13

159 20 0
                                    

Vicky & Nana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vicky & Nana

"Vicky?!"

"Nana?!" pekik mereka bersamaan. Mereka saling menatap, tampak sama-sama terkejut. Apalagi Vicky yang setengah mati menahan tawa melihat gaun kuno yang dikenakan Nana.

"Jadi selain seragam kamu yang aneh itu, pakaian sehari-harimu juga seperti ini?" celetuk Vicky.

Silakan tertawa sepuasmu, brengsek. Jika saja bukan karena penyamaran ini, sudah ku pastikan lehermu patah! Ujar Nana dalam hati.

"Ngapain kamu kesini?"

"Mau jenguk Fana—" jawabnya sambil berusaha meneerobos masuk. Tidak semudah itu, dengan sigap Nana menghalangi jalan pintu dengan tangannya.

"Nggak bisa. Fana lagi istirahat."

"Aku cuma mau liat kondisi Fana!"

"Nggak bisa! Fana lagi tidur di kamar, kamu nggak boleh masuk kamar Fana. Kalian bukan muhrim!" Vicky merotasikan bola matanya. Lagi-lagi alasan bukan muhrim itu membuatnya kalah.

"Lagian kamu siapa? Pacar juga bukan!" seolah belum puas membuat Vicky kesal, Nana menambahkan kalimat itu diakhir.

"Emang kamu sendiri siapa? Mamanya?" balas Vicky sama kesalnya.

"Emang bukan, tapi aku satu-satunya yang dia punya sekarang!" bentak Nana kemudian membanting pintu di depan Vicky.

Sialan, kalo bukan karena kamu cewek pasti udah baku hantam tadi. Nana kenapa sih protektif banget sama Fana? Apa dia lesbi? Ah, enggak enggak. Tapi kenapa aku ngerasa ada sesuatu yang aneh ya dari Nana? Vicky terus berspekulasi dalam pikirannya seraya melangkah keluar dari halaman rumah Fana.

Nino masih setia menjaga Fana. Memposisikan diri duduk senyaman mungkin di sisi ranjang Fana. Ngomong-ngomong, tadi sore Fana sempat bangun. Sedikit makan dan meminum obat yang sudah disiapkan oleh Nino kemudian terlelap lagi. Demamnya belum turun, membuat Nino sempat berpikir menghubungi Kak Edo. Meski Nino sanggup merawat Fana sendirian, tapi ia hanya kasihan melihat Fana dalam kondisi seperti ini tanpa diketahui keluarganya.

Ah tapi jika dipikir-pikir lagi, menghubungi Kak Edo juga bukan pilihan yang bagus. Nino tak mau bersusah payah lagi mencari alasan dan memainkan peran menjadi Nana. Itu terlalu melelahkan dan merepotkan. Karena itu lah Nino hanya duduk mengawasi Fana disini. Ralat, bukan duduk lagi, ia kini memposisikan dirinya tidur menyamping menghadap Fana, dengan tangan kanan yang ditekuk sebagai tumpuan kepalanya. Tempat tidurnya cukup besar untuk mereka berdua berbaring disana. Manik matanya menatap lekat wajah Fana.

"Maaf, aku nggak bisa bantu banyak—" bisiknya pelan sambil terus memandangi wajah Fana.

"Fana...aku sayang...kamu." Tangan kirinya membelai pipi Fana lembut, seolah ia tidak akan bisa mendapat kesempatan lain untuk menyentuhnya lagi di hari esok.

Nino is Nana | Jungwoo ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang