14

134 18 2
                                        

Cindy baru saja memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, bersiap untuk pulang. Sherly hari ini pulang bersama Anton, mereka sepertinya benar-benar akan segera berkencan akhir minggu ini.

"Cindy." Panggil seseorang yang berdiri di samping mejanya entah sejak kapan. Cindy menoleh ke sumber suara.

"Aku mau ngomong sesuatu sama kamu." Lanjut Rio menarik tangan Cindy, membawanya ke rooftop sekolah.

" Lanjut Rio menarik tangan Cindy, membawanya ke rooftop sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu bohong?" tanyanya begitu mereka tiba di rooftop.

"Apa lagi?" Cindy memutar bola matanya jengah.

"Alasan kamu minta putus. Kamu suka Kak Vicky kan?"

"Kalo iya, kenapa?" jawaban santai Cindy membuat hatinya mencelos.

"Harusnya aku yang nanya, kenapa? Hal menarik apa yang ada di Vicky dan nggak ada di aku?"

"Nggak usah ditanya deh! Kita ini udah selesai, Rio! Nggak ada yang perlu dibahas lagi!" ujar Cindy kesal.

"Jawab aja, Cin! Apa? Dia tampan? Dia kaya? Dia jauh lebih keren?" Rio mulai tersulut emosi.

"SEMUANYA! PUAS?!" bentak Cindy. Seolah tak mampu menerima kenyataan, air mata itu hampir saja mengalir dari mata Rio. Ia kemudian memilih pergi meninggalkan Cindy tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.

Cindy masih tak beranjak, ia terduduk di bangku kelas yang sudah berkarat bagian besinya. Kedua tangannya mencengkeram rambutnya yang halus dan panjang.

"Jalang?" kata seseorang yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Itu Nana yang ternyata sedari tadi sudah lebih dulu berada di rooftop. Cindy terperanjat bangkit dari duduknya melihat Nana.

"Jalang itu apa? Apa dia adalah orang yang memutuskan pacarnya semena-mena demi cowok lain yang baru saja dikenalnya?" sindir Nana dengan sok polos. Mereka berdiri saling menatap dengan jarak lima kaki.

"NINO!" bentak Cindy.

"Nana!" koreksinya. Ia kemudian maju dua langkah, memangkas jarak antara mereka.

"Hei, sebenarnya apa salah Fana? Apa kamu iri dengannya? Kamu membencinya karena iri melihat cowok yang kamu sukai itu justru menyukai Fana? Wah aku nggak nyangka seorang Cindy seperti ini." Cindy mengeraskan rahang mendengar sindiran Nana.

"Cindy, apa kamu itu bodoh atau bodoh sekali? Mungkin kamu memang berhak mencintai siapapun, tapi kamu nggak berhak marah kalo cintamu bertepuk sebelah tangan. Apalagi menyalahkan pihak ketiga yang dicintai oleh cowok itu. Dan yang lebih nggak masuk akal lagi, kamu membully Fana? Like—seriously? Fana bahkan menganggap kamu sebagai sahabatnya!" Nana berdecih kesal, hatinya begitu dongkol menatap Cindy yang sama kesalnya membalas tatapannya.

"Apa kamu benar-benar pantas disebut sahabat? Apa kamu benar-benar tulus padanya? Apa kamu tidak pernah sedikitpun berpikir bagaimana sakit yang dirasakannya? Aku bahkan nggak yakin—"

"DIAM!" teriak Cindy sambil menutup kedua telinganya dengan tangannya. Matanya terpejam diiringi deru napas cepat karena emosi. Cindy begitu kesal tak terima dengan ucapan Nana. Tapi Cindy tak mau lengah, ia kembali menatap berani Nana.

"Kamu nggak berhak mengaturku! Bahkan kamu juga nggak punya hak buat komentar tentang hidupku! Kamu nggak ingat? Kalo bukan karena aku, kamu nggak akan bisa bersembunyi disini!" lanjut Cindy dengan angkuh. Membuat tatapan Nana langsung berubah, menjadi Nana yang dingin dan menyeramkan.

Nana menyeringai, tangannya meraih pisau lipat yang memang selalu ia simpan dibalik kantung jas sekolahnya. Sontak Cindy memundurkan langkahnya hingga menyentuh dinding balkon rooftop, badannya gemetaran menatap Nana yang terus mendekatinya.

Sebelum sempat berteriak, Nana membekap mulut Cindy. Menempelkan pisau yang terasa dingin itu di sudut mata Cindy. Cindy hampir menangis, ia memejamkan matanya tak sanggup melihat kemungkinan terburuk yang akan terjadi padanya.

"Sepertinya yang harus diingatkan disini adalah kamu." Ujarnya sambil memainkan ujung pisau itu di rambut Cindy. Seakan mengingatkan Cindy bahwa sosok dihadapannya adalah seorang pembunuh. Membuat bulu kuduk Cindy semakin merinding.

"Silakan jika kamu mau iri dengan Fana, tapi satu hal. Jangan pernah menyentuh Fana lagi." Bisik Nana tepat di telinganya. Bisikan yang sangat pelan, tapi terdengar begitu dingin dan mengancam.

Cindy benar-benar ketakutan, ia bahkan sudah menangis dari tadi. Melihat lawannya sudah tampak jinak, akhirnya Nana melepaskan Cindy dan menyimpan pisau itu kembali. Badan Cindy lemas, membuatnya merosot duduk di lantai.

"Ah, satu lagi. Mulai hari ini aku nggak akan sekolah disini lagi." Ujarnya seraya melepas jas, rompi, dasi, kemeja putih panjang dan rok yang dikenakan Nino. Menyisakan celana training selutut yang melekat di tubuhnya. Tubuh Nino yang bertelanjang dada itu menampakkan bekas luka-luka sayatan yang terdapat di beberapa bagian punggung dan perutnya.

Kemudian ia meraih tasnya yang tergeletak di sisi dinding, mengeluarkan kaos putih dan jaket hitamnya untuk dipakai. Cindy ternganga melihat tubuh telanjang dada Nino yang sialnya sangat menggoda. Ia bahkan seolah lupa dengan apa yang baru saja membuatnya menangis ketakutan. Setelah mengganti pakaiannya dengan setelan jaket dan jeans hitam—sebenarnya ia mendapatkan pakaian itu dari lemari Edo—Nino berjalan ke arah Cindy melemparkan seragamnya yang sudah dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam.

"Bakar." Perintah Nino menunjuk seragamnya dengan dagu. Cindy meremas kantong plastik yang digenggamnya, mencoba untuk mengatakan sesuatu.

"Ccc...cctv..." kata Cindy dengan terbata. Nino berdecak.

"Kamu pikir aku sebodoh itu?" tanyanya sambil menyeringai. Ia melirik ke suatu arah dan Cindy mengikuti arah pandang cowok itu. Ah, benar saja. Ternyata Nino sudah merusak CCTV itu lebih dulu.

Nino tidak bercanda, ia memang sudah berencana keluar dari sekolah itu dan pergi untuk sementara waktu dari kehidupan Fana, melakukan sesuatu yang sudah lama belum sempat ia lakukan. Ini adalah saat yang tepat, merasa bahwa Tuhan sedang berbaik hati padanya memberikan petunjuk.

Langkah gesit Nino berhasil membuatnya keluar dari lingkungan sekolah itu tanpa disadari oleh siapapun, memandangi gedung tinggi sekolah itu selama beberapa detik sebelum berbalik dan menghilang di tengah keramaian kota.

Langkah gesit Nino berhasil membuatnya keluar dari lingkungan sekolah itu tanpa disadari oleh siapapun, memandangi gedung tinggi sekolah itu selama beberapa detik sebelum berbalik dan menghilang di tengah keramaian kota

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

Nino is Nana | Jungwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang