"Kamu... nggak apa-apa?"
Mereka saling menatap, memikirkan seribu satu makna yang terkandung dalam satu pertanyaan sederhana itu. Mereka sama-sama tidak pernah menanyakannya kepada satu-sama lain, mungkin karena mereka tidak pernah menjadi seakrab itu untuk saling memperlihatkan sisi rapuh masing-masing."Kamu masih peduli?"
Mata Tzuyu menyipit mendengarnya. "Kita pernah berteman Irene. Aku masih nganggep kamu salah satu teman dekatku."
Irene terasa hambar. "Bahkan, setelah hal-hal jahat yang aku perbuat?"
"Hal-hal yang kamu lakukan itu beralasan bukan?" Tzuyu sering kali memikirkan kejadian malam itu, perkataan Irene yang menusuk, pengakuan Mingyu yang membuatnya kecewa, dering lonceng sepeda Taehyung.
Dan yang paling tidak bisa dilupakannya adalah sorot mata mereka, terutama Irene. Saat itu dia mengartikannya sebagai perasaan menang telah menyakiti Tzuyu, bangga telah membawa Mingyu ke sisinya, tapi kini Tzuyu menyadari pandangan mata itu penuh kesedihan.
Sudah berapa kali dia melewatkan ekspresi yang sama? Ketika dia bercerita penuh semangat mengenai perkembangan hubungannya dengan Mingyu, dia hanya memikirkan kesenangannya sendiri tanpa memperhatikan perubahan raut wajah Irene. Tzuyu lupa betapa sering Irene menyebut nama Mingyu sebelum pertandingan basket antar sekolah itu dimulai, melupakan pandangan memuja yang disapukan Irene pada pemuda itu saat mereka berkumpul di lapangan, dan senyumnya ketika membicarakan Mingyu.
Tzuyu terlambat menyadari bahwa dialah yang sudah melukai Irene. "Maaf."
Irene mendongak cepat, mengira dirinya salah dengar. "Maaf?" ulangnya ragu.
Tzuyu mengangguk. "Maaf karena aku juga nggak pernah menjadi teman yang baik untuk kamu. Aku nggak pernah sadar kalau kamu sangat menyayangi Mingyu."
Irene menggeleng, ekspresi wajahnya letih. "Kamu pasti senang udah menemukan kelemahan aku, tapi aku nggak butuh dikasihani."
"Bukankah kita berdua sama-sama terluka oleh hal yang sama?"
Irene tersenyum pahit menyadari kebenaran di balik pertanyaan itu. "Dia pernah suka sama kamu, sedangkan dia sama-sekali nggak punya perasaan apa-apa buat aku. Benci, mungkin."
Tzuyu tahu alasan sebenarnya Irene melakukan hal itu bukan sekedar untuk melukainya tapi untuk membuktikan sesuatu-perasaan Mingyu yang sesungguhnya. Dia juga paham bagaimana rasanya mengetahui bahwa cinta yang kita miliki selama ini bertepuk sebelah tangan dan kita tidak dapat melakukan apa-apa untuk mengubahnya. "Mingyu bilang dia akan pergi ke Australia untuk nyusul Tiffany. Dia nggak nyalahin kamu untuk sesuatu yang udah seharusnya dia lakukan sejak dulu."
Irene menggeleng. "Kamu nggak tahu aku udah memperhatikan Mingyu selama bertahun-tahun, sejak kami bertemu di pesta ulang tahun Tiffany. Dia nggak ingat aku sama sekali karena pandangannya selalu mengikuti gerak-gerik Tiffany. Lagi pula siapa yang nggak jatuh cinta sama Tiff? Dia sempurna, punya segalanya. Tapi dia nggak bisa menerima Mingyu, malah berhubungan dengan seorang guru yang udah menikah. Aku invisible di hadapan Mingyu. Dia nggak pernah ngeliat aku padahal aku selalu berusaha sebisa mungkin untuk terlihat. Dia banyak pacaran dengan cewek-cewek lain setelah ditinggal Mingyu sampai akhirnya dia ketemu kamu. Kenapa harus kamu? Kenapa dia bisa ngeliat kamu dan cewek-cewek itu dan bukan aku?"
Tzuyu tidak berusaha menjawab pertanyaan itu. Perlahan dia mendekat dan menyentuh lengan Irene dengan gestur bersahabat.
"Kita nggak bisa memaksakan perasaan seseorang untuk menyukai kita. Yang bisa kita lakukan cuma merelakan, berharap supaya dia bahagia." Tzuyu tidak dapat menahan diri untuk menyelipkan sebuah canda. "Walau yang jelas dia rugi besar karena udah ngelewatin cewek-cewek hebat seperti kita ya kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAETZU] հҽɑɾԵҍҽɑԵ🔐
Romance"Because of you, I laugh a little harder Cry a little less And smile a lot more." .。*♡