44. Takdir Hidup

4.2K 426 21
                                    

Bagaimana jika seseorang sudah kehilangan sebagian besar semangat hidupnya?

Jawabannya, hidupnya tetap harus berjalan sampai Yang mahakuasa menakdirkan hidup itu berhenti.

Seperti yang Dimas lakukan saat ini. Meski sebagian besar harapan hidupnya tak kembali, dia tetap mencoba menjalani hidupnya.

Satu minggu setelah usahanya meminta kesempatan pada Rania tak berhasil, tak banyak yang dia lakukan selain mengurus usahanya.

Tak banyak juga yang dia inginkan sekarang, hanya agar dia dan keluarganya sehat dan bahagia, meskipun untuk bahagia itu masih jadi pertanyaan besar baginya. Masih bisakah bahagianya sempurna di saat sebagian besar kebahagian itu ada di tangan Rania, seseorang yang pernah sangat mencintainya tapi karena kebodohannya sendiri, akhirnya Rania pergi.

"Pak Bos!" sapa Raffi ketika siang itu sehabis dari kantor dia mampir ke Cafe milik Dimas, tetapi malah mendapati Sang Pemilik Cafe bengong sendirian. "Bengong aja!" lanjutnya sambil mengepalkan tangannya dan di sambut dengan hal serupa oleh Dimas.

"Baru pulang?" tanya Dimas seraya mengambilkan segelas minuman untuk sahabatnya itu. "Tumben jam segini,"

Raffi bergumam sambil mengangguk.

"Jadwal keliling, udah selesai semua!"

Keduanya langsung ngobrol seperti biasanya. Dimas sudah mulai bisa berdamai dengan hidupnya, meski hatinya tak tau sampai kapan bisa pulih, yang jelas sekarang dia banyak bersyukur, tidak depresi seperti dulu ditinggal Binar.

Dan lagi-lagi itu karena kata-kata Rania, bahwa apapun yang terjadi dalam hidup, mau yang di suka atau tidak, harus tetap bersyukur dan menjalani hidup sebaik mungkin.

Ironis rasanya, di saat Dimas patah hati dengan Rania, justru ucapan wanita yang menguatkannya.

"Aryn kapan kesini lagi?"

Dimas memincingkan matanya mendengar Raffi menanyakan Sang Adik. Yang dia tau memang keduanya saat ini jadi lebih akrab.

"Lo yakin mau sama adik gue yang kayak gitu?"

Raffi malah tertawa, "Gila kali ya, adiknya sendiri dikatain." sahut Raffi sambil meninjau lengan Dimas. "Tapi adik lo baik banget, unik." lanjut Raffi.

"Gue bilang sama lo ya! Walaupun kayak gitu tapi yang boleh ngatain cuma gue, awas aja lo ikutan!"

Sekali lagi Raffi tertawa, kali ini sambil menangkupkan kedua tangannya. "Ampun, Kakak Ipar!"

Keduanya kembali terlibat obrolan, kehadiran Raffi memang menjadi berkah tersendiri bagi Dimas. Selama tinggal di Jogja, sahabatnya itu yang banyak menemani dan membantunya.

Di tengah canda tawa mereka, Raffi mengamati Dimas.

"Lo sakit? Suara lo kayak mau flu gitu!"

"Kebanyakan minum es!" canda Dimas.

"Serius nih! Lo jauh dari keluarga, jangan ngawur, kurangi begadang! Nanti gue bisa kena skors mama lo!"

Dimas memutar kepalanya menghadap Raffi, "Lo gercep banget udah sampai mama!"

Lagi-lagi Raffi tertawa, memang dia dapat mandat khusus dari mamanya Dimas untuk membantu mengawasi Dimas.

"Periksa sana! Atau pulang sekarang istirahat!"

Dan karena bosan mendengar Raffi yang tiba-tiba jadi cerewet, akhirnya Dimas pulang. Memang sejak semalam badannya demam, tenggorokannya sakit akibat gejala flu dan batuk.

Sesuai ancaman Raffi juga, sebelum pulang tadi dia membeli obat untuk meredakan pusing dan demamnya.

Dimas tinggal di Jogja bersama sepasang suami istri yang dia mintai tolong untuk merawat dan menjaga rumahnya, rumah yang dulu dia siapkan untuknya dan Rania.

Jangan Bilang CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang