Fana kembali memeluk Nino erat, membenamkan seluruh wajahnya ke dada bidang cowok itu. Ia menangis.
"Selama ini aku ngerasa kalo kamu bukan orang jahat, dan aku lega setelah tau ternyata kamu benar-benar bukan orang jahat." Ucap Fana dengan suara parau. Hati Nino menghangat mendengarnya, ia mengusap puncak kepala Fana dengan lembut dan mengecupnya singkat. Kaget dengan tindakan Nino, Fana melepaskan pelukannya perlahan. Menatap Nino dengan mata sembab.
"Kamu kenapa nangis sih? Padahal aku lagi seneng." Ujar Nino sambil nyengir. Ya siapa juga yang tega mendengar cerita pilu Nino? Apalagi yang mendengar itu Fana, orang yang mencintai Nino. Sudah pasti hatinya sakit merasakan penderitaan Nino.
"Nggak usah dipikirin, sekarang ini aku bersyukur karena Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bertemu kamu. Cinta pertamaku." Lanjutnya. Hati Fana mencelos mendengar kalimat itu, seolah suatu saat nanti kesempatan itu bisa saja hilang.
Fana masih termenung, memilih diam menatap langit. Sekilas hatinya berharap agar waktu berhenti saat ini juga, supaya ia bisa terus bersama Nino.
Setelah berhasil mencairkan suasana kembali, Nino mengantar Fana pulang. Pukul 4 pagi, btw. Sebenarnya Fana bahkan sempat tertidur selama dua jam di pangkuan Nino. Nino hanya mengawasi Fana yang terlelap, ia tidak berbuat macam-macam kok! Paling hanya mengecup pipi kanan Fana yang menggemaskan itu. Setidaknya ia tidak berbuat lebih parah kan? Ck ck, sebagai laki-laki, Nino termasuk orang yang sopan. Dua kali mengawasi Fana tidur dan ia masih bisa menahan segala hasrat untuk tidak melakukan hal-hal tak senonoh macam orang dewasa pada umumnya.
Mood Fana membaik pagi ini, tentu saja karena Nino yang tak berhenti mengekorinya mulai dari memasukkan buku-buku sekolahnya ke dalam tas, menyisir rambut, mencari kaus kaki, sampai menyemprotkan parfum yang juga sempat membuat Nino bersin-bersin. Fana memukul lengan Nino untuk tidak bersin terlalu keras, takut terdengar oleh Edo.
Ini hari Sabtu jadi Edo di rumah. Fana juga menyempatkan diri mengendap-endap ke dapur mengambil dua piring nasi dan lauk untuk dimakan bersama Nino. Sayang sekali Nino sudah keluar dari sekolah, jadi Fana berangkat sekolah sendirian. Sedih rasanya, ia bahkan seolah tak mampu menahan rindu barang sedetik saja.
"Aku mau berangkat sekolah, kamu gimana?" tanya Fana.
"Aku? Aku bakal disini kalo kamu mau." Fana mengernyitkan dahi, tampak berpikir.
"Tapi Kak Edo kan di rumah, aku takut kadang dia suka ngerapihin kamarku. Kak Edo orangnya super rapi soalnya—"
"Ah, oke kalo gitu aku pergi dulu sementara. Nanti aku balik kesini lagi, deal?" tawar Nino. Fana masih tampak menimbang-nimbang.
"Ya udah deh, tapi kamu pake ini ya. Itu nomor baru kok, biar aku bisa hubungi kamu kalo udah aman." Ujar Fana menyodorkan ponselnya. Nino tersenyum menerimanya.
"Ciye yang nggak bisa jauh-jauh dari aku." Ledek Nino. Fana jadi malu, menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya. Tingkah gemas itu membuat Nino terkekeh.
"Jangan disembunyiin dong, kan aku mau lihat muka kamu yang merah." Goda Nino sambil menjauhkan telapak tangan itu dari wajah Fana. Mereka saling tertawa.
Baiklah, seseorang tolong hentikan dua insan yang sedang jatuh cinta ini. Mereka jadi sangat cheesy. Hampir terlambat, Fana langsung berangkat sekolah sedangkan Nino keluar melompat jendela kamar Fana. Mereka berpisah sementara. Berharap segera bertemu lagi, tanpa tahu kejadian apa yang mungkin akan terjadi selanjutnya.
---
Sekolah masih sama, riuh dan membosankan bagi Fana. Pikirannya tidak fokus pada pelajaran, terlalu tidak sabar menunggu waktu untuk bertemu kembali dengan Nino. Kini Fana sudah terbiasa sendiri, Cindy dan Sherly sudah benar-benar menjauhinya. Masa bodoh lah, Fana tidak peduli. Asalkan masih ada Nino yang setia menemaninya.
Jam istirahat tiba dan Fana tidak beranjak, ia terlalu malas ke kantin sendirian. Terlihat menyedihkan. Ditengah lamunannya itu, tiba-tiba seorang gadis mendekatinya. Itu Dilla, kakak kelasnya.
"Hai, Fana kan?" sapa Dilla ramah. Fana mengangguk membalas senyumnya.
"Boleh ngobrol sebentar?" tanyanya lagi.
"Boleh kak. Ada apa?" Dilla duduk menyambar kursi kosong di sebelah Fana.
"Jadi tadi Pak Gilang dateng ke kelasku, beliau meminta tolong aku buat ngumpulin lima siswa untuk persiapan lomba Olimpiade Kimia. Kamu mau join nggak? Aku denger dari temen-temen katanya kamu pintar di bidang Kimia."
"Mau kak! Kapan?" jawab Fana semangat. Ia memang menyukai pelajaran Kimia, dan tujuannya setelah lulus adalah mendaftar ke salah satu Universitas jurusan Teknik Kimia. Oleh karena itu Fana merasa ini adalah kesempatannya untuk mengembangkan diri melalui lomba Olimpiade itu. Toh perlombaan ini sangat bergengsi, bisa jadi poin plus untuk bekal Fana ke Universitas nanti.
"Siap! Aku tahu kamu sama semangatnya kayak aku." Ucap Dilla yang tampak lega menemukan anggota baru.
"Ya udah kalo gitu nanti kita kumpul ya sepulang sekolah? Di lab Kimia." Lanjut Dilla seraya bangkit dari duduknya, kemudian berlalu setelah Fana mengangguk setuju.
Tiba-tiba Fana teringat janjinya bertemu dengan Nino sepulang sekolah, lantas ia memmbuka ponselnya dan mengirimi Nino pesan.
LINE
Fana:
Maaf, nanti aku pulang telat. Aku mau persiapan lomba Olimpiade Kimia.
Ngga papa kan?Tak butuh waktu lama, Nino langsung membalas.
(no name):
Iya.
Congratz ya, semangat ^^Fana tersenyum melihat pesan balasan itu kemudian kembali fokus pada buku pelajarannya.
Bel pulang telah berbunyi, Fana langsung mengemasi barangnya dan bergegas menuju lab Kimia. Mengabaikan pandangan teman-temannya yang melihat Fana tampak tergesa-gesa. Menaiki tangga lantai tiga, Fana berjalan menusuri koridor. Di ujung sana, di depan pintu lab Kimia ada Vicky yang masih sibuk memainkan ponselnya.
Tidak heran jika Vicky juga ikut berpartisipasi dalam lomba ini, ia memang pintar. Sudah pintar, tampan, famous, kaya pula. Ayah Vicky adalah salah satu pemilik stasiun TV Swasta. Kurang apa lagi? Kesempurnaannya seolah tanpa celah. Pantas saja Cindy tergila-gila. Fana tersenyum menyapanya kemudian hendak masuk ke ruang lab sebelum Vicky memanggilnya kembali.
"Eh, Fan..." sontak Fana berbalik.
"Kenapa?"
"Eh, ini konyol sih—tapi aku boleh minta nomer Nana nggak?" ucap Vicky ragu. Fana tanpa sadar melongo begitu mendengar kalimat Vicky.
"Eh, jangan salah paham. Aku nggak naksir dia kok, cuma kemarin waktu aku pernah ke rumahmu pas kamu sakit, aku kan ketemunya Nana. Nah, sepulang dari rumah kamu, kayaknya iPodku ketinggalan. Aku mau tanya Nana siapa tau dia lihat waktu itu—" kata Vicky panjang lebar berusaha menjelaskan. Fana hanya ber-ooh ria, penjelasan itu tampak meyakinkan. Apalagi benda yang dicari Vicky itu sepertinya memang penting, raut mukanya terlihat khawatir. Akhirnya Fana memberikan nomor ponsel Nino dan masuk ke kelas.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Nino is Nana | Jungwoo ✔
Fiksi PenggemarCERITA DARI TAHUN 2011, BELUM DIREVISI "Sorry ya Pak Tua, meskipun profesi kita sama-sama penjahat disini, tapi kali ini aku nggak mau ada penyusup di rumah ini selain aku!" ucapnya pada pria yang sudah tak sadarkan diri itu dengan suara nyaring lay...