ROBI WAHYU PERMANA

5.2K 106 0
                                    

Sepulang dari Bogor bayangan Liana terus menghantui pikiranku. Mengapa bisa aku melakukan semua itu kepada karyawanku, dia yang tak lebih ku anggap karyawan biasa entah mengapa hasrat nafsu tiba - tiba terlampiaskan dengan Liana yang tak pernah sedikitpun aku mendekatinya.

Ada apa dengan tubuhku, mengapa terasa lelah, pusing yang tak berkesudahan. Apakah karena terlalu banyak fikiran ataukah kesehatanku sedikit terganggu. Ya mungkin saja, sudah enam bulan tidak pernah mengecek kesehatan, mencoba mengatur jadwal untuk ke dokter.

Semoga hasilnya membaik, atau setidaknya aku hanya terlalu kelelahan saja.

"Menurut hasil medical check Bapak baik - baik saja, semua normal kolesterol, gula darah, dan semuanya normal." Dokter terus mengulang hasil diagnosa kesehatanku.

"Tapi mengapa sering pusing dan badan loyo begini ya Dok." Tanyaku penasaran.

"Hasil rontgen di bagian otak juga sehat Pak, tidak ada tumor ataupun benjolan lainnya, sehat semua Pak Robi. Mungkin Bapak terlalu banyak fikiran saja, dibikin rileks saja ya Pak, kalau bisa rehat beberapa hari dulu Pak. Jangan ke kantor dulu, dan ini saya kasih vitamin buat Bapak ya. Semoga lekas sembuh Pak Robi."

"Oh ya Dokter, mungkin saya terlalu sibuk dengan urusan kantor sampai lupa kalau tubuh juga butuh istirahat. Terimakasih sarannya Dokter. Permisi."

Sepulang dari Rumah Sakit, segera ku istirahatkan tubuhku dan ijin untuk tidak ke kantor terlebih dahulu. Ku pasrahkan kepada Doni si Sulungku untuk menghandle ke dua kantor cabang dan pusat.

Aku menangis sejadinya menyaksikan foto istriku tercinta, Zahra Nabila Syuaib. Baru setahun yang lalu kita merayakan pesta pernikahan perak, 26 tahun ku berjanji tidak akan mengkhianatinya dengan wanita manapun. Tapi mengapa aku menghancurkan janjiku sendiri, melukai hati dan perasaan istriku.

Begitu jahatnya aku sebagai suami, tega mengkhianati istri seperti dia. Istri tercantik, sholeha, pintar, dan setia dimanapun dia selalu aku tinggalkan mencari nafkah. Dia rela setia menunggu dan selalu mendoakanku. Namun mengapa aku tidak bisa mengontrol segala nafsu ini.

Mencoba untuk menghubungi Zahra, meminta maaf padanya atas apa yang telah aku lakukan selama ini. Dan berjanji tidak akan mengkhianati dia lagi.

Setelah apa yang kita lalui lika - liku dalam berumahtangga. Disaat aku tidak memiliki apapun dia selalu setia dan memotivasiku sampai aku bisa meraih semua ini. Aku berjanji tak akan lagi melakukan itu, cukup pertama dan terakhir aku khilaf tidak dapat mengontrol segala syahwatku.

"Ting Tong..."

Terkejut mendengar bel pintu apartemenku, siapa yang datang di jam sore seperti ini. Mungkinkah Doni ataukah Liana. Ah tidak mungkin, Liana tidak berani berkunjung tanpa ada rekan kerja yang lain. Segera ku intip dari lubang kaca pintu apartemen. Sangat terkejut Zahra istri tercintaku datang tanpa memberi kabar, dia mengajak Edo dan si Tina baby siter Edo.

Ku membuka pintu melihat tampang cantik istriku yang tak pernah pudar meski usia kami tak lagi muda, ku peluk erat tubuhnya seakan begitu rindu hati ini kepadanya.

"Ummi kenapa tidak memberi kabar, Abi pasti akan menjemput Ummi."

"Sengaja membuat kejutan buat suami tercinta, kata Doni Abi sakit. Sementara Ummi tinggal disini sampai Abi enakkan badannya ya."

"Alhamdulillah Abi senang sekali ada Ummi yang merawat Abi. Nanti makan malam, kita makan diluar ya. Sekaligus jalan - jalan ke kota Bandung sama si Edo dan Mbak Tina. Mau ya nak.."

"Tidak usah Abi, Abi istirahat saja dulu. Umi sudah beli beberapa bahan makanan tadi, nanti Ummi masak saja di sini. Kita makan di apartemen saja, nanti kalau Abi sudah sehat, bolehlah kita jalan - jalan ke Bandung, lagi pula kasihan Edo butuh istirahat juga."

Istri yang begitu sangat perhatian dan mengerti keadaanku, begitu beruntung ku memiliki istri seperti dia. Namun mengapa aku tega melukai dirinya dengan semua itu.

Aku tampak murung bingung melakukan apa, ingin rasanya bibir ini mengungkapkan kesalahan yang baru pertama kali aku lakukan.

Namun tak sampai hati tak bisa aku ungkapkan. Menunggu moment yang tepat dan disaat yang tepat untuk bisa mengatakan pada Zahra. Aku pun harus bersiap diri jika nanti Zahra tidak bisa menerima dan menceraikan aku.

"Abi, kenapa.. ada masalah. Terlihat murung sejak tadi."

"Tidak Ummi, Abi hanya memikirkan kerjaan saja. Takut kerjaan tidak beres sejak Abi rehat."

"Beruntungnya kita punya anak yang cerdas ya Bi, insya Allah bisa diandalkan Doni dan Melly."

Iya Ummi, sungguh beruntungnya aku memiliki istri dan keturunan yang cerdas sepertimu. Salahku yang tidak bisa menjaga kesetiaan rumah tangga kita.

Malam semakin larut, ku melihat Edo dan Mbak Tina telah terlelap dikamar sebelah. Dan ku melihat Zahra tampak tertidur di pelukanku. Wajah Indo Kaironya yang membuat jatuh cinta pada pandangan pertama, tak henti ku terus memandangnya dengan penuh cinta.

"Astaghfirullah..."

Aku tersentak dan melepaskan pelukan istriku dengan keras, aku tersentak wanita disampangku Liana bukan Zahra, terus ku pandang ya ini Liana. Berarti yang sedari tadi bersamaku Liana. Lalu Edo dan Tina, apakah aku berhalusinasi.

Aku menjauh dan seperti orang kebingungan, aku menutup wajahku mengapa aku menjadi seperti ini.

"Abi... abi.. abi..."

"Istighfar Abi.. Abi.. ada apa kenapa..."

"Tidak.. jangan ganggu aku, ini cuma halusinasi. Cepat pergi.. pergi.."

Aku terus menjerit histeris, aku tidak tahu siapakah yang memanggilku Zahra ataukah Liana.

"Abi.. ini Ummi, buka mata Abi. Astaghfirullahal'adzim.. ikuti Ummi Abi.."

"Astaghfirullahal'adzim.." perlahan ku buka mataku dan melihat wajah Zahra yang ada di depanku.

Aku menangis sejadinya, ku peluk tubuh Zahra erat sekali, ya Tuhan mengapa dan apa yang terjadi padaku. Pandangan wajah Liana terus menghantuiku.

Sepekan sudah Zahra menemaniku di Bandung, hampir selama itu juga ku tidak bekerja. Berharap dia bisa menemaniku selamanya di Bandung, namun rasanya tidak mungkin karena banyak bisnis yang dia tinggalkan, aku memahami segala kesibukannya.

Kembali bekerja membuatku sedikit agak tenang, aku cukup bersemangat karena Zahra istriku telah memberikan banyak suntikan semangat untukku. Meskipun ku tahu diapun berjuang melawan sakitnya. Namun semangat luar biasa, dia tidak pernah menyerah dan terlihat lemah.

Kedatangannya rasa cemas mulai sedikit menghilang dan memudar, meskipun belum sempat ku mengatakan semua itu padanya.

Terlalu takut ku mendengar kalimat buruk yang harus aku telan. Aku belum siap, aku tidak rela bilamana Zahra tidak menerima dan meminta berpisah. Ataukah justru memperburuk keadaanya.

Aku tidak mau, aku tidak sanggup. Tidak ada yang menggantikan peran istri untukku selain Zahra.

"Assalamualaikum Bapak.. sudah sehat.."

Tiba - tiba Liana datang keruanganku sambil membawa beberapa berkas yang selama ini telah aku tinggalkan.

Sejujurnya aku tidak ingin bertemu lagi dengannya, namun tidak mungkin rasanya. Apalagi dia termaksud karyawan senior yang cepat dan tanggap dalam urusan kantor.

Aku diatas kebimbangan, bagaimana agar aku tidak bertemu dengan dia lagi. Apakah aku harus mengembalikannya ke kantor pusat di Jakarta. Dan menggantikan Melly anakku untuk berada di Bandung bersamaku. Ya mungkin itu cara yang terbaik.

"Iya Wa'alaikumsalam mari masuk, bagaimana Liana. Bagaimana kabarmu." Aku berbasa basi kepadanya.

"Alhamdulillah baik Pak, ini ada beberapa dokumen penting yang bisa Bapak tandatangankan sebelumnya sudah dicek sama Bapak Doni. Namun sebelum Bapak Doni kembali ke kantor pusat, beliau menyampaikan untuk di cek kembali oleh bapak. Oh ya Pak, berhubung Pak Budi office boy tidak masuk dikarenakan sakit. Ini saya bawa kan teh tawar buat Bapak. Liana tinggal dulu ya Pak, banyak kerjaan lain yang harus saya selesaikan. Permisi Pak."

Aku hanya mengangguk, terasa gerah dan panas berada didekatnya.

Sebelum ku membuka beberapa dokumen yang ditinggalkan diatas meja, entah mengapa tenggorokan ini begitu kering. Ku minum teh tawar yang sudah dibuatkan Liana, meski rasanya sedikit aneh tidak seperti biasa ku mencoba menikmatinya, seperti ku menikmati tubuh indahnya. Seteguk demi seteguk sampai habis tak bersisa.

Sepulang kerja, ku habiskan waktu di apartemen. Fikiran ku melayang tinggi, mengapa malam ini begitu sangat merindukan Liana.

Seminggu tak ku jumpa dengannya tadi ku lihat dia begitu sangat cantik, sangat mempesona dan menggoda pastinya. Body goalnya yang sangat menggoda untuk disentuh mengingatkan akan kejadian di Villa Bogor.

Aku tidak bisa menguasai diri, semakin teringat padanya semakin hasratku ingin bercinta dengannya. Liana, datanglah aku sangat ingin mengulang kejadian yang lalu. Dimana kita menikmati setiap permainan cinta ini.

Aliran darah begitu deras, tegang setiap urat kemaluan. Aku tidak dapat menahan diri, ingin rasanya aku menghubungi dia. Namun betapa malunya aku sebagai atasannya memperlakukan karyawan ku demikian.

Tapi hasrat nafsu ini tidak bisa memudar semakin ingin menyentuhnya, ingin bercinta dengannya lagi dan lagi.

Aku tidak bisa membendung diri, mulai menyalurkan hasrat nafsu sendiri didalam kamar. Aku melihat foto profil Liana seakan begitu menggoda dan menantang, terus ku mengurut kemaluanku seakan sedang bercinta dengannya, terus dengan kuat dan semangat hingga akhirnya sampai dipuncak kenikmatan aku mengeluarkan sendiri cairan kenikmatan itu. Meski tanpa Liana di samping ku.

Liana, aku mulai menyukaimu, mencintaimu, dan ingin rasanya menikmati tubuhmu lagi. Maafkan aku Zahra, maafkan aku Ummi tercinta. Jika hatiku mulai mendua. Menduakan cintamu.


............


PELETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang