa meringankan rasa lelah didalam tubuh.

Berendam dengan air hangat adalah favoritku, mencoba memejamkan mata sejenak sampai badan terasa segar.

"Nduk.. Nduk Liana..."

Tersentak ku mendengar suara panggilan itu. Segera ku buka kembali mata ini dan melihat siapa yang memanggilku.

Aku terkejut, aku tidak tahu harus berkata apa. Bagaimana bisa aku berpindah tempat, bukannya baru saja aku berada di kamar mandi rumah.

Mengapa aku bisa berada di tempat pemandian pondokkan Nyai.

Dengan secepat kilat ku bergegas mencari kimono handuk ditempat biasa namun tak juga ku dapatkan hanya jarik khas Nyai yang ada disana.

"Nduk, sini.. ritualnya sebentar lagi dimulai. Bagaimana Mas Robimu semakin romantis bukan, ini karena Nyai loh."

Aku mencoba untuk menutup telinga mengabaikan suara itu. Terus ku berjalan mencoba keluar dari tempat itu.

"Mau kemana Jeng Liana, gak sopan jika di panggil Nyai tapi tidak menjawab. Nanti Nyai marah." Suara dayang kembali memanggilku.

"Mbak Liana, sudah saatnya kita melakukan ritual bebadan. Saya tuntun ke kamar pengantin lagi ya Mbak. Saya akan membuat Mbak Liana seperti dulu, bergairah dan panas dengan permainan saya."

Aku terus menutup telingaku mencoba mencari jalan keluar tak juga ku dapatkan.

Terus ku berjalan, menangis ketakutan. Aku ingin pulang, aku ingin kembali kerumah. Aku tidak ingin berada disini.

Tiba - tiba seseorang menarik tanganku dari belakang. Terasa dingin ku rasakan. Aku sangat ketakutan.

"Mau kemana Nduk, tidak sopan kamu berlalu seperti itu. Dimana balasanmu setelah kami lakukan semua untukmu lalu kamu meninggalkan kami dengan cara seperti ini. Lihat Nyai.. Lihat Nyai sini... Lihat Nyai..."

Entah bagaimana tangannya berada dibelakangku namun wajah Nyai tepat di depan jarak yang sangat dekat dengan hidungku.

Aku menjerit ketakutan, aku berteriak. Aku ingin melepaskan diri dari cengkeramannya, aku tidak suka.

Aku tau Nyai Juminten tidak ada, dia sudah meninggal. Aku tau ini hanya perbuatan Jin Iblis yang menakutiku.

Mencoba sekuat tenaga untuk berteriak minta tolong, semakin keras tangannya mencengkeramku.

"Jangan ganggu aku, aku mau pulang. Jangan usik aku. Tolong.. tolong..."

"Mi.. Mami...mami.. sadar Mi.. Mami... ini Papi."

Mencoba membuka mata dan melihat didepanku, bersyukur dia Mas Robi bukan Nyai. Aku menangis sejadinya, aku ketakutan. Badan menggigil kedinginan rasa takut yang luar biasa.

Mas Robi terus memeluk, menghangatkan tubuh, dan memakaikan aku daster putih, daster tidur favorit Mas Robi.

Aku menangis dipelukan tanpa terasa ku sudah tertidur dipelukkannya.

Pagi menjelang, masih teringat kejadian di malam itu. Terlalu takut ku berendam terlalu lama lagi, aku meminta Mas Robi untuk tidak meninggalkanku terlebih dahulu.

Namun aku menyadari kesibukannya, mencoba untuk memberanikan diri berada di rumah besar ini.

Aku melihat Mbak Dewi sedang sibuk menyuapkan si kembar sambil bermain di halaman belakang. Aku cukup tersenyum memandang dari balkon atas, sampai saat ini ku masih berada di rumah belum sempat ku membantu Mas Robi mengurusi bisnis yang lain.

Masih terus ku memandang mereka dari balkon lantai tiga, dan entah mengapa tiba - tiba ku melihat seorang wanita paruh baya menggunakan pakaian kebaya merah berjalan mendekati si kembar dan Mbak Dewi.

Aku tersentak wanita itu tersenyum padaku dan melambaikan tangannya.


Semakin ku lihat jelas itu Nyai Juminten. Mengapa dia datang mengganggu kehidupan kami.

Segera ku berlari dan berteriak ke arah Mbak Dewi, aku memberikan isyarat dengan cara melambaikan tangan untuk menyuruhnya masuk.

Namun yang kulihat mereka justru tertawa ikut melambaikan tangan ke arahku.

Dengan secepat kilat ku berlari, turun ke halaman belakang tak ku jumpai kembar dan Mbak Dewi. Kemana mereka, bukannya mereka tadi disini sambil bermain ayunan, lalu kemana perginya mereka.

"Cika, Ciko, Mbak Dewi.. kalian dimana. Nyai jangan ganggu keluargaku. Jangan bawa anak - anakku. Mbak Dewi, Cika, Ciko dimana kalian." Terus ku menjerit mencari mereka.

"Bu.. Ibu.. cari saya." Dewi menepuk pundakku.

"Astaghfirullah.. iya Mbak, anak - anak dimana. Bukannya tadi saya melihat kalian ada di halaman belakang."

"Di halaman belakang, tidak loh Bu saya sedang didepan sama anak - anak. Bukannya ibu yang menyuruh saya untuk menjaga anak - anak didepan. Saya belum ke halaman belakang loh Bu. Mungkin Ibu kecapaian, Ibu istirahat saja. Biar saya dan si mbok yang mengurusi rumah dan anak - anak."

Mendengar perkataan Dewi jantungku seakan berhenti, aku benar - benar tidak tahu harus mengatakan apa.

Lalu siapa yang aku lihat..?

Aku terduduk lemas di ranjang tidurku, mungkin ada benarnya aku harus banyak beristirahat. Fikiran tentang Nyai terus menghantuiku, baru sekejap ku memejamkan mata. Handphone berbunyi dengan malas segera ku angkat tanpa melihat nama penelfon.

"Halo.. siapa ya."

"Bagaimana kabarmu Nduk.. ini Nyai Juminten."

Aku terkejut dan segera mematikan telefon, terus ku menangis entah mengapa teror Nyai terus menghantuiku.

Ada apa sebenarnya, mengapa hanya aku yang terus dihantuinya.

Bukankah aku sudah di Rukyah. Mengapa Nyai terus saja menggagu kehidupanku.

Aku melihat Handphone terdapat 5x telefon dari nomor yang sama, aku melihat pesan WA ada 5x pesan yang tak terbaca dengan nomor yang sama juga.

Segera aku membaca segala isi WAnya, ya tak lain Nyai.

Nyai terus saja menanyakan tentang ritual itu, terus mengajakku untuk datang kembali ke pemondokannya, terus dan terus merayu ku dan akan mengancam jika ku melupakan atas segala jasanya, dia akan terus menghantuiku.

Tak sengaja ku melihat tanggal di Handphone, Kamis 4 Mei, berarti nanti malam. Malam Jum'at Kliwon ya tepat ritual terakhir aku di tiga tahun yang lalu, segera ku mengingatnya bukankah tanggal 5 Mei pemondokan di bakar dan mereka semua tewas di tanggal itu.

Ya Tuhan pantaslah Nyai terus menerorku ternyata semua berkesinambungan di tanggal yang sama.

Aku menghubungi Mas Robi memintanya untuk pulang cepat dan mendatangkan Kyai, untuk membantuku dalam menangani Teror Nyai yang semakin menjadi.

...................


PELETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang