Dirasakannya jarak Nino yang sangat dekat, merasakan hembusan hangat yang berasal dari deruan nafas Nino. Fana sudah hampir menutup matanya pasrah dengan apa yang akan terjadi pada dirinya selanjutnya. Lima detik berlalu tidak terjadi apapun, masih dalam posisi yang sama, Fana membelalak begitu melihat Nino yang meraih kedua tangannya dan mulai merengek—raut mukanya berubah 100%, tampak sedang berusaha melakukan aegyo.
"Please dong, aku laper!" pinta Nino memelas, matanya mengerjap-ngerjap diiringi dengan gerakan bibirnya yang mengerucut.
Fana tertawa terbahak-bahak melihat raut muka Nino yang tampak bodoh, ia sempat mengira Nino akan membunuhnya tadi. Tetapi dugaannya salah, Nino justru memelas dihadapannya. Wajah Nino memerah melihat seorang gadis cantik dihadapannya itu tengah menertawakannya.
Setelah puas menertawai Nino yang terus menatapnya pasrah, akhirnya Fana merasa iba beranjak ke dapur dan kembali dengan makanan yang enak serta beberapa cemilan untuk mereka berdua. Mata Nino melebar menatap makanan lezat itu dan tanpa menyantapnya dengan rakus. Fana hanya diam mengamati Nino yang sibuk dengan aktivitas makannya, ia menatap heran laki-laki dihadapannya.
Bagaimana bisa Nino merubah sikapnya secepat itu? Demi Tuhan Fana benar-benar tidak berbohong tentang bagaimana seramnya Nino saat mengancamnya tadi, menatapnya tajam dengan seringaian di bibirnya. Tapi sedetik kemudian, Nino merubah atmosfer dingin disekitarnya jadi menghangat, membuat Fana yang semula ketakutan perlahan justru merasa nyaman layaknya tengah bersama seseorang teman yang sudah lama ia kenal.
"Nanti malam kamu tidur dibawah ya?" setelah makan, Fana buru-buru membereskan piring kotor ke dapur dan menggelar kasur lipat yang cukup besar dan tebal didepan TV. Nino hanya mengangguk sambil terus menggiling perutnya dengan cemilan yang disediakan Fana tadi.
"Dan aku harap kamu nggak akan macem-macem sama aku, kakakku, bibi, kamarku, rumahku. Oke?" kata Fana kembali dengan berharap. Nino geli dan tertawa kecil mendengar ucapan polos Fana. Kali ini ia menghentikan makannya sejenak.
"Kok papa kamu nggak disebut sih? Terus mama kamu mana?" tanya Nino penasaran. Tapi raut muka Fana jadi agak murung dibuatnya.
"Papa keluar kota. Biasa lah, urusan bisnis. Kalo mama udah meninggal waktu ngelahirin aku." jawabnya sedih.
"Oh, sorry deh." kata Nino dengan sedikit merasa bersalah kemudian meraih snacknya kembali.
Pertanyaan itu nyatanya mampu membuat Fana kembali diliputi rasa bersalah karena telah membuat mamanya meninggal demi melahirkannya dengan selamat. Selama ini ia merasa menjadi pembunuh ibunya, ia terus menyalahkan diri sendiri tanpa diketahui oleh orang lain. Bahkan Edo sekalipun tidak menyadari bahwa adiknya itu seringkali merasa stress karena rasa bersalah berlebihan itu. Fana merindukan mamanya, sosok ibu yang tak pernah ia tatap sejak terlahir di bumi.
"Jangan sedih lagi ya," bujuk Nino sambil menatap Fana dalam-dalam, ia meraih tangan Fana, mengelusnya perlahan untuk menenangkan gemuruh hati Fana yang sedang berkecamuk. Tak berniat melepas, Nino justru semakin erat menggenggam tangan Fana, seolah bisa merasakan apa yang tengah dirasakan Fana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nino is Nana | Jungwoo ✔
FanfictionCERITA DARI TAHUN 2011, BELUM DIREVISI "Sorry ya Pak Tua, meskipun profesi kita sama-sama penjahat disini, tapi kali ini aku nggak mau ada penyusup di rumah ini selain aku!" ucapnya pada pria yang sudah tak sadarkan diri itu dengan suara nyaring lay...